Melengkung, Tidak Patah

Koran Sulindo – Ketika Maklumat X– yang ditandatangani Wakil Presiden Mohamad Hatta– diumumkan 16 Oktober 1945, sesungguhnya itu merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik Indonesia. Berdasarkan maklumat itu, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diubah fungsinya dari sebuah badan pembantu presiden menjadi badan legislatif atau parlemen. Lalu, para menteri kabinet bertanggungjawab kepada parlemen sementara, yaitu KNIP.

Selang beberapa waktu kemudian, November 1945, Ketua KNIP Sutan Sjahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri RI yang pertama. Sjahrir diberi kewenangan membentuk kabinet parlementer. Dengan begitu, sebenarnya sistem presidensial, yang dianut dalam UUD 1945, telah diubah menjadi sistem parlementer.

Dalam pertarungan politik di awal kemerdekaan itu, bisa dikatakan, Soekarno dikalahkan. Ben Anderson menyebut momen politik itu sebagai “kudeta diam-diam”. Meski tidak puas dengan perubahan tersebut, Soekarno tetap mendukung kabinet parlementer yang dipimpin Sutan Sjahrir. Dalam sebuah percakapan dengan Ahmad Subardjo, Bung Karno hanya mengatakan: “Seperti rotan, saya hanya melengkung, tidak patah”.  Sebelas tahun kemudian, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno mengukuhkan kembali kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi saat Megawati Soekarnoputri dijegal rezim Orde Baru dari kepemimpinannya di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di tahun 1990-an. Puncak penjegalan itu ditandai dengan pecahnya Peristiwa 27 Juli 1996. Megawati Soekarnoputri tidak patah, ia melengkung dengan melakukan perlawanan melalui jalur pengadilan atas kesewenangan kekuasaan yang menzaliminya.

Dan, kita semua tahu, buah perlawanan dan kesabaran itu berbuah reformasi di negeri ini. PDI Perjuangan, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, kemudian mencatat kemenangan besar dalam Pemilu 1999, pemilu pertama yang berlangsung secara demokratis pasca-Orde Baru.

Begitulah idealnya seorang politisi sejati: tidak mudah patah hanya karena terpaan badai yang menghantam dirinya. Sepanjang tindakan yang dilakukannya untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang diyakininya, seorang politisi tidak perlu takut.  Jika seorang politisi yakin dengan pendiriannya, maka ia sebaiknya menyatakannya secara terbuka—terlepas dari resiko yang mungkin akan dihadapinya.

Hal ini penting karena, tanggung jawab pertama seorang politisi itu adalah pada rakyat. Resiko dan konsekuensi tentu saja akan muncul akibat pernyataan terbuka tersebut. Dan itu harus disikapi sebagai bagian hidup dari seorang politisi. Penyataan bahwa “seorang politisi itu bisa mati berkali-kali” itu ada benarnya. Yang paling penting adalah bagaimana bangkit dari “kematian” atau keterpurukan itu.

Yang penting dicatat, dalam melakukan kritik terbuka sedapat mungkin menghindar dari kemungkinan menyakiti hati orang lain—sekalipun terhadap lawan-lawan politik. Jangan ragu untuk melakukan kritik atas sesuatu yang dianggap kurang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kerakyatan. Namun,  setajam apapun kritik yang dilontarkan perlu diupayakan sedemikian rupa agar tidak menyakiti orang lain. Sikap kritis tidak identik dengan merendahkan martabat orang lain.

Cara yang paling elegan untuk itu adalah menghindari kritik terhadap kehidupan pribadi orang lain, tapi kritiklah sikap dan tindakan politiknya. Jika yang dikritik adalah kehidupan pribadi, maka yang terjadi hanyalah olokan atau ejekan semata. Mungkin ejekan atau olokan itu akan menjatuhkan posisi politik orang yang dituju, tapi itu tidak menyumbang apapun bagi peradaban politik. Hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan yang berkepanjangan.

Meski begitu, seorang politisi haruslah penuh pertimbangan saat akan berbicara. Ia terlebih dahulu harus memikirkan konsekuensi yang akan muncul dari setiap perkataannya, bukan hanya pada dirinya tapi juga terutama bagi kondisi di masayarakat. Berpolitik itu termasuk seni berbicara. Bagaimana kita dapat menyatakan pendapat kita dan mempengaruhi orang lain agar setuju dengan pendapat kita.

Dalam menyampaikan suatu pandangan, seorang politisi juga hendaknya memperhitungkan momentum. Momentum menjadi hal yang penting dalam praktik komunikasi politik. Penyampaian pesan yang efektif tidak saja berkaitan dengan pengirim dan penerima pesan serta isi pesan itu sendiri. Aspek waktu dan tempat juga dapat mempengaruhi bagaimana pesan itu diterima. Jika seorang politisi tidak pandai menggunakan kesempatan atau momentum maka ia akan kalah.

Itu semua pantas dicamkan bagi para tokoh yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan simpatisannya yang  sudah heboh hari-hari ini.   [Imran Hasibuan]