Koran Sulindo – Mahkamah Agung melalui peninjauan kembali (PK) memvonis putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo keliru. “Putusan PN Jaksel Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah tidak tepat dan keliru,” kata Hakim Agung Salman Luthan dalam amar putusan PK yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti dilansir situs resmi Mahkamah Agung.
Pada sidang PK itu, Hakim Salman dibantu oleh Hakim MS Lumme dan Hakim Sri Murwayuni. Akan halnya Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia Tbk (BCA) tahun 1999, ketika ia menjadi Direktur Jenderal Pajak, yang merugikan keuangan negara senilai Rp 375 miliar. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada 21 April 2014, bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik-17/01/04/2014.
Atas statusnya tersebut, Hadi Poernomo kemudian mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 26 Mei 2015, hakim tunggal praperadilan tersebut, Haswandi, mengabulkan sebagian permohonan. Ada beberapa permohonan yang dikesampingkan karena sudah masuk pokok perkara. “Menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Haswandi ketika membacakan putusannya.
Haswandi dalam pertimbangannya, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang menyatakan penetapan tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan. KPK dalam eksepsinya menyatakan, putusan MK yang menjadikan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan membuat norma baru.
Pihak KPK mengungkapkan, hal itu bukan wewenang MK, melainkan wewenang pembentuk undang-undang. Tapi, Haswandi berpendapat, putusan MK dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang sama kuat dengan pembuatan undang-undang yang dilakukan lembaga legislatif. Dengan begitu, semua putusan atas peninjauan terhadap undang-undang berlaku sebagai undang-undang. “Putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga penetapan tersangka secara yuridis adalah wewenang praperadilan,” tuturnya.
Menurut Haswandi lagi, KPK dalam menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka, tidak sesuai prosedur yang diatur di dalam Undang-Undang KPK. “Menimbang, dengan demikian, harus ada proses penyidikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya,” kata Haswandi.
Dalam Undang-Undang KPK, tambahnya, memang tidak diatur secara tegas mengenai waktu penetapan seorang tersangka, apakah di awal atau di akhir penyidikan. Namun, Pasal 38 Undang-Undang KPK menyatakan, segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur di dalam KUHAP juga berlaku bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK.
Haswandi menyatakan bahwa tindakan penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah. Karena, Dadi tidak menyandang status penyelidik pegawai negeri sipil di instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Status Dadi hanya sebatas sebagai auditor.
Menurut Haswandi, Ambarita telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014. Dengan demikian, status penyidik yang sebelumnya melekat kepadanya telah hilang sejak ia diberhentikan. “Pengadilan tidak sependapat dengan pernyataan ahli termohon yang menyatakan KPK dapat mengangkat penyidik independen. Bahwa dalam hal tidak memberikan peluang kepada KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri, pengangkatan penyelidik dan penyidik independen batal demi hukum,” ungkap Haswandi.
Terkait proses penyidikan, Haswandi menyatakan batal demi hukum karena status penyelidik dan penyidiknya dianggap tidak sah sehingga proses penyidikan terhadap kasus Hadi juga tidak sah. Mengenai upaya paksa penyitaan yang dilajukan KPK terhadap Hadi Poernomo, Hakim Haswandi menyatakan pula, itu tidak berkekuatan hukum mengikat. Ia berpandangan, penyitaan merupakan salah satu tindakan penyidikan, yang sebelumnya sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Untuk permohonan Hadi yang dikesampingkan, pertama, terkait permohonan bahwa sengketa pajak adalah merupakan proses hukum khusus dan dalam penyelesaian keberatan pajak sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pajak bukan merupakan perbuatan pidana dan tidak termasuk dalam wilayah pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Kedua, terkait permohonan yang menyatakan bahwa keputusan menerima keberatan pajak PT BCA Tahun Pajak 1999 tanggal 18 Juni 2004 yang dilakukan Hadi adalah tidak termasuk kewenangan KPK sebagaimana dimaksud Pasal 11 huruf C UU KPK. Karena, itu dianggap tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. “Karena hal tersebut telah menjadi materi pokok perkara, hal tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demikian, permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian,” ujar Haswandi.Banyak yang heran dengan putusan Haswandi tersebut. Taufiequrachman Ruki misalnya, yang ketika itu menjadi Ketua Sementara KPK. Ia mengatakan, putusan Haswandi dalam praperadilan tersebut telah mematahkan penanganan ratusan perkara korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. “Putusan praperadilan yang tidak sah mengacaukan 371 tindak pidana korupsi yang punya kekuatan hukum tetap sejak 2004 jadi tidak sah,” kata Ruki, 26 Mei 2015. Padahal, tambahnya, ratusan kasus tersebut telah melalui berbagai upaya hukum, mulai dari banding, kasasi, hingga diputuskan berkekuatan hukum tetap oleh MK.
Ia mengatakan juga, putusan Hakim Haswandi tersebut membuka peluang bagi terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali. “Padahal, tidak ada yang menyatakan salah dalam penanganan kasus ini. Tidak ada yang salah dalam proses,” tutur Ruki.
Putusan tersebut, lanjutnya, juga berdampak pada kinerja KPK. Ruki menganggap, hakim seolah mendegradasi peran KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. “Putusan praperadilan upaya sistematis untuk mematahkan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK, yang jelas memberikan citra pemerintah yang bersih, efektif, dan efisien,” ujarnya.
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi senada dengan Ruki. Mereka menilai Hakim Haswandi, telah melampaui kewenangannya dalam putusan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi Poernomo. Karena, selain membatalkan status tersangka Hadi, sebagai pemohon, Haswandi juga meminta KPK selaku termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Hadi. “Hakim Haswandi memutus lebih dari permohononan pemohon dan di luar undang-undang. Padahal, kalau status tersangka dibatalkan, proses penyidikan tidak serta-merta dihalangi oleh hakim,” kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting, 27 Mei 2015.
Seperti diketahui, menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP). Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 80 KUHAP). Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (Pasal 81 KUHAP).
Yang agak membingungkan, Mahkamah Agung tahun lalu sebenarnya telah menolak upaya PK yang diajukan jaksa penuntut umum ke KPK untuk kasus ini. “Tidak dapat diterima karena jaksa tidak berwewenang mengajukan PK,” kata Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi, 28 Juni 2016. Penolakan PK perkara Hadi Purnomo tertuang dalam Surat Keputusan MA Nomor 50/PK/Pidsus/2016.
Lalu, siapa yang mengajukan PK ke Mahkamah Agung, sehingga Mahkamah Agung memvonis putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk Hadi Poernomo sebagai putusan yang keliru? Bukankah juga Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan MA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan?
Pihak KPK sendiri tampaknya juga mengalami kebingungan yang sama. Itu sebabnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan pihaknya akan mempelajari dulu putusan tersebut. “Karena, meski pertimbangan putusan dikatakan Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwewenang menghentikan penyidikan, amar putusan justru menyatakan PK yg diajukan KPK tidak dapat diterima. Kami akan pelajari putusan ini sekaligus melihat kembali penanganan perkara yang pernah kami sidik tersebut,” ungkap Febri, 2 Februari 2017. [PUR]