Mencari Pembunuh Munir, Tahun ke-14

Munir Said Thalib/humanrightsfirst.org

Koran Sulindo – Aktivis  Aliansi Mahasiswa untuk Demokrasi dan HAM itu mengelilingi Jakarta dalam gelap. Esok paginya, hampir seluruh pojok strategis Ibukota seperti Taman Ismail Marzuki, Stasiun Cikini, Halte Megaria, LBH, RSCM, Stasiun Pasar Minggu, terpampang poster bergambar Mayjen Muchdi Purwopandjono.

Selain wajah petinggi Badan Intelijen Nasional (BIN) itu, poster juga bertuliskan “Mencari Pembunuh Munir, Kenapa Mayjen (Purn) Muchdi Purwopradjono Masih Bebas Berkeliaran?” dan “Mencari Pembunuh Munir Jangan Adalagi yang Di-Munirkan!”

Setelah 6 tahun poster-poster merah darah itu, pembunuh aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib itu masih tersembunyi di lorong-lorong kekuasaan.

Mungkin para pembunuh itu tak pernah melihat poster-poster itu di jalanan Jakarta. Atau tak pernah mendengar iklan kehilangan di radio-radio ini:

“Saya Suciwati, Ibu Alif dan Diva, istri Munir. Saya masih mencari pembunuh suami dan ayah anak-anak saya…

(suara lain) Bukan hanya mereka, kamipun ingin pembunuh Munir dipenjarakan…

(suara lain) Sedih saya karena Indonesia sedang saat-saatnya membutuhkan dia…

Pengadilan hak-hak asasi manusia tidak jalan, satu saja hilang  kita kehilangan besar, apalagi kehilangan seorang Munir.”

Pada 7 September 2004, 14 tahun lalu, Munir meninggal dunia di perjalanan pesawat terbang menuju Belanda. Ia dalam perjalanan melanjutkan studi ke negeri kincir angin tersebut.  Namun dalam penerbangan Garuda Indonesia Airways  nomor penerbangan GA 974 dengan tujuan Amsterdam itu, pendiri KontraS tersebut meninggal sebelum pesawat tiba di tujuan.

Munir mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan HAM dan mendampingi para pencari keadilan baik semenjak memulai karir di LBH Pos Malang kemudian di LBH Surabaya maupun setelah berada di YLBHI Jakarta. Ia mendirikan KontraS, Imparsial, juga terlibat aktif di berbagai lembaga yang memperjuangkan pemenuhan terhadap HAM lainnya.

Pengadilan hanya bisa menjangkau Pollycarpus Budihari Prijanto, operator lapangan, setelah disidangkan di PN Jakarta Pusat Desember 2005. Vonis di pengadilan negeri sebesar 20 tahun penjara akhirnya dikorting tinggal 8 tahun penjara. [update: Pollycarpus akhirnya bebas murni pada 29 Agustus 2018 lalu]

Sementara orang yang wajahnya terpampang di poster itu, Mayjen Muchdi Prandjono, divonis bebas setelah disidangkan pada 2008.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 sebenarnya sudah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir.

Pada 24 Juni 2005, TPF munir menyerahkan hasil laporan penyidikannya ke presiden SBY di Istana Negara. Sesuai perintah Keppres 111 tentang pengangkatan TPF Kasus Kematian Munir itu, pada diktum ke-9 disebutkan pemerintah wajib mengumumkan hasil penyidikan tim TPF Munir ke publik.

Namun, SBY nampaknya lupa ketika pertama kali menerima tim TPF mengatakan kasus Munir adalah “Test of Our History.” Hingga selesai masa jabatannya pada 2014 lalu ia masih lupa, dan karena itu SBY bisa disebut gagal tes…

Awal April 2016 LBH Jakarta dan KontraS mengajukan persidangan adjudikasi sengketa informasi publik  terhadap termohon Kementrian Sekretariat Negara (kemensetneg) di Komisi Informasi Pusat (KIP). Mereka menuntut pemerintah mengumumkan hasil laporan TPF Munir kepada masyarakat luas sesuai perintah Keppres 111 Tahun 2004.

Putusan sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) menyatakan dokumen TPF Munir boleh diakses publik. Pemerintah mengaku tak tahu keberadaan dokumen tersebut. Menteri Sekretaris Negara era SBY Sudi Silalahi mengaku sudah menyerahkan dokumen TPF Munir kepada Presiden Jokowi.

Sebelumnya KontraS juga sudah beberapa kali meminta dokumen hasil laporan TPF tersebut ke Kemensetneg, namun dijawab dokumen itu tak ada di sana.

Pada Desember 2010 situs WikiLeaks membocorkan kawat Kedubes Amerika Serikat berkaitan dengan pembunuhan Munir. Seperti ditulis The Sydney Morning Herald mengutip dari WikiLeaks, terungkap diplomat Amerika Serikat itu ragu Indonesia akan mengadili “dalang” di balik salah satu skandal terbesar di Indonesia itu. Keraguan pejabat kedutaan Amerika di Jakarta itu didasari pengakuan seorang pejabat kepolisian Indonesia yang menyebutkan dugaan “keterlibatan tingkat tinggi” dalam pembunuhan itu.

Dalam kawat yang dikirim pada April 2007, berjudul “Possible High Level Involvement”, kepada para pejabat kedutaan Amerika di Jakarta, pejabat kepolisian menyebutkan bahwa Hendropriyono adalah salah satu tersangka utama. Pada saat Munir terbunuh pada September 2004, Hendropriyono adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Mantan anggota Tim Pencari Fakta kasus pembunuhan Munir, Usman Hamid, mengatakan dokumen yang dibocorkan Wikileaks itu memperkuat temuan TPF Munir. TPF saat itu memperkirakan rencana pembunuhan dilakukan pada awal tahun. “Sekitar Januari sampai Maret,” kata Usman.

Dalam kaitan kasus ini, Hendropriyono sempat diperiksa, tapi tidak dituntut sebagai terdakwa. Ia selalu membantah tudingan terlibat kasus pembunuhan Munir. “Saya merasa tidak tersangkut. Yang tahu hanya Allah. Tapi silakan diperiksa sesuai dengan hukum jika ini disinyalir sebagai satu kejahatan,” kata Hendropriyono.

Janji Jokowi-JK

Pada September 2014, Tim Transisi Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjanji akan merekomendasikan sejumlah kasus hukum dan hak asasi manusia Kasus yang akan diajukan di antaranya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terkait pembunuhan Munir.

Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Andi Widjajanto, seusai menerima perwakilan dari Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) di kantor Tim Transisi, di Jakarta, saat itu mengatakan, pengajuan peninjauan kembali (PK) dilakukan karena adanya novum atau bukti bara.

“Novum itu disebutkan percakapan telepon antara pilot pesawat Garuda Indonesia, Polly-carpus Budihari Priyanto, dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen (Purn) Muchdi Pr,” kata Andi.

Pengajuan PK diharapkan dapat mendorong Jokowi-JK mengungkap pembunuhan Munir.

Pemerintah Jokowi-JK diharap mengonsolidasikan semua temuan dan fakta-fakta, khususnya rekaman suara Pollycarpus dan Muchdi yang disampaikan Kasum kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Jokowi-JK diharapkan dapat memerintahkan Jaksa Agung melakukan PK ke MA berdasarkan fakta-fakta tersebut.

Berdasarkan catatan, TPF menemukan adanya 35 kali sambungan telepon antara Pollycarpus dan kantor Deputi V BIN sebelum dan sesudah Munir tewas. Hasil penyelidikan TPF Munir yang diserahkan ke Presiden SBY namun tak pernah diumumkan itu, sempat bocor juga di situs lokal semacam Wikileaks, Indoleaks.

Usman Hamid mengatakan pembunuhan Munir merupakan akibat dari sebuah pemufakatan jahat dari orang-orang yang memegang kekuasaan pada saat itu. “Munir dibunuh karena kerap mengkritik pemerintah,” kata Usman, awal September 2016.

Kesimpulan TPF kasus Munir tersebut juga dikuatkan oleh majelis hakim saat persidangan Pollycarpus pada 2006 yang menilai pembunuhan Munir adalah sebuah konspirasi. Dalam amar putusannya, majelis hakim berpendapat Pollycarpus masih banyak menyimpan fakta-fakta yang tidak diungkapkan dalam persidangan.

Sementara itu, pada 2008, saat Mahkamah Agung memvonis Pollycarpus dengan hukuman 20 tahun penjara, MA mengatakan motif pembunuhan Munir tidak bisa dipastikan. Namun, ada kemungkinan pembunuhan Munir dilatarbelakangi urusan politik. “Saat memvonis Pollycarpus, MA berpendapat Munir dibunuh dianggap membahayakan pemerintah, ” kata Usman.

Awal September 2016, serangkaian kegiatan bertajuk malam menyimak Munir digelar dalam rangka merawat ingatan bersama.

Omah Munir bekerjasama dengan LBH Jakarta, KontraS dan beberapa lembaga lainnya mengadakan pemutaran film tentang Munir di setiap malamnya disertai dengan diskusi di akhir pemutaran film. Animo masyarakat khususnya anak-anak muda terhadap sosok Munir terlihat antusias.

Suciwati Munir, istri almarhum, mengatakan anak-anak muda lah yang memiliki peranan yang sangat besar untuk meneruskan pemikiran-pemikiran Munir, sehingga walaupun Munir sudah tiada tetapi perjuangannya akan tetap hidup di hati orang-orang. Suciwati mengatakan harapan untuk penuntasan kasus Munir akan terus diperjuangkan tanpa letih.

Munir dibunuh 14 tahun lalu. Dan kini kita masih harus terus mencari para pembunuhnya dan menyeretnya ke pengadilan, walau mereka kini masih ada di lorong-lorong kekuasaan. [Didit Sidarta]

[Tulisan ini diunggah ulang dari tulisan sama 2 tahun lalu, dengan beberapa penambahan/pengurangan]