Membiasakan Makan Selain Nasi

Saat ini masyarakat Indonesia memiliki pola pangan seragam berupa nasi. Mengingat semakin berkurangnya lahan yang cocok untuk tanaman padi maka kita perlu mendukung pola pangan beragam. Konsumsi jagung, sagu, ubi jalar, dan ketela harus menjadi kebiasaan baru dan gaya hidup baru. Kita kurangi konsumsi nasi dalam kehidupan sehari-hari.

Nasi menjadi makanan pokok sebagian besar bangsa Indonesia. Nasi disantap bersama lauk pauk. Kalau belum makan nasi, rasanya kita belum merasa makan.

Sebagian kecil masyarakat justru mengenal berbagai makanan pokok seperti jagung, sagu, ubi jalar (ketela rambat), dan singkong (ketela pohon atau ubi kayu). Seperti halnya nasi, bahan-bahan makanan tersebut mengandung karbohidrat.

Setiap seratus gram jagung mengandung 25 gram karbo­hidrat. Di Indonesia, jagung menjadi makanan pokok masyarakat Madura dan Nusa Tenggara Timur serta beberapa wilayah di Sulawesi dan Jawa Tengah. Nasi jagung cukup dikenal di daerah-daerah tersebut. Sementara tepung maizena yang dihasilkan jagung bisa untuk membuat kue.

Beberapa daerah di Jawa mengenal tiwul sebagai makanan tradisional pengganti nasi. Tiwul diolah dari gaplek dengan beragam cara. Gaplek adalah singkong yang dikeringkan. Setelah ditumbuk bisa menghasilkan tepung tapioka. Nasi tiwul, begitu biasa disebut, mudah ditemui di kawasan Wonogiri, Pacitan, Gunung Kidul, dan sekitarnya.

Masyarakat Papua memiliki dua makanan pokok, yakni ubi jalar dan sagu. Menurut  arkeolog Hari Suroto, ubi jalar mulai dibudidayakan di pegunungan tengah Papua sekitar 500 tahun yang lalu. Ubi jalar yang ada di Papua kebanyakan ungu.

Lain lagi masyarakat pesisir. Makanan pokok mereka adalah sagu, yang diolah menjadi papeda. Bentuk papeda mirip bubur atau lem kanji. Papeda biasanya disantap dengan ikan kuah kuning. Ikan yang dipilih cakalang, tongkol, atau tuna untuk masyarakat wilayah pesisir pantai. Sementara masyarakat di sekitar Danau Sentani, menggunakan ikan gabus atau mujair sebagai hidangan pelengkap papeda. Papeda dikenal juga di Maluku, bahkan di sebagian Sulawesi.

Cetak sawah

Di Indonesia, beras atau nasi menjadi konsumsi ter­tinggi. Maka kebijakan cetak sawah secara besar-besaran tidak bisa dihindari. Pada kenyataan, tidak semua la­han di Indonesia cocok di­tanami padi.  Lahan kering dan lahan gambut, misalnya, tidak cocok untuk dijadikan sawah. Hampir setiap tahun Indonesia meng­impor beras.

Kondisi seperti ini sudah diperkirakan oleh Bung Karno sejak 1952. Saat peletakan batu pertama pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bung Karno berpidato bahwa penambahan sawah untuk memenuhi perut penduduk negeri bukanlah jalan keluar mengingat lahan yang cocok untuk budidaya padi sawah sangat terbatas.

Masyarakat Indonesia perlu kebiasaan baru dalam pola konsumsi makanan pokok. Bukan hanya nasi tapi juga ragam pangan lokal lain. Selama bertahun-tahun masyarakat telah di­buat bangga ketika makan nasi dan dibuat malu ketika mengkonsumsi pangan lokal lain.  Bahkan orang yang ti­dak makan nasi digolongkan warga miskin.

Kita perlu memilah dan memilih tanaman yang cocok secara budaya dan cocok secara ekologi.  Kecocokan antara budaya lokal dengan komoditas tanaman akan men­jamin keberlanjutan usa­ha pertanian.  Dengan keco­cokan budaya, masya­rakat lokal akan memuliakan lahan pertanian mereka dengan sepenuh

Berpindah dari makan nasi ke non-nasi memang sulit. Perlu upaya perlahan-lahan  untuk mengubah perilaku masyarakat bahwa makan non-nasi juga menghasilkan karbohidrat dan gizi. Mari kita optimalkan potensi pangan lokal dengan berbagai makanan olahan agar bisa menjadi pengganti beras sebagai makanan pokok. [KS]