Ilustrasi: trp.or.id

Koran Sulindo – Presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, yang dikenal dengan berbagai pembangunan infrastrukturnya, kini memulai sebuah proyek besarnya yang lain dengan rencananya membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur untuk menggantikan Jakarta.

Biaya yang diperlukan untuk memindahkan ibu kota yang baru ini diperkirakan mencapai Rp466 triliun, atau sekitar 18% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan sebesar Rp2.528 triliun.

Jokowi menyatakan pembangunan ibu kota baru akan mulai tahun depan, sebuah isyarat darinya bahwa proyek ini mendesak untuk dilaksanakan karena beban Jakarta yang semakin besar sebagai sebuah ibu kota. Oleh karena itu, Jokowi mengumumkan rencana pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur secara resmi pada 26 Agustus 2019 lalu.

Tapi masalah yang dihadapi Jakarta bukan satu-satunya alasan mengapa Jokowi memutuskan untuk memindahkan Jakarta. Kita juga memahami langkahnya sebagai upaya untuk mendorong pemerataan pembangunan ekonomi dan infrastruktur ke seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut mempertegas reputasinya sebagai ‘presiden infrastruktur Indonesia’

Proyek Infrastruktur yang tidak Merata di Indonesia

Sebagai sebuah negara kepulauan, aktivitas ekonomi Indonesia tidak merata ke seluruh pulau–demikian pula pembangunan infrastrukturnya.

Pulau Jawa mendominasi kegiatan ekonomi negeri ini. Jawa menjadi rumah untuk hampir 60% populasi Indonesia dan menyumbang sekitar 58% untuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Sementara, Pulau Sumatra dihuni 19% populasi Indonesia dan berkontribusi sebesar 23% untuk PDB.

Sedangkan Kalimantan hanya memiliki 5,8% populasi Indonesia dan berkontribusi hanya 8,2% untuk PDB.

Para investor asing, yang diharap juga mendukung proses pembangunan di Indonesia, juga terlalu fokus di Pulau Jawa. Jepang, investor top di Indonesia, mengalirkan 93% investasinya ke Jawa. Hanya 1% dari investasi Jepang yang dialokasikan untuk pembangunan di Kalimantan.

Karena dominasi ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatra, tidak heran jika mayoritas proyek infrastruktur ada di sana. Ada banyak proyek jalan, jalan raya, dan jalan tol yang dibangun di sana untuk membantu memuluskan pergerakan jutaan orang dan barang.

Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jawa dan Sumatra memiliki rencana untuk membangun 154 proyek, sementara hanya 79 proyek yang tersebar di luar Jawa dan Sumatra.

Proyek infrastruktur di Kalimantan sebelumnya hampir tidak ada, sampai akhirnya Jokowi menjadi presiden.

Dalam pemerintahan Jokowi, Kalimantan Timur akan membangun jalan rel dan jalan tol yang menghubungkan Balikpapan dan Samarinda.

Berharap pada Ibu Kota Baru

Dalam membangun ibu kota baru, pemerintah harus meningkatkan kualitas proyek infrastruktur yang ada dan merencanakan proyek baru untuk mendukung kegiatan bisnis. Karena jika tidak, Jokowi tidak akan bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang merata dan menghubungkan ibu kota yang baru dengan jaringan ekonomi global.

Jokowi sepertinya berharap besar bahwa dengan memindahkan sistem birokrasi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini akan mendorong industri, dan investor untuk membangun provinsi di luar Jawa dan Sumatra.

Beberapa kementerian dan institusi berpengaruh rencananya juga akan dipindahkan pada 2024.

Kedutaan-kedutaan besar di Indonesia dan Sekretariat ASEAN, yang berlokasi di Jakarta, rencananya akan dipindahkan juga.

Inisiatif Pembangunan di Kalimantan

Perusahaan-perusahaan Indonesia, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tampaknya akan menjadi yang pertama terlibat dalam proyek pembangunan di Kalimantan Timur tahun depan.

Saat ini, perusahaan-perusahaan telah telah menangani 80% proyek infrastruktur di Indonesia.

Menggunakan jasa BUMN merupakan cara paling yang gampang mempercepat pelaksaan proyek yang baru, karena biasanya pemerintah memiliki wewenang langsung terhadap perusahaan tersebut.

Keterlibatan mereka juga dapat mempercepat proses yang biasanya berjalan lambat, seperti pada saat pengajuan rancangan dan proses tender pengadaan barang dan jasa.

Tapi melibatkan BUMN untuk memulai pembangunan di wilayah terpencil, seperti di Kalimantan Timur, memiliki kelemahan. Ketergantungan memiliki kekurangannya sendiri.

Kebergantungan berlebih pada pemerintah dapat menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan investasi dari pihak swasta yang sangat dibutuhkan dan juga merusak persaingan antar penyedia jasa dan barang. Berbagai pihak sudah menyatakan kritik atas sentimen ini.

Sementara itu, sebuah pertanyaan besar muncul tentang bagaimana pemerintah Indonesia akan melibatkan pihak asing, seperti Cina dengan proyek pendanaan infrastrukturnya yang dikenal sebagaiBelt and Road Initiative (BRI) atau Jepang dengan inisiatifnya yang serupa , Japan’s Partnership for Quality Infrastructure (PQI), dalam membangun ibu kota baru.

Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) telah lama menyediakan bantuan modal dan teknis untuk Indonesia. Sementara, Cina – melalui salah satu banknya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) merupakan pendatang baru.

Indonesia telah mengundang BRI dari Cina untuk berinvestasi pada proyek pembangkit listrik tenaga air bernilai US$17,8 miliar di Kalimantan Utara.

BRI dikenal karena keterlibatannya dalam proyek di wilayah-wilayah yang sulit. Sayangnya, BRI memiliki masalah kredibilitas di Indonesia. Salah satu proyeknya di Indonesia yaitu kereta cepat Jakarta-Bandung gagal memenuhi jadwal dan banyak pejabat menilai sistem manajemen di proyek itu tidak transparan.

Tantangan Perbankan

Untuk menarik investasi bagi pembangunan ibu kota yang baru, Indonesia harus mengatasi masalah kredibilitas proyek infrastruktur mereka yang dapat mempengaruhi minat kreditor.

Proyek infrastruktur di Indonesia memiliki masalah karena kreditor tidak merasa puas dengan profil risiko yang ada dalam proyek.

Mengembangkan cara untuk meningkatkan proyek yang menarik untuk mendapatkan pinjaman adalah upaya untuk memperluas kemungkinan mendapatkan semakin banyak pinjaman. Cara tersebut termasuk merancang proyek-proyek infrastruktur dengan baik dan memperhitungkan segala risiko, mulai dari ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur adalah sebuah harapan untuk memeratakan pembangunan di Indonesia. Jokowi telah menciptakan kesempatan untuk mengubah daerah pinggiran menjadi pusat baru kegiatan ekonomi.

Tuntutan pembangunan infrastruktur ibu kota baru memberi Jokowi peluang lain: untuk menggunakan sumber daya negara tetangga Indonesia di kawasan Indo-Pasifik dan memanfaatkan persaingan di antara mereka untuk membangun ibu kota. [Kyle Springer, Senior Analyst at the Perth USAsia Centre, University of Western Australia]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.