Secara harfiah noken berarti tas berbentuk seperti kantong jaring. Cara membawa noken terlihat unik. Kalau orang membawa tas dengan cara dijinjing atau digendong di bahu, noken disangkutkan ke kepala/dahi mengarah ke bagian punggung atau dada.
Noken dipakai dan dibuat hanya oleh kaum wanita di Papua. Di Papua sendiri ada berbagai suku, karena itu ada berbagai nama khas noken pada setiap suku. Noken suku Mee, misalnya, biasa disebut agiya. Noken dirajut dari serat kulit kayu, bunga anggrek, dan tali rami. Di wilayah pesisir Papua, noken berupa anyaman daun pandan.
Sehari-hari wanita Papua menggunakan noken untuk membawa barang dagangan, seperti buah, sayur, dan umbi-umbian ke pasar. Kadang kala untuk berbelanja. Lain halnya di pedalaman. Di sana masyarakat menggunakan noken untuk membawa bayi, anak babi, sayur, dan pakaian.
Bukan cuma masyarakat pedalaman atau pesisir, kaum intelektual pun sering menggunakan noken untuk menyimpan buku atau membawa laptop ke kampus. Bahkan, menurut peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, noken dipakai saat menghadiri pesta kelahiran, pesta pernikahan, pesta kematian, dan pesta adat.
Yang menarik, pada suku Dani di pegunungan tengah Papua, noken menjadi alat tukar. Noken dengan jumlah tertentu dapat ditukar dengan seekor babi.
Noken memiliki berbagai nama sesuai ukuran. Noken berukuran besar disebut Yatoo, dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, barang-barang belanjaan, bahkan untuk menggendong anak. Noken berukuran sedang disebut Gapagoo, untuk membawa barang belanjaan dalam jumlah sedang. Sementara noken berukuran kecil disebut mitutee, untuk membawa barang-barang pribadi.
Filosofi
Noken mengandung nilai filosofi. Karena dibuat oleh mama-mama (ibu-ibu), noken menjadi simbol kesuburan dan perdamaian bagi masyarakat Papua. Terbukti noken sering menjadi simbol dalam penyelesaian sengketa secara damai.
Wanita yang sudah bisa membuat noken dianggap sudah dewasa. Menurut suarapapua.com, pembuatan noken diwariskan dari generasi ke generasi. Prosesnya cukup sulit dan memakan waktu panjang. Tanaman yang biasa digunakan untuk menghasilkan serat antara lain melinjo, mahkota dewa, dan anggrek. Serat diperoleh dengan cara memukul-mukul kulit kayu dengan kayu kemudian diangin-angin hingga kering, lalu dipintal dan dirajut.
Karena faktor geografi, bahan yang digunakan setiap suku untuk membuat noken, bisa berbeda-beda. Suku Ngalum di daerah Pegunungan Bintang memanfaatkan bahan baku noken dari delapan spesies tumbuhan. Suku Dani di Lembah Baliem memanfaatkan lima spesies tumbuhan.
Pewarnaan noken menggunakan bahan alami. Suku Yali menggunakan pewarna alami dari ekstrak buah Pittosporum pullifolium dan Melastoma polyanthum untuk pewarna ungu/hitam, warna hijau dari daun Phaius tankervilleae, Calanth spp. dan Spathoglottis spp., warna oranye berasal dari buah Gardenia lamingtonii, dan warna kuning dari rimpang Curcuma domestica. Serat alami berwarna pun dimanfaatkan sebagai paduan warna noken yakni serat batang Diplocaulobium regale dan serat daun Freycinetia spp.
Noken dari beberapa suku dihiasi aksesori tambahan. Bahan yang dipilih berupa biji-biji keras dan berwarna kontras. Kerap dijumpai penggunaan hewan-hewan sebagai bahan baku maupun aksesoris noken. Pewarna alami berwarna putih, misalnya, berasal dari cangkang moluska yang dihaluskan. Aksesoris yang ditambahkan pada noken memanfaatkan pula cangkang moluska, bulu-bulu burung kakatua, atau kasuari.
Warisan Dunia
Noken diakui sebagai Warisan Budaya Dunia TakBenda (intangible heritage) dalam Sidang UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) di Paris, Prancis, pada 4 Desember 2012. UNESCO mengakui kekhasan dan keunikan noken Papua sebagai kerajinan tangan berupa tempat atau wadah yang dirajut atau dianyam dari serat pohon atau daun.
Menindaklanjuti penetapan noken sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO, pemerintah Provinsi Papua mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Provinsi Papua setiap Kamis dan Jumat untuk menggunakan noken. Sementara Wali Kota Jayapura memerintahkan ASN di lingkungan pemerintah Kota Jayapura mengenakan noken setiap hari. Lain halnya dengan pemerintah Kabupaten Jayapura yang mencanangkan setiap Rabu sebagai wajib noken bagi seluruh ASN.
Sebagai warisan dunia, kita perlu melestarikan noken. Melestarikan noken berarti melestarikan nilai budaya dan lingkungan. Caranya dengan mewariskan pengetahuan ke generasi muda atau melalui jalur pendidikan formal. Lingkungan alam harus tetap lestari selama pohon penghasil serat tetap dipelihara.
Sayang generasi muda Papua sudah jarang memiliki keterampilan membuat noken. Mungkin karena proses pembuatan noken cukup lama, yakni 1-3 minggu bahkan 2-3 bulan, tergantung proses dan ukuran noken. Bersamaan dengan itu berkembang pembuatan noken dari bahan sintetis yang justru dilakukan di luar Papua. Usaha noken modern bertujuan ekonomi.
Kita harapkan kelestarian noken tradisional tetap terjaga. Di Papua ada 250 etnis dan bahasa. Semua suku ini mempunyai tradisi kerajinan tangan noken. Kalangan perajin noken masih terkendala masalah pemasaran. Selama ini noken masih dijual eceran secara konvensional karena belum ada pengusaha yang berminat menampung produk mereka. Harga noken bervariasi tergantung bahan. Yang cukup mahal, menurut liputan6.com, seharga lima juta rupiah karena terbuat dari kulit anggrek. Hanya ada beberapa orang yang menjual noken tradisional secara daring.
Dampak dari penjualan bebas, banyak wanita dan pria di luar Papua ikut memakai noken. Yah bolehlah untuk ikut melestarikan kerajinan masyarakat Papua. Saat ini banyak tersedia noken modern terbuat dari benang, termasuk benang wol. Harganya cukup murah sebagaimana bisa dilihat pada marketplace. Kita harapkan noken modern tidak mendesak keberadaan noken tradisional. Dengan pembinaan yang sungguh-sungguh, kerajinan rakyat ini tidak akan punah digerus modernisasi. Saat ini Papua tengah menjadi tuan rumah PON. Siapa tahu noken menjadi cenderamata yang menarik buat para atlet dari berbagai daerah. [DS]