Membongkar Kepalsuan dan Kebusukan Klik Revisionisme Modern Tiongkok  (Bagian 5)

Pertemuan antara Deng Xiaoping dan Mao Zedong/warosu.org

Koran Sulindo – Manusia yang lahir dan hidup dalam masyarakat kapitalis atau setengah jajahan setengah feodal seperti Indonesia, banyak sekali yang bermentalitas konsumtif. Tanpa konsumsi yang terus menerus distimulasi dengan berbagai macam cara, tingkat keuntungan akan menurun, akumulasi kapital tersendat dan roda sistim ekonomi akan berhenti berputar. Tak aneh kalau orang bermentalitas konsumtif menilai sosialisme hanya dari segi konsumsi material. Kaum revisionis serta para agennya sebenarnya sadar akan sukses besar yang dicapai sosialisme Tiongkok. Soalnya mereka memerlukan dalih untuk membongkar dasar ekonomi sosialis dan menggantikannya dengan kapitalisme.

Hasil yang dicapai sosialismenya Mao lebih luar biasa lagi kalau orang mau mengingat situasi internasional ketika itu. Perang Vietnam mengharuskan Tiongkok siap menghadapi kemungkinan eskalasi agresi imperialis Amerika Serikat (AS). Sosial-imperialis Soviet juga merupakan ancaman perang. Lahirlah proyek Front Ketiga yang terdiri dari relokasi pusat industri yang ada di berbagai provinsi litoral Tiongkok Timur yang sulit dipertahankan, kalau terjadi perang, ke daerah pedalaman di Tiongkok Selatan dan barat laut, seperti Guangxi, Sichuan, Shanxi, Hebei, Hubei, Hunan, Qinghai. Pembangunan dirahasiakan, karena menyangkut keamanan nasional. Baru pada akhir 1970-an tidak dirahasiakan lagi.

Pada Januari 1965, Mao berkata: ”Kita harus memperhatikan pembangunan Front Ketiga: ini adalah cara un tuk  mengulur waktu melawan imperialisme dan kaum revisionis …Kita sudah mulai membangun pabrik baja, pabrik senjata, perlengkapan dan mesin-mesin, bahan kimia, minyak bumi dan area pang-kalan kereta api, sehingga kita tidak perlu takut, jika perang pecah”. Maret 1969,  terjadi konflik militer dengan Soviet, di pulau Zhenbao, yang mengakibatkan korban jiwa di kedua pihak.

Di samping membangun basis material untuk sosialisme yang mencakup ekonomi nasional dan pertahanan militer, pembangunan sosialis berarti juga membentuk manusia baru. Dalam hal ini, Mao bertemu dengan  Che Guevara yang dikenal dengan usahanya untuk membentuk “hombre nuevo” (manusia baru). Hal ini tidak ada sama sekali dalam kamus klik revisionis Soviet dan juga Tiongkok.

Pikiran Mao Zedong dan perjuangan dua garis dalam PKT
Pikiran Mao Zedong lahir, ditempa dan dibuktikan dalam perjuangan pembebasan rakyat sejak PKT berdiri tahun 1921, dan juga sepanjang perjuangan dua garis di internal partai. Melalui karya-karyanya, orang dapat mengenal masyarakat, kontradiksi dan tantangan yang dihadapi rakyat dan Partai; analisa, cara dan jalan pembebasan bangsa dan rakyat Tiongkok menuju sosialisme.

Setelah beberapa kekalahan dan kemunduran sebagai akibat berdominasinya garis oportunis kiri maupun kanan, garis dan kepemimpinan Mao akhirnya diakui pada pertemuan Tsun yi tahun 1935. Praktik telah membuktikan ketepatan strategi dan taktik yang diajukan dan diperjuangkan Mao. Namun tidak berarti perjuangan internal antara dua garis selesai dan juga tidak berarti Mao selalu mendapat dukungan mayoritas anggota pimpinan partai.

Misalnya, selama perang melawan agresi Jepang, Wang Ming, anggota Politbiro, menentang Mao dalam menerapkan politik front persatuan dengan Kuomintang (KMT). Wang Ming ingin supaya PKT melebur kekuatannya menjadi bagian dari kekuatan KMT sehingga dapat melawan Jepang dalam satu rencana operasi di bawah satu komando, satu disiplin, dengan persenjataan dan perlengkapan yang disatukan. Sedangkan Mao berpendapat, meninggalkan kebebasan dan kemandirian kekuatan bersenjata PKT berarti menyerahkan basis kekuasaannya. Baik Wang maupun Mao tidak berhasil mendapat dukungan mayoritas. Mao terpaksa berkompromi dan menerima Wang sebagai pimpinan delegasi PKT dalam perundingan dengan KMT di Wuhan.

Perlawanan Wang Ming terhadap garis Mao baru berakhir tahun 1938, ketika Wuhan yang berada di bawah kontrol KMT jatuh. Ini membuktikan kebenaran ide perang tahan lama Mao. Ditambah lagi Dimitrov, Sekjen Komintern ketika itu, mengeluarkan instruksi yang menyatakan garis politik PKT tepat; perbedaan pendapat internal diselesaikan di bawah pimpinan Mao; Wang harus mengakui bahwa Mao adalah pemimpin yang lahir dari perjuangan konkret revolusi Tiongkok.

“Ayo, masuk komune! Kita sedang melaju di jalan sosialis! (Zhang Wenxin, 1955)

Kolektivisasi di Pedesaan
Setelah Republik Rakyat Tiongkok berdiri pada Oktober 1949, garis revolusioner Mao juga menghadapi perlawanan grup revisionis di dalam pimpinan PKT. Dalam landreform terdapat dua kubu dengan dua perspektif pembangunan yang bertentangan. Menurut William Hinton, kubu Mao berpihak pada bentuk kolektivisasi maksimum yang konsisten dengan tujuan produksi dan pemberian pelayanan sosial yang terus meningkat kepada kaum tani. Dalam proses ini akan teratasi secara bertahap dan permanen semua pembagian kelas dalam masyarakat. Tujuan akhir sistem sosialis adalah melenyapkan kelas dalam masyarakat dan penghisapan manusia oleh manusia. Artinya dengan sadar dicari kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan seperti kaum revisionis yang membenarkan segala macam cara bahkan penghisapan untuk membangun “Sosialisme dengan Ciri Tiongkok”. Itu tercermin dalam teorinya Deng “kucing hitam dan kucing putih”. Ada orang yang ingin membela teori Deng ini, tapi tidak punya argumentasi. Frustrasinya disalurkan dengan menuduh orang lain “menggunakannya untuk memonsterkan Tiongkok”.

Terpaksa menyimpang sedikit untuk mengungkapkan sifat reaksioner dari teori Deng yang sebetulnya muncul tahun 1961. Ketika itu, kontradiksi antara jalan kapitalis dan sosialis di dalam PKT menjadi sangat tajam di hadapan kesulitan ekonomi. Jalan keluar yang diajukan tokoh revisionis Liu adalah meningkatkan produksi dengan bersandar pada pertanian individual. Deng maju dengan pandangan “ambil hubungan produksi yang mana saja, asal dapat mengembangkan produksi”. Deng tidak membedakan hubungan produksi sosialis dari hubungan produksi kapitalis. Dia juga berpendapat, pertanian individual juga boleh, asal produksi meningkat. Itulah hakikat dari “tak perduli kucing hitam atau kucing putih”.

Sedangkan Mao dengan tegas menyatakan bahwa hubungan produksi sosialis lebih baik dan sesuai untuk mengembangkan tenaga produksi. Hubungan produksi sosialis akan lebih cepat  mendorong perkembangan tenaga produksi. Kesulitan ekonomi yang dihadapi ketika itu bersifat sementara dalam perjalanan maju dan akan dapat diatasi dengan bersandar pada kepemimpinan partai dan inisiatif massa dan pada sistem sosialis itu sendiri. Mao juga mengkritik Deng yang “tidak mencengkam perjuangan kelas. Tema ‘kucing putih, kucing hitam’ tidak membedakan Marxisme dengan imperialisme”. (Peking Review, 16 April, 1976)

Ketika itu, Mao masih hidup; meskipun terjadi sabotase, halangan dan angin balik dari kaum revisionis, tapi hubungan produksi sosialis dapat dipertahankan dan dikembangkan bersama-sama dengan perkembangan tenaga produksi. Kesulitan dapat diatasi dan tercapai swasembada. Jelaslah, Mao dan praktik sosialismenya sudah membelejeti kebusukan teori Deng.Tak perlu orang lain menggunakannya guna me’monster’ kan Tiongkok kapitalis. Praktik Tiongkok kapitalislah yang telah menelanjanginya sebagai pengkhianat sosialismenya Mao.

Kembali kepada dua kubu dalam landreform. Kubu pimpinan Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping memandang tiap petani dengan sebidang tanah pribadinya sebagai sarana untuk menciptakan ekonomi pasar desa yang justru akan mempertahankan dan mengembangkan pembagian kelas. Konflik antara dua kubu ini mendasari setiap tahap dan peristiwa besar dalam reformasi tanah. Kecenderungan sifat borjuis kecil kaum tani yang memiliki tanah adalah terus mengembangkan produksi dan meluaskan kepemilikannya guna mencapai kemakmuran keluarganya sendiri.

Pengembangan watak borjuis kecil melalui ekonomi pasar desa jelas bertentangan dengan tujuan membangun masyarakat sosialis di mana dipupuk nilai-nilai solidaritas dan kehidupan kolektif. Pertengahan 1955 Mao berkata: “Selama beberapa tahun terakhir, pengaruh kekuatan yang secara spontan cenderung mengarah ke kapitalisme tiap hari berkembang di daerah pedesaan; di mana-mana muncul tani kaya baru, banyak tani menengah makmur yang berusaha mengubah dirinya menjadi tani kaya. Sementara itu, banyak tani miskin, karena tidak memiliki alat produksi, tetap miskin, beberapa di antaranya terjerat utang; yang lain menjual atau menyewakan tanahnya … Jika situasi ini dibiarkan berkembang lebih jauh, akan terjadi polarisasi [kelas] yang semakin serius di daerah pedesaan.”

Jelas, reform tanah saja tidak cukup untuk menciptakan kesetaraan dan kemakmuran. Mao sangat prihatin akan keadaan tani miskin yang tidak memiliki alat produksi lain kecuali tanah. Karena itu, Mao melancarkan kampanye pembentukan grup saling bantu, kemudian koperasi, sampai akhirnya komune rakyat. Kampanye itu diiringi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran, memupuk perasaan kolektif dan setiakawan guna mengatasi individualisme borjuis kecil. Proses itu merupakan kancah perjuangan dua garis.

Dalam laporannya di konferensi sekretaris komite partai tingkat provinsi, kabupaten dan daerah otonomi, Juli 1955, Mao mengkritik mereka, yang “terhuyung-huyung bagaikan wanita yang kakinya terikat” dan mengeluh “kalian terlalu cepat, sangat cepat sekali”. Padahal gerakan massa sosialis sedang berkembang pesat di pedesaan. Mao menganggap keluh kesah, kegelisahan dan tabu yang tak terhitung banyaknya itu tidak beralasan.

Tak heran, agen remo sering menuduh Mao “terlalu cepat membabat kaum kapitalis”, “terlalu cepat masuk tahap sosialis”. Tahun 1952-1953, tahap revolusi demokrasi baru sudah selesai, kalau tidak melangkah ke tahap pembangunan sosialis, lantas mau dibawa ke mana Tiongkok? Itu dia masalahnya! Klik Liu-Deng ingin membangun kapitalisme! Mao sadar betul akan bahaya yang datang dari kalangan pimpinan partai, bukan dari kaum imperialis! Maka itu, tahun 1957, Mao berkata “masalah siapa yang akan menang, sosialisme atau kapitalisme, masih belum sungguh-sungguh dipecahkan”.

Akhir 1962, Mao melancarkan “Gerakan Pendidikan Sosialis” dengan tujuan melawan birokratisme, membalikkan kebijakan sosial-ekonomi klik revisionis yang telah menyabot pembentukan komune rakyat, meningkatkan kesadaran massa tani dan memperbaiki pekerjaan kader partai di pedesaan. Mei 1963, keluar resolusi “Sepuluh Poin Utama” yang mengungkapkan masalah menurunnya gerakan pembentukan komune, disintegrasi pertanian kolektf, peningkatan birokratisme dan korupsi dalam organ partai di pedesaan. Kampanye Pendidikan itu harus menggerakkan massa dan bertolak dari asosiasi dan ormas tani miskin dan tani menengah bawah. Untuk melawan birokratisme dan terpisahnya pimpinan dari massa, resolusi menekankan perlunya kader dan pejabat bekerja secara teratur di desa, dengan begitu menunjukkan bahwa mereka adalah pekerja biasa. Di resolusi itu Mao mengingatkan bahwa massa adalah pahlawan yang sesungguhnya, dan partai menghadapi bahaya menjadi partai revisionis, bahkan “fasis”. Mao melihat kampanye itu sebagai perjuangan membentuk manusia baru melalui pertarungan melawan kekuatan feodal dan kapitalis.

Seruan Mao untuk menggerakan massa tani dan meningkatkan perjuangan kelas membuat klik remo khawatir kehilangan kontrol atas aparatus partai dan negara yang memang mereka kuasai. Perlawanan birokratik terhadap implementasi “Sepuluh Poin Utama” diperkuat lagi oleh instruksi “Later Ten Point” yang dikeluarkan Deng Xiaoping yang menjabat sekjen partai ketika itu, dan “Revised Later Ten Points” yang dikeluarkan Liu Shaoqi. Instruksi kedua tokoh remo itu bertujuan untuk menumpulkan perjuangan kelas, membatasi lingkupan kampanye, memisahkannya dari massa dan  meletakkannya di bawah kontrol mereka melalui pengiriman “tim kerja”.

Penyelewengan dan penjegalan terhadap kebijakan Mao yang bahkan sudah disetujui oleh Komite Sentral selalu terjadi ketika klik revisionis melihatnya sebagai ancaman kepada kedudukan dan dominasinya dalam aparat partai dan negara. Mao dan pendukungnya tak pernah bisa dengan bebas mengambil inisiatif, memperdalam dan mengkonsolidasikannya, belajar dari kesalahan dan maju ke depan. Pada setiap langkah mereka terbentur pada oposisi gigih dari klik remo yang besar, kuat, licik dan pandai bermanuver di dalam partai sendiri. (W. Hinton: On The Cultural Revolution)

Pembantaian di Tiananmen 1989
Poster karikatur di atas memperlihatkan kucing hitam bengis ditemani sebuah tank. Itu aspek lain dari kebijakan dedengkot revisionis kedua Tiongkok yang anti-demokrasi dan anti-rakyat. W. Hinton menulis dalam “ The Great Reversal”, bahwa Deng dikenal sebagai pemimpin yang senang “to teach someone a lesson”, artinya menghukum seseorang sebagai peringatan. Yang pertama, Februari 1979, Tentara Pembebasan Tiongkok (TPR) menerima perintah Deng Xiaoping untuk menyerang Vietnam dengan tujuan “to teach the Vietnamese a lesson” karena Vietnam menjatuhkan pemerintahan Pol Pot di Kamboja. Setelah satu bulan bertempur, Tiongkok mundur. Tanpa mengetahui latar belakang masalah antara Vietnam dan Kamboja, tindakan Vietnam menggulingkan Pol Pot tetap tak dapat dibenarkan. Tapi, perlukah Tiongkok membalasnya dengan agresi militer?

Yang kedua, pembantaian di Tiananmen 1989. W. Hinton, ketika itu, tinggal di sebelah timur laut kota Peking, dekat apa yang mereka sebut jalan lingkar ketiga. Sejak kematian Hu Yao bang, mantan Sekjen PKT (1980-1987), yang diberitakan sebagai pemimpin yang pro-liberalisasi politik, 15 April 1989, kegiatan dan manifestasi mahasiswa di lapangan Tiananmen semakin meningkat, termasuk mogok makan. Manifestasi meluas sampai 400 kota dan berbagai sektor penduduk turut serta termasuk kaum buruh yang sudah merasakan dampak negatif dari reform kapitalis. Setelah darurat militer dikeluarkan Perdana Menteri (PM) Li Peng, pada 20 Mei, di pinggiran kota Peking, sepanjang malam ribuan orang sibuk memblokir hampir setiap persimpangan untuk menghalangi pasukan masuk kota.

Pada 3 Juni, tersebar berita tentara ada di dekat lapangan Tiananmen. Hinton melihat kira-kira 200 tentara di tangga sebelah utara Balai Agung Rakyat. Tiba-tiba, sekitar pukul dua siang, 8.000 pasukan menyerbu dari Balai Agung Rakyat. Mereka bergegas ke arah utara. Rakyat pun muncul; dalam beberapa menit sudah memenuhi seluruh ujung utara jalan. Beberapa pemuda lari ke arah para prajurit dan melemparkan dirinya ke dada para prajurit itu. Beberapa terpental dan jatuh, para prajurit terus lari ke depan, tetapi rakyat terus mengalir menahan kemajuan para prajurit sehingga mereka tak bisa lagi bergerak. Melihat situasi akan bertambah buruk, Hinton meninggalkan lapangan dengan menyusuri jalan kecil yang sejajar dengan jalan Chang An. Ketika sampai di persimpangan, ratusan orang berteriak “gas air mata”, “gas air mata”. Ternyata beberapa polisi bersenjata di depan gedung Komite Sentral, Zhong Nanhai, menyemprotkan gas air mata. Hinton menggenjot sepedanya ke arah selatan dan sampai di depan restoran Kentucky Chicken.

Di dinding tembok “Forbidden City”, Hinton membaca slogan-slogan. Ada yang menggambarkan percakapan antara PM Li Peng dengan Deng: “Paman Deng, apa yang harus kita lakukan sekarang?” Deng menjawab: ”Wah, saya tak yakin. Kita harus tunggu dan lihat, tapi saya pikir yang terbaik adalah mengorbankan Anda untuk menyelamatkan saya.”…Di bawahnya, ada slogan yang berbunyi: ”Lebih baik dengarkan Deng. Dia punya senjata.” Ternyata, memang Deng, tokoh utama dari hard liners yang dinamakan juga the “Gang of Old” yang mendorong  pengerahan pasukan untuk menindas ratusan ribu demonstran itu.

Pada 4 Juni, pukul dua dini hari, Hinton terbangun oleh bunyi tembakan sangat dahsyat di sebelah timur Peking, bukan hanya tembakan senjata otomatis, tetapi juga senjata besar, seperti senjata yang digunakan oleh  tank. Tembakan terdengar gencar bersama dengan masuknya tentara dari barat dan timur. Siang hari, Hinton menyewa sebuah minibus untuk menjenguk kakak iparnya yang baru dioperasi di sebelah utara kota, di daerah Changping. Sopir bus cerita, sepanjang malam dia menjelajahi ujung timur Jalan Chang An dan menggambarkan apa yang dilihatnya “Tentara datang menembak dan di belakang mereka  ambulans tentara mengambil mayat dan membawa mereka pergi untuk menyembunyikan korban”.

Pukul lima sore, Hinton kembali ke kota dan pergi ke Hotel Peking, di mana seorang teman dekatnya menempati sebuah kamar di lantai yang tinggi dan dari situ melihat lapangan. Ada dua baris tentara yang memblokir Jalan Chang An, di belakang mereka sederet tank, dan di belakangnya lagi, banyak kendaraan militer pengangkut personel. Teman-teman Hinton yang sepanjang hari ada di situ, mencatat paling sedikit enam kali tentara menembaki orang dan menghitung 50 korban yang diasumsi mati, belum lagi yang luka-luka. Hinton sempat melihat satu kali penembakan gencar yang berlangsung selama lima menit. Tentara tidak mengizinkan ambulans masuk, jadi yang mengambil jenazah adalah tukang becak, atau sepeda pengangkut barang. Mereka bergegas mengambil korban bahkan saat penembakan masih berlangsung. Hinton bertanya-tanya sendiri apakah diperlukan pembunuhan itu, karena seluruh Jalan Chang An sudah ada di bawah kontrol tentara.

Hinton meninggalkan Hotel Peking sekitar pukul 10.30 malam menuju Palace Hotel untuk mencari taksi atau cara lain untuk pulang. Seorang pemuda keluar dari Rumah Sakit Peking Union Medical College (PUMC) dengan kedua tangannya diperban. Dia mohon Hinton untuk membantunya pulang. Dia tinggal lebih jauh dari tempat tinggal Hinton. Dengan naik becak Hinton mengantarnya pulang. Hinton tanya mengapa dia pergi ke sana. Apa dia tidak tahu tentara masih menembaki orang. Dia merasa harus memberi tahu tentara supaya tidak menembak, karena mereka adalah Tentara Rakyat dan tak seharusnya membunuh rakyat. Dia pikir tentara akan menembak ke udara, ternyata tidak. Dia jatuh dan peluru menghantam trotoar dan pecahannya melukai tangannya. Dia beruntung hanya itu yang terjadi padanya.

Banyak orang takut tinggal di rumah sakit, khawatir pasukan akan datang dan menangkapnya. Mereka pulang setelah mendapat pertolongan pertama. Maka, begitu banyak orang yang meninggal di rumah. Pada hari Rabu minggu pertama, terdapat hampir seratus mayat yang tidak diklaim di rumah sakit PUMC dan enam puluh tujuh yang tidak diklaim di Rumah Sakit Fuxing dan jumlah yang sama di rumah sakit lain di sekitarnya. Jadi jumlah mayat yang tidak diklaim di kamar mayat rumah sakit melebihi jumlah total orang yang diklaim pemerintah telah terbunuh. Tentu saja jumlah itu hanya mencakup mereka yang meninggal di rumah sakit setelah datang untuk perawatan. Tak terhitung orang yang terbunuh di jalan dan yang meninggal di rumah. Hinton memperkirakan yang mati paling sedikit 2.000, dan ribuan lagi yang luka-luka.

Pembantaian di Tiananmen telah memberi satu “kehormatan” lagi kepada Deng. Ia disebut ketika itu sebagai “the butcher of Beijing”, artinya “pembantai Peking”. Itulah hukuman Deng, sekaligus peringatan, kepada jutaan massa yang berani memobilisasi diri untuk me ngemukakan pendapat dan tuntutan. Jelas bertolak belakang dengan cara Mao menghadapi massa.

Sebelum Hinton meninggalkan Peking, datang seorang teman lama, anggota PKT, ke rumahnya. Temannya cerita: “Kemarin kami rapat anggota partai dan semua harus biaotai, artinya mengemukakan sikap. Kami harus berkata bahwa tindakan tentara benar dalam menindas pemberontakan kontrarevolusioner. Saya juga bilang begitu. Saya bohong. Dan sering sekali saya berbohong; begitu seringnya sampai saya jadi muak. Tapi saya harus hidup di sini, harus menghidupi keluarga saya. Saya harus berbohong dalam keadaan seperti ini. Saya harap kau bisa pulang ke tanah airmu dan tidak berbohong tentang apa yang terjadi di sini.” [Tatiana Lukman]