Menelisik Jaringan Candu di Jawa

SECARA HUKUM dan moral, perdagangan candu di tengah masyarakat adalah tindakan kriminal. Masyarakat Jawa menganggap candu atau madat sebagai bagian dari lima tingkah laku yang dilarang atau molimo. Kelima tingkah laku itu meliputi maling, main, madon, minum dan madat.

Ajaran-ajaran moral itu pada masyarakat Jawa, termasuk Surakarta menganggap penggunaan candu merupakan tindakan buruk.

Candu dianggap membuat orang malas, badan menjadi kurus, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tindakan itu selalu dihubungkan dengan kelakuan amoral seperti sensasi seksualitas atau pelacuran.

Candu merupakan sejenis bahan dari tanaman papaver somniverum  yang memiliki kandungan morfin dan sedikit kodein. Mengkonsumsi candu selain diyakini memiliki banyak manfaat seperti menghilangkan penyakit demam, diare, sakit kepala, lemah, letih dan gelisah. Candu juga dapat menghilangkan rasa tidak enak badan, penyakit kelamin dan menambah fantasi seksual.

Namun di sisi lain bagi orang Jawa merupakan teman yang jahat. Meskipun membawa dampak kesenangan, acap kali percanduan menimbulkan kebencian kaum muslim ortodoks yang dianggap membawa dampak finansial rumah tangga.

Perdagangan candu di Jawa sudah terbilang cukup lama. Sebelum Belanda datang, orang Arab dianggap memiliki peran penting menyebarkan opium ke penjuru Benua Asia, termasuk ke beberapa daerah di Kepulauan Indonesia. Tidak diketahui secara pasti siapa dan kapan orang yang pertama kali membawanya ke Jawa.

Ketika Belanda pertama kali mendarat di Pulau Jawa akhir abad ke-17, candu sudah menjadi komoditas penting di pasar regional. Niat Belanda mendominasi perdagangan membuat mereka mesti bersaing sengit dengan orang-orang Inggris, Denmark, dan tentu saja Arab.

Dominasi itu baru terwujud ketika tahun 1677 VOC berhasil mengikat perjanjian dengan Raja Mataram, Amangkurat II. Kepada firma dagang itu, Amangkurat mempercayakan impor candu ke wilayah Mataram sekaligus mengedarkannya.

Berbekal izin monolopoli itu, VOC mengangkut rata-rata 50.000 kilogram candu ke Jawa setiap tahunnya.

Peningkatan berlipat ganda ini terjadi pada tahun 1802-1814  karena pengaruh inflasi dan pelaksanaan monopoli Inggris yang lebih keras. Dekade selanjutnya 1814-1824 pajak dari perdagangan candu tercatat meningkat hingga lima kali lipat.

Hingga menjelang akhir abad ke-19, peredaran candu bertambah luas di Pulau Jawa terutama di wilayah-wilayah pesisir dan kota-kota yang padat penduduknya seperti Yogyakarta dan Surakarta.

Menurut Peter Carey, pada tahun 1820 terdapat 372 tempat di Yogyakarta dan Surakarta yang memiliki lisensi menjual candu di wilayah vorstelanden termasuk di setiap gerbang-gerbang utama atau bandar, sub-gerbang atau rangkah dan pasar-pasar milik kesultanan dan seluruh pesisir termasuk Rembang, Kedu dan Surabaya yang menjadi tempat tinggal penghisap candu dalam jumlah terbesar.

Perlahan namun pasti, seiring menguatnya kekuasaan Belanda dan meningkatnya ‘kebutuhan’ candu, Hindia Belanda menambah izin bandar candu di kota-kota besar lain di Jawa dengan cara lelang.

Lelang kepemilikan bandar candu itu biasanya dihadiri sekaligus dipimpin langsung residen. Seorang juru tulis akan membacakan syarat-syarat lelang yang meliputi, wilayah kerja, jumlah candu, dan jumlah toko-toko opium yang berada di wilayah si bandar tersebut.

Residen datang langsung untuk memastikan siapa pemenang tender, sekaligus membicarakan besaran pajak yang akan didapat pemerintah.

Hampir tak pernah tidak, pemenang lelang selalu orang China. Mereka umumnya selalu unggul karena kombinasi penyuapan, kongsi dan penggalangan, atau mencari dukungan residen dan pejabat Belanda lainnya.

Di era itu jaringan-jaringan opium dikuasai bandar-bandar candu besar seperti Tio Siong Mo, Be Biauw Tjoan, Tan Tong Haij, dan Ho Tjiau Ing.

Di antara mereka, Tio Siong Mo adalah yang terbesar di Surakarta dan menguasai hampir seluruh perdagangan candu di Jawa. Pada tahun 1860, bandar ini menguasai delapan belas tempat pengolahan candu yang sanggup memasok kebutuhan di Surakarta dan kota-kota lain di sekitaranya.

Tio Siong Mo perlahan-lahan meredup bintangnya setelah pesaingnya Be Biauw Tjoan memilih menjual candu selundupan sekaligus membangun pasar gelap sendiri. Pasar itulah yang memicu kehancuran rumah-rumah candu resmi milik Siong Mo.

Pada tahun 1870, Tio akhirnya harus mendekam di penjara kolonian gara- gara tak sanggup membayar pajak kepada pemerintah senilai 1,5 juta gulden.

Pasar dan jaringan Tio kemudian diambil alih oleh Tan Tong Haij. Belakangan, Tan juga gagal dan menjual konsensinya kepada Ho Lam Yo yang menguasai bandar candu di Semarang. Sejak tahun 1889, si Ho ini pamornya juga berangsur-angsur menyusut di Semarang, Yogyakarta dan Kedu. Beruntung, Ho masih memiliki anaknya Ho Tjiauw Ing kemudian memperpanjang nafas kerajaan candu milik keluarganya.

Model perdagangan candu melalui bandar-bandar yang didominasi orang-orang China itu belakangan menuai kritik kelompok anti bandar candu seperti Elout van Soetoerwoedoe. Ia bahkan berhasil membentuk organisasi Anti Opium Bond pada tahun 1888 dan memiliki anggota hingga 510 orang. Dari jumlah itu, 440 di antaranya adalah Belanda totok dan 70 pribumi atau indo.

Akibat kritikan itu, pemerintah Hindia Belanda terpaksa menghapuskan sistem bandar dan menggantinya dengan model regi opium 1894. Pergantian sistem ini sekaligus digunakan untuk memangkas penyelundupan-penyelundupan opium yang gagal dikontrol menggunakan sistem bandar.

Pada sistem regi, pemerintah mempunyai kekuasaan lebih besar memproduksi dan mendistribusikan candu di outlet-outlet grosir sekaligus memberi lisensi kepada agen lokal untuk melayani pembeli eceran. Sistem ini terus dipertahankan hingga akhir masa kolonial dan diadopsi pemerintah Indonesia di masa revolusi.

Di masa Revolusi, pemerintah Indonesia membentuk Kantor Regi Candu dan Garam yang berpusat di Surakarta di bawah pimpinan Soewahjo.

Diam-diam, lembaga ini tak hanya mengelola kebutuhan candu untuk rumah-rumah sakit atau kegiatan ritual, namun secara rahasia bersama dengan Kementerian Pertahanan menyediakan candu yang diperdagangkan oleh badan-badan perjuangan sebagai dana revolusi.

Peredaran candu di Surakarta dan daerah-daerah republik lainnya di masa revolusi menimbulkan kontroversi. Pemerintah republik bersikap mendua dan menetapkan standar ganda.

Pada satu sisi, pemerintah mengharamkan masyarakat memperdagangkan atau memilik candu. Namun di sisi lain, Kementerian Pertahanan dan kantor Regi Candu dan Garam memberikan izin penjualan. Izin-izin itu bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh badan-badang yang berkepentingan dalam perdagangan itu. Konspirasi candu itu dianggap sebagai bagian dari tindakan kriminal.[TGU]

* Tulisan ini pertama dimuat Desember 2017