Memahami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada Media Sosial

Ilustrasi, kompas.com

Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang digital maka kekerasan berbasis gender pun semakin meningkat setiap tahunnya. Kekerasan berbasis gender online atau KBGO, merupakan kekerasan yang ditujukan terhadap seseorang yang didasarkan oleh gender mereka. Kasus ini dialami oleh semua identitas gender. Meskipun demikian KBGO sangat rentan dialami oleh perempuan, karena mayoritas masyarakat kita masih menganggap bahwa kedudukan laki-laki (patriarki) lebih tinggi dibanding gender lain.

Secara umum kasus KBGO berkaitan dengan pornografi, tetapi sebenarnya ada 8 bentuk  kasus-kasus KBGO yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada tahun 2017, yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

Menurut catatan akhir tahun Komnas Perempuan ada peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan langsung. Dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus pada tahun 2020. Hal yang sama dari laporan Lembaga Layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus dan pada tahun 2020 naik menjadi 510 kasus. Bentuk kekerasan yang dilaporkan sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban. Tetapi karena meningkatnya teknologi digital dan luasnya jaringan media sosial juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku seperti orang yang tidak dikenal.

KBGO ini pada umumnya dialami oleh perempuan, seringkali berhubungan dengan tubuh korban perempuan yang dijadikan objek pornografi. Salah satu bentuk kejahatan tersebut adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial maupun situs pornografi yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Dalam hal ini, kasus-kasus pornografi membuat publik ramai sehingga membuat psikis korban terganggu. Sayangnya opini yang berkembang sering menyalahkan si korban (perempuan) sebagai satu-satunya akar masalah pornografi. Selain itu kaum perempuan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang kerap tidak berpihak pada perempuan. Terjadinya kasus KBGO ini tidak dapat dilepaskan dari adanya relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku.

Indonesia sampai saat ini belum memiliki peraturan hukum khusus KBGO, sehingga penanganan KBGO masih berdasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Padahal seperti yang telah diketahui bahwa kedua undang-undang tersebut tidak mengakomodasi kepentingan korban, bahkan korban kerap dijadikan sebagai tersangka. Jika dikaitkan dengan kasus KBGO maka RUU TPKS merupakan jawabannya walaupun sampai sekarang belum juga disahkan. [Nova Shyntia]

* Jika kalian mengalami maka jangan takut untuk menghubungi bantuan dari individu, lembaga atau organisasi terpercaya, seperti Komnas Perempuan (021-80305399), LBH Apik (0813 8882 2669), dan lainnya.