Megawati, Penjaga Rumah Kebangsaan

Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato pilitik pada HUT PDI Perjuangan pada 10 Januari 2017/pdiperjuangan.id

Koran Sulindo – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, dinilai mempunyai pengalaman yang panjang di dunia politik, terutama politik kebangsaan. Politikus senior yang genap 70 tahun pada 23 Januari besok ini masih dibutuhkan Indonesia untuk menjaga rumah kebangsaan.

“Sebagai anak Soekarno, Proklamator Kemerdekaan dan juga Presiden Pertama Republik Indonesia, Megawati sudah mengenal politik kebangsaan sejak usia belia,” kata politikus senior PDIP Emir Moeis, kepada wartawan, di Jakarta, Minggu (22/1).

Menurut Emir, tak mengherankan jika Adis, demikian panggilan kesayangan kedua orang tuanya kepada Megawati, ketika masih duduk di sekolah dasar sudah bergelora semangat nasionalismenya. Megawati lalu juga “magang” sebagai pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) untuk Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1955.

“Tahun 1964, pemilik nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri ini pun menjadi anggota Paskibraka Nasional. Ketika itu, ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas,” kata Emir, yang pernah satu sekolah dengan Megawati di Perguruan Cikini, Jakarta.

Megawati juga sering diajak Bung Karno melakukan kunjungan ke negara-negara sahabat. Begitu pula ketika tokoh-tokoh dari negara lain berkunjung ke Indonesia, Megawati diminta mendampingi ayahnya. Pada masa menjadi mahasiswi, ia pun aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

“Namun, di dunia politik yang hiruk-pikuk, perjalanan panjang Megawati sebagai politikus kerap tak terlihat banyak orang. Bahkan, kemudian, banyak tudingan miring diarahkan ke dirinya. Yang paling sering muncul adalah stigma bahwa Megawati merupakan sosok politisi yang memiliki karakter dan sikap feodal,” katanya.

‎Tentu saja, lanjut Emir, semua tuduhan tersebut terkesan mengada-ada kalau dilihat dari rekam jejaknya.

“Kalau melihat dengan hati jernih, kita akan menemukan gambaran yang bertentangan dengan semua tudingan itu. Soal tudingan dan sikap feodal, misalnya, jelas hal tersebut tidak benar,” katanya.

Justru Megawati adalah salah seorang tokoh di Indonesia yang dengan gigih memperjuangkan demokrasi, yang merupakan antitesa feodalisme.

“Bahkan, sejumlah pengamat politik menyebut Megawati sebagai Ibu Demokrasi Indonesia,” ucapnya.

Emir menuturkan, sebutan atau gelar itu diberikan karena dia berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan kehidupan yang demokratis di Indonesia, dengan terjun langsung memimpin partai politik, menjadi anggota parlemen, hingga akhirnya meraih pucuk pimpinan negara sebagai Presiden Republik Indonesia.

“Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, upaya-upaya menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan penuh kesungguhan,” katanya.

Emir mencontohkan, pada masa pemerintahannyalah Provinsi Aceh Darussalam memperoleh otonomi khusus serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung untuk pertama kalinya diselenggarakan di Republik Indonesia. Padahal, logikanya, kalau Megawati adalah pribadi dan pemimpin yang feodal, sukar dibayangkan dari tangannya lahir keputusan-keputusan politik semacam itu. Karena, seperti diketahui, feodalisme menafikan semangat egaliter yang menjadi jiwa demokrasi dan mengagungkan pemusatan kekuasaan.

Ketika tidak lagi menjadi presiden, lanjutnya, Megawati Soekarnoputri pula yang konsisten membawa PDI Perjuangan menjadi partai oposisi pemerintah. Sikap ini diputuskan secara resmi dalam Kongres Ketiga PDIP pada April 2010.

“Megawati jelas sangat menyadari feodalisme merupakan sistem yang merugikan negara dan bangsa bila diterapkan dalam sistem perpolitikan,” tutur mantan Ketua Badan Anggaran DPR RI itu.

Karena feodalisme merupakan akar dari praktik-praktik korupsi dan mematikan kreativitas. Itu sebabnya, pada masa pemerintahannya, Megawati antara lain membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, yang punya kewenangan begitu besar dalam menjalankan tugasnya.

Kedua, feodalisme tidak cocok lagi dengan zaman keterbukaan dan egaliter seperti sekarang ini. Singkat kata, feodalisme baik sebagai sistem maupun praktik harus dilawan.

“Megawati sama dengan sang ayah sama-sama antifeodalisme. Bung Karno sering menegaskan agar bangsa dan rakyat Indonesia melawan feodalisme,” kata Emir. [DAS]