Koran Sulindo – Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengkritik perilaku pengecut politisi yang menampilkan 1.000 wajah hanya untuk mengelabuhi rakyat.

Politisi model ini mencampur adukkan antara nilai dan norma dengan opini personal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya. Tak hanya itu, mereka juga menyelipkan semacam gagasan irasional yang dikemasnya dengan kesantunan dan bahasa kekinian.

Selain mengkritik perilaku pengecut politisi karbitan itu, Megawati juga mengaku dirinya tak takut partainya ditinggalkan kader yang tergiur jabatan atau tawaran partai lain. Megawati mengaku paham betul karakter para kader yang selama ini datang dan pergi di PDIP.

Termasuk yang mengenali mereka yang benar-benar loyal karena ideologi atau hanya hasrat kekuasaan dan ekonomi.

“Saya tidak gamang, saya masih banyak kader yang bertahan, siap mengarungi samudera perjuangan karena keyakinan ideologi,” kata Megawati dalam pidatonya pada HUT PDI-P ke-45, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (10/1).

Menurut Megawati, masih banyak kader PDIP yang tetap setia berjuang bukan karena alasan kekuasaan atau ekonomi semata. Namun kesamaan ideologi.  “Meskipun mereka tidak mendapatkan jabatan apapun. Mereka tetap melakukan kerja-kerja ideologis dari dulu sampai sekarang. Biar gepeng asal banteng,” kata dia.

Salah satu contoh kesetiaan kader partai kepada ideologi yang diajukan Megawati adalah almarhum AP Batubara. Pada suatu kesempatan ketika terjadi perpecahan yang memprihatinkan di PDI, Megawati bertanya, “Bapak mau ikut yang mana? Beliau menjawab, ‘Saya seterusnya ikut kamu Mega’. Baginya berpartai bukan untuk tujuan-tujuan mendapatkan jabatan. Mereka memilih berjuang bersama PDIP karena keyakinan ideologi,” kata Megawati bercerita.

Ideologi, kata Megawati, memastikan dalam situasi sesulit apapun PDIP tak pernah kehabisan cara untuk bertahan sekalgus mempertahankan partai.

Fitnah

Di sisi lain, menurut Megawati di tengah perkembangan masyarakat di abad 21, tantangan berbeda harus dihadapi kader-kader partai. Masyarakat informasi membuat akses pada media dan penciptaan opini menjadi sangat mudah.

Ini bukannya tanpa efek samping. Keterbukaan juga sekaligus menciptakan banalisasi kebohongan. Kebohongan yang direncanakan dan disebarkan tanpa mereka yang melakukannya merasa bersalah.

Megawati menyebut, seringkali bahkan kebohongan itu tujuannya memang disengaja untuk memicu permusuhan dan perpecahan. Kondisi ini seringkali menciptakan impersonalisasi korban, atau korban yang tak lagi dikenali wajahnya.

“Akibatnya pelaku kekerasan menjadi lebih tega dan kejam, memaki, memfitnah dan melakukan pembunuhan karakter kepada siapapun yang tidak mereka sukai,” kata Megawati.

Kondisi itu menurut Megawati menciptakan iklim post trust, emosi mengalahkan obyektivitas dan penolakan pada verifikasi. Kondisi ini lahir akibat anomali politik yang dilakukan politisi-politisi populis yang pandai memanipulasi fakta. Kebohongan direncanakan sistematis.

Gejala ini bisa diidentifikasi pada perilaku politisi saat kampanye menjelang pemilihan. Aktor politik itu mahir mendekati massa dengan gestur dan bahasa yang meyakinkan. Mereka mencampur adukkan antara nilai dan norma dengan opini personal yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya. Lalu ia selipkan semacam gagasan irasional yang dikemasnya dengan kesantunan dan bahasa kekinian. Ia mampu tampil dengan berbagai perwujudan tergantung siapa yang ditemuinya. Megawati menyebut, taktik ini sebagai 1.000 wajah.

“Mereka yang seperti ini adalah seorang pengecut tidak berjiwa ksatria,” kata Megawati yang disambut pembenaran dari hadirin.

“Bapak Presiden, kalau Banteng itu jantan kan. Jadi saya suka bilang begini. Kalau mau tempur ayo! Bersikap yang jantan!” kata Megawati. “Lalu, anak-anak lalu mengingatkan, ibu jangan lupa ibu betina lho.”[TGU]