Koran Sulindo – Entah dari datangnya, sosok perempuan berbaju merah dan bermuka sengit begitu saja. Sembari mendekat ke arah tawanan yang terikat itu, sebuah pisau di silet dinding dari anyaman bambu diraihnya.
“Penderitaan itu pedih jenderal, pedih. Sekarang coba rasakan sayatan silet ini juga pedih, tapi tidak sepedih penderitaan rakyat,” perempuan itu berkata getas.
Seperti robot yang tak berhati, tangan si perempuan itu menggores wajah tawanan terikat yang cuma bisa mengerang itu. Sementara latar belakang orang riuh menari Bunga Harum yang dikonotasikan sebagai pesta kematian, kesadisan susul menyusul mengikuti mulai dari gebugan kayu di punggung, bacokan sabit hingga tubuh yang dilemparkan ke dalam sumur sempit. Seram, vulgar dan penuh teror.
Seperti pameran kekejian, kekerasan berlanjut dengan interogasi dan siksaan. “Sekali lagi jenderal, silahkan teken surat pernyataan ini. Atau arit yang akan berbicara,” ancam seorang interogator tanpa wajah.
Ketika sang tawanan itu tetap menolak tanda tangan, arit akhirnya benar-benar berbicara. Orang yang disebutnya sebagai jenderal itu mati. Tubuhnya diseret sebelum dilempar ke sebuah lubang kecil. Berondongan peluru mengakhirinya.
Tentu saja adegan itu lakon, lakon film berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30SPKI. Meski diklaim oleh pembuatnya sebagai dokumentasi sejarah, dengan begitu banyak darah termasuk penggambaran, setting, musik, kekerasan, konflik dan pembunuhan film itu lebih layak masuk kategori horor slasher. Sebuah genre film penuh darah dengan potong-memotong untuk menebar ngeri.
Dalam sejarah sinema dunia, film lazim menjadi propaganda strategi kebudayaan untuk gagasan-gagasan politik. Dan sejak semula film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI memang dimaksudkan sebagai propaganda.
Dikerjakan selama dua tahun dengan modal hingga Rp 800 juta film propaganda ini diselesaikan pada tahun 1984. Film yang disutradarai dan ditulis Arifin C. Noer itu mendasarkan ceritanya berdasarkan versi resmi Orde Baru yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh.
Dirilis sebagai film komersial Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersial maupun kritis. Film ini memenangkan satu Piala Citra dari tujuh nominasi dalam Festival Film Indonesia 1984, sekaligus mencapai rekor penonton terbanyak meski dalam banyak kasus penonton dipaksa datang bukan sukarela.
Sebagai propaganda film ini kemudian menjadi tontonan wajib bagi anak sekolah. Di beberapa tempat mereka digiring ke gedung bioskop oleh guru-guru mereka. Film ini juga setiap tahun tampil di layar kaca pada malam tanggal 30 September.
Film Pengkhianatan G30 S PKI tidak dapat dilihat sebagai representasi masa lalu. Narasi film menekankan pada tema-tema bahwa komunis jahat, penuh tipu muslihat, dan korup. Mereka, para anggota PKI yang nampak duduk merokok pada rapat-rapat rahasia pada ruang penuh asap mengibaratkan tokoh-tokoh dalam film gangster.
Dalam sebuah adegan, seorang bocah yang nampak miskin bertanya kepada ibunya yang sedang menangis, “Siapa yang membunuh Bapak, Ibu?” Sang ibu dalam film menjawab lugas, “Orang komunis, mereka biadab.”
Untuk membenarkan kekerasan langsung itu, dibuatlah propaganda dan pencucian otak melalui sastra dan film sebagai alat ligitimasi anti-komunisme. Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI nyata PKI ditampilkan sebagi penjahat, iblis sekaligus musuh Tuhan yang dianggap menyerang simbol agama termasuk keterlibatan Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani di sekitar Lubang Buaya yang dianggap melakukan kekerasan termasuk melakukanan penyahatan wajah dan memotong alat kelamin para jenderal sebelum dibunuh. Pendekatan film ini jelas hiperbola dan sangat didramatisir hanya demi menggaet simpati masyarakat pada korban sekaligus mengutuk pelaku.
Teori kekerasan Johan Galtung menjabarkan bahwa kekerasan adalah satu kesatuan yang terdiri dikategorikan dalam tiga jenis yakni yakni kekerasan langsung (fisik), kekerasan struktural, dan kekerasan kultural atua budaya.
Berbeda dengan kekerasan fisik dan kekerasan struktural yang dampaknya langsung terasa, kekerasan kultural atau kekerasan budaya adalah model kekerasan yang subtil. Kekerasan yang bahkan korban kadang tak menyadari dampaknya. Melalui budaya, kekerasan diproduksi sebagai sebuah kewajaran, sah dan bahkan dalam beberapa kasus seolah menjadi kewajiban yang harus ditunaikan korban. Tak jaarang bahkan korban justru tampil mempembela pelaku kekerasan.
Kekerasan kultural menjadi alat legitimasi sekaligus pembenar bagi kekerasan langsung dan kekerasan stuktural. Kekerasan model ini mengubah moralitas kekerasan dari yang semula buruk menjadi baik. Pembenaran melalui budaya itulah yang membuat kekerasan menjadi tindakan bermoral dan benar untuk dilakukan.
Dalam kaitan dengan cara film dimanfaatkan sebagai instrumen ideologis, Graeme Turner seorang profesor kajian budaya dari Australia mencatat bahwa film tidak dapat lagi dianggap sebagai karya seni namun merupakan praktik sosial di mana ideologi dan kebudayaan berinteraksi.
Pandangan para sarjana ini relevan untuk untuk memahami mengapa kekerasan budaya dibutuhkan sebagai alat pembenar dan diproduksi sebagai alat komunikasi massa untuk menanamkan ideologi anti-komunis.
Film harus dilihat sebagai medium komunikasi massa di mana transformasi pesan-pesan ideologis dimengerti baik oleh pencipta maupun pemirsa dalam hal substansi, fungsi, dan efeknya.
Pada titik ini, representasi kekuasaan diwakili dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang menjadi penanda kekuasaan negara untuk menanamkan nilai-nilai ideologis mereka.
Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965; Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, film Pengkhianatan G30 S PKI menjadi alat propaganda yang efektif memengaruhi opini masyarakat memandang kaum komunis dan militer secara secara dikotomis, hitam dan putih.
Film menjadi salah satu metode yang dipilih karena penetrasinya dengan budaya popular yang halus dalam praktik indoktrinasi yang memicu keinginan masyarakat untuk menerima konstruksi sejarah yang diciptakan pada dramatisasi film itu.
Wijaya memfokuskan penelitiannya terhadap studi kekerasan budaya yang bersandar pada teori kekerasan Johan Galtung. Ia menyebut dua faktor mengapa masyarakat Indonesia pada gilirannya melegitimasi dan menganggap kekerasan terhadap simpatisan PKI dan proses pengiblisan orang-orang komunis menjadi begitu normal. Dasar pemikiran yang ditawarkan Wijaya dianggap tepat karena kekerasan fisik menjadi mendapatkan legitimasi selama ada dasar-dasar budaya mengikutinya.
Menurut Wijaya sejarah dipelintir untuk mendukung cerita PKI dan gerakan kiri sebagai ideologi iblis yang me njadi ancaman bagi sendi-sendi kehidupan bernegara. Ini belakangan terbukti meski rezim tersebut jatuh, sentiment anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia. Wijaya menyebut keberhasilan itu tak semata-mata sebagai keberhasilan kampanye politik saja namun hasil agresi kebudayaan. Terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965-1966.
Menurutnya ada dua faktor kebudayaan utama yang mempengaruhi cara masyarakat memandang percobaan kudeta tahun itu yakni narasi resmi pemerintah Orde Baru dan ideologi liberalisme. Membahas versi resmi itu hal yang tidak bisa dilupakan adalah tokoh utama di balik lahirnya yakni Nugroho Notosusanto yang membuat versi itu bulan Desember 1965 berjudul 40 Hari Kegagalan G30S.
Ia yang kala itu menjabat sebagai kepala Pusat Sejarah ABRI sekaligus sejarawan dari Universitas Indonesia dan mendasarkan versinya berdasarkan ucapan Soeharto pada pagi 1 Oktober 1965 di depan staf Kostrad yang menyebut PKI berada di balik gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung.
Dari otak Nugroho inilah Orde Baru menggelar kampanye puluhan tahun sejak tahun 1966, untuk memperkuat nilai-nilai ideologis masyarakat sekaligus melegitimasi operasi militer terhadap PKI. Versi ini juga yang menjadi dasar naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan politik di Indonesia. [TGU]