Koran Sulindo – Keindonesiaan adalah proyek identitas yang belum selesai. Demikian pernah bergema postulat tersebut beberapa tahun lampau dan kini terasa relevansinya untuk direnungkan kembali, ketika politik identitas atau politik aliran semakin mengeras, mengancam kebersamaan kita sebagai satu bangsa.
Memang, suka atau tidak, harus diakui, keindonesiaan adalah upaya mencari dan menjadi Indonesia, proses yang terus-menerus berlangsung, dengan berbagai dinamikanya, yang tak jarang diselingi letupan-gesekan karena begitu sangat beragamnya latar belakang manusia di negara ini. Namun, justru, dengan adanya proses yang terus-menerus tersebut, Indonesia akan tetap ada, seperti pernah diungkapkan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga penyair terkemuka, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono.
“Selama proses itu masih berlangsung, Indonesia akan tetap ada. Dan penting untuk disadari bahwa wujud keindonesiaan yang kita cari itu pun tidak akan sepenuhnya kita ketahui dan pahami. Itulah yang seharusnya. Sebab, saya khawatir, jangan-jangan kalau kita merasa sudah menemukan Indonesia, keindonesiaan itu malah menjadi tidak lagi ada. Membicarakan keindonesiaan pada hemat saya adalah memperbincangkan proses pencarian itu,” kata Sapardi, beberapa tahun lampau.
Dalam proses pencarian itu, menengok pada kegemilangan masa lalu adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk mengelus-elusnya dan terjebak dalam buaian angan-angan kosong. Namun, pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas masa lalu akan menjadi pijakan kukuh untuk melangkah ke masa depan. Itu sebabnya juga Bung Karno berkali-kali mengingatkan bangsa ini agar tak melupakan sejarah.
Salah satu yang gemilang dari masa lalu kita sebagai manusia yang tinggal di Nusantara adalah banyaknya ulama yang menuliskan berbagai kitab, buku. Bahkan, beberapa di antara kitab-kitab karya mereka mendapat apresiasi tinggi di tengah masyarakat Islam di berbagai belahan dunia.
Pada abad ke-17 malah sudah ada ulama di Nusantara yang berusaha menulis tafsir Alquran, meski nama penulisnya tak diketahui. Sejauh ini, buktinya berupa penemuan tafsir surat al-Kahfi sebagaimana dirujuk dari naskah-naskah yang ditulis ulama Aceh.
Kitab tafsir Alquran lengkap (30 juz) dalam bahasa Melayu pertama kali ditulis oleh Abdur Rauf bin all al-Jawi al-Fansuri atau dikenal sebagai Abdurra’uf Singkel pada abad ke-18, yang diberi tajuk Tarjuman al-Mustafid. Beliau memang kelahiran Fansur atau Barus, kota kecamatan di pesisir,yang kini masuk Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, dan pada 24 Maret 2017 lalu diresmikan Presiden Joko Widodo sebagai Titik Nol Islam Nusantara.
Selain sebagai bandar internasional yang kerap dikunjungi para pedagang dari mancanegara yang ingin mencari kapur barus, Fansur atau Barus memang dikenal sebagai daerah bermukimnya ulama-ulama besar. Selain Abdurra’uf Singkel, ulama besar dari Barus antara lain Syaikh Rukunuddin, Hamzah al-Fansuri, dan Tuanku Kayu Manang.
Ada pula kitab tafsir Alquran yang ditulis pada abad ke-19 oleh Syaikh Nawawi al-Bantani, yang sangat masyhur di dunia Islam sampai sekarang. Kitab tafsir itu berjudul MurahLabid, yang pertama kali diterbitkan di Kairo. Syaikh Nawawi al-Bantani lahir di Tanara, Tangerang, Banten, dari pasangan Umar ibnArabi dan Zubaidah.
Jejak intelektual Islam di Bumi Nusantara memang sudah panjang dan membanggakan pula. Semua itu bisa terjadi karena adanya gairah yang meluap-luap untuk terus belajar, meluaskan cakrawala berpikir. Iqra! [PUR]