Megawati dan PDI Perjuangan Setelah Dua Dekade

Megawati Soekarnoputri ketika menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Posisi politik dan capaian PDI Perjuangan hari ini tentu saja tidak turun dari langit dan diperoleh begitu saja. Jalan terjal dan badai acap menghadang dan menghantam. Akan tetapi, sejarah kemudian membuktikan, PDI Perjuangan tetap berdiri tegak dan menjadi rumah bagi kaum wong cilik, marhaen atau rakyat tertindas.

Partai ini juga pernah menjadi harapan jutaan orang termasuk media massa pada 1999. Terlebih PDI Perjuangan merupakan partai pemenang pada pemilihan umum (pemilu) waktu itu. Kemenangan partai ini dalam pemilu dinilai seharusnya mencerminkan kedaulatan rakyat yang mewujud dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tertinggi negara kala itu.

Tak hanya itu. Rakyat termasuk media massa berharap presiden yang dipilih pada waktu itu seharusnya berasal dari partai moncong putih ini. Bukan karena media massa ingin mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, tetapi lebih kepada mendukung sistem yang sedang dalam proses terbentuk menjadi kuat. Sistem itu adalah pemilu yang demokratis.

Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kendati PDI Perjuangan mampu meraup 33,7% suara atau setara 153 kursi DPR pada 1999, rupanya tidak otomatis membuat Megawati menjadi presiden. Justru suara-suara sumbang semakin kencang terdengar untuk menjegal Megawati menjadi presiden.

Ada banyak alasan untuk menolak Megawati, antara lain dengan memakai isu sektarian. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, menyebut presiden RI harus Islam dan laki-laki. Kemudian, munculnya selebaran – walau tak berpengaruh – calon anggota legislatif PDI Perjuangan 60% merupakan non-muslim. Alasan lainnya adalah Megawati dinilai lembek dalam hal Soeharto dan Dwifungsi TNI serta bertekad tidak mengamandemen UUD 1945.

Karena beberapa alasan itu, lalu muncul pertanyaan: akankah Megawati bernasib sama dengan Aung San Suu Kyi dari Myanmar atau Cory Aquino dari Filipina? Suu Kyi yang merupakan putri dari Jenderal Aung San, seorang pahlawan nasional Myanmar. Suu Kyi merupakan simbol perlawanan rakyat terhadap diktator militer yang dipimpin Jenderal Ne Win yang berhasil memimpin Myanmar setelah kudeta pada 1962.

Seperti Megawati, Suu Kyi bersama partainya berhasil memenangi pemilu. Namun, rezim militer justru membatalkan kemenangan tersebut dan menetapkan Suu Kyi sebagai tahanan rumah. Sementara Cory Aquino terpilih sebagai presiden berkat kekuatan people power dan memaksa kekuatan lama melarikan diri dari Filipina.

Dukungan massa terutama kaum wong cilik terhadap Megawati juga sangat terasa pada 1999. Dan menggambarkan PDI Perjuangan benar-benar menjadi partainya kaum orang banyak. Wong cilik memilih PDI Perjuangan pada 1999 terutama agar Megawati bisa menjadi presiden. Tetapi, mereka dibikin bingung dengan munculnya isu sektarian yang menyebutkan Islam melarang seorang wanita menjadi presiden.

Akibat isu itu, banyak pendukung Megawati yang umumnya wong cilik menjadi kecewa. Mereka bahkan menyesal mencoblos karena elite politik menjegal Megawati untuk menjadi presiden. Sebagian dari mereka menilai tingkah elite politik pada waktu itu tidak berbeda dengan yang diterapkan rezim fasis militer Soeharto yang selalu memanipulasi hasil pemilu.

Sebagian kaum wong cilik asal Surabaya yang merupakan simpatisan PDI Perjuangan mewujudkan rasa kecewa mereka dengan mengumpulkan cap jempol darah untuk mendukung Megawati menjadi presiden. Liputan majalah D&R mencatat sejak aksi itu digelar 28 hingga 30 Juni 1999 tak kurang 1.600 orang telah membubuhkan cap jempolnya. “Rencananya aksi itu akan terus berlangsung hingga Sidang Umum MPR,” tulis majalah D&R.

Lalu, apakah Megawati bernasib seperti Suu Kyi atau Cory Aquino? Dari hasil Pemilu 1999, sesungguhnya tak mustahil Megawati menjadi presiden. Bahkan sulit untuk mencari pembenaran apabila hasil Sidang Umum MPR tidak sesuai dengan hasil pemilu. Satu-satunya alasan yang masuk akal untuk mengatakan Megawati tidak menjadi presiden pada waktu itu merujuk kepada UUD 1945 bahwa yang menentukan presiden adalah MPR. Dan tidak harus dari partai pemenang.

Setelah semua terpaan itu, kenyataan sejarah menunjukkan Megawati gagal menjadi presiden pada 1999. Hasil pemungutan suara dalam Sidang Umum MPR 1999 menunjukkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil terpilih sebagai presiden dengan meraup 373 suara. Sementara Megawati mendapat 313 suara. Dan hasil itu menempatkan Megawati menjadi wakil presiden mendampingi Gus Dur.

Soal ini, Megawati sempat mengenangnya ketika memperingati perayaan Hari Ulang Tahun ke-46 PDI Perjuangan di Kemayoran, Jakarta. Perintah pengurus PDI Perjuangan pada waktu itu ketua umum harus jadi presiden sehingga dirinya tidak mau kalau diminta menjadi wakil presiden. Hal itu pun membuatnya menjadi bingung. Pasalnya, justru calon dari PKB pada akhirnya terpilih menjadi presiden.

Setahun setelah pemilihan itu, PDI Perjuangan menggelar Kongres I di Semarang, Jawa Tengah. Megawati kembali terpilih menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan. Kemudian, pada 2001, Megawati menggantikan posisi Gus Dur. Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, menaikkan status Megawati menjadi presiden setelah MPR mencabut mandat Gus Dur. Pada era Megawati dinilai konsolidasi demokrasi di Indonesia semakin menguat.

Wong Cilik
Berkat suara kaum marhaen dan wong cilik, PDI Perjuangan bisa eksis dan bertahan hingga hari ini. Perolehan suara PDI Perjuangan memang mengalami naik turun sejak zaman rezim fasis militer Soeharto hingga lebih dari dua dekade reformasi. Setelah kemenangan fenomenal pada 1999, PDI Perjuangan akan tetapi gagal menempatkan kadernya untuk menduduki kursi Ketua DPR. Buktinya ketua DPR pada masa itu dipimpin Akbar Tanjung dari Partai Golkar.

Setelah itu, pada Pemilu 2004, justru Partai Golkar berhasil menyalip PDI Perjuangan untuk perolehan suara di parlemen. PDI Perjuangan hanya berhasil menempati posisi kedua dengan perolehan suara yang menurun drastis 18,9% suara atau 109 kursi di DPR.

Selanjutnya pada Pemilu 2009, perolehan suara PDI Perjuangan semakin melorot menjadi urutan ketiga yaitu 14,03% suara atau 95 kursi di DPR. Periode 2004 hingga 2014 sebagai penanda 10 tahun PDI Perjuangan mengambil peran sebagai oposisi terhadap pemerintah. Beruntung selama periode itu, PDI Perjuangan masih mampu menempatkan kadernya Taufiq Kiemas dan dilanjutkan Sudarto Danusubroto sebagai Ketua MPR.

Kemenangan di parlemen baru diraih lagi pada Pemilu 2014 dengan 18,95% suara atau dengan raihan 109 kursi DPR. Tetapi, lagi-lagi sejarah itu sepertinya berulang. PDI Perjuangan gagal menempatkan kadernya untuk menempati posisi puncak di parlemen. Pun demikian dalam hal kekuasaan eksekutif. Kendati PDI Perjuangan mengklaim Presiden Joko Widodo sebagai kader, nyatanya Jokowi cukup intim dengan partai-partai pendukung pemerintah seperti Partai Golkar, misalnya. Bahkan hanya kader Partai Golkar pula yang diperkenankan menjabat menteri sekaligus ketua umum partai.

Untuk Pemilu Anggota Legislatif 2019, PDI Perjuangan berhasil mempertahankan posisinya di tempat teratas dengan 19,33% dari total 139.971.260 suara sah. Berdasarkan itu, partai ini berhasi memenangi pemilihan anggota legislatif dua kali secara berturut-turut. Dari gerak sejarah partai, mulai zaman pergerakan nasional hingga melewati rezim fasis militer Soeharto, tak berlebihan rasanya jika PDI Perjuangan disebut sebagai partai pemenang. Dan hasil pemilu 2019 merupakan kesempatan bagi PDI Perjuangan menunjuk kadernya sebagai pimpinan DPR.

Juga menarik mengamati gerak PDI Perjuangan dan Megawati setelah dua dekade terutama dalam Rakornas partai pada Januari lalu. Dalam acara itu, Megawati berpidato dengan mengeluarkan 5 perintah harian Ketua Umum PDI Perjuangan. Pertama, ia memerintahkan kepada seluruh kader untuk membumikan 4 pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Kedua, seluruh kader untuk terus melakukan otokritik, perbaikan ke dalam dan sempurnakanlah tugas utama partai di dalam menjaga kokohnya persatuan Indonesia. Ketiga, seluruh kader diminta untuk terus berjuang dengan penuh keyakinan, tanpa pernah mengenal lelah termasuk memenangkan Jokowi – Ma’ruf Amin.

Keempat, kader PDI Perjuangan diminta untuk menampilkan wajah politik yang penuh dengan kegembiraan untuk rakyat. Kobarkan harapan rakyat untuk bangkit dan berdiri. Terlebih hadirkan politik santun, penuh etika dan budi pekerti. ‎Terakhir, kader diminta tetap setia pada jalan hukum dan terus perkuat budaya tertib hukum serta wujudkan pemilu yang demokratis.

Semua poin-poin perintah harian Megawati itu bersifat ideologis. Karenanya, perintah harian itu menarik untuk dikaji dan dianalisis. Menurut politikus senior PDI Perjuangan, Izedrik Emir Moeis, perintah harian yang bersifat ideologis itu bisa dimaknai dua hal. Pertama, Megawati ingin mengembalikan khitah PDI Perjuangan sebagai partai ideologis sekaligus partai berbasis massa. Sebagai partai ideologis, maka sudah seharusnya setiap kader memiliki disiplin tinggi untuk tunduk dan menjalankan semua kebijakan partai yang telah diputuskan secara demokratis.

Disiplin itu bukan untuk membuat partai menjadi otoriter melainkan untuk menegaskan sebuah demokrasi juga harus terpimpin. Dengan demikian, sudah semestinya setiap kader memiliki disiplin tinggi atau disiplin baja sebagai perisai untuk mencegah liberalisasi di lapangan ideologi. Terlebih ideologi yang melekat dengan PDI Perjuangan tidak pernah jauh dari apa yang disebut Bung Karno sebagai marhaenisme atau wong cilik itu.

Berkaitan dengan disiplin baja ini, Emir merujuk kepada perintah harian Megawati pada poin kedua manakala Megawati meminta kader untuk melakukan otokritik dan perbaikan ke dalam untuk mewujudkan tugas utama partai menjaga persatuan nasional. Tentang otokritik dan perbaikan ke dalam ini, menurut salah seorang tokoh Revolusi Oktober Rusia, mengajar dan mendidik kader belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi, sebab hanya dengan demikian baru dapat mendidik kader-kader sejati dan pemimpin-pemimpin partai yang sejati.

Ilustrasi: Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berpidato dalam pembukaan acara HUT ke-46 PDI Perjuangan sekaligus Rakornas, di PRJ Kemayoran Jakarta, 10 Januari 2019/Dokumen PDI Perjuangan

Otokritik
Sikap suatu partai yang mau belajar dari kesalahan-kesalahannya adalah ukuran yang terpenting dan terpercaya dari kesungguh-sungguhan partai itu dan bagaimana sebuah partai menunaikan dalam praktik kewajiban-kewajibannya terhadap basis massanya. Secara terbuka mengakui kesalahan, menyingkap sebab-sebabnya, menganalisis keadaan-keadaan yang telah menimbulkannya dan dengan seksama mendiskusikan cara-cara untuk memperbaikinya.

Inilah tanda suatu partai yang serius, karena begitulah sebuah partai menunaikan kewajibannya, mendidik dan melatih kader dan kemudian massa. Itu sebabnya, membeberkan kesalahan dan belajar serta melakukan otokritik bukanlah sesuatu yang berbahaya bagi partai.

Selanjutnya, kata Emir, perintah harian Megawati itu juga bermakna semacam “perpisahan”. Sebelum meninggalkan “panggung” politik, Megawati seakan-akan ingin menegaskan kepada seluruh kader partai untuk terus menjaga dan mewarisi ideologi serta disiplin partai itu. “Semacam penegasan akan ada regenerasi kepemimpinan dalam partai,” kata Emir Moeis yang juga pendiri Koran Suluh Indonesia.

Penilaian Emir Moeis itu barangkali akan dijawab oleh waktu. Tetapi, menjelang Kongres V PDI Perjuangan di Bali dari 8 hingga 10 Agustus 2019 wacana munculnya jabatan ketua harian menjadi pembenar atas rencana Megawati untuk undur diri dari panggung politik. Kendati agenda Kongres V Bali hanya menetapkan ketua umum partai, penentuan kebutuhan pengurus harian atau kader yang ditugaskan mengisi jabatan publik menjadi hak prerogatif ketua umum.

Wakil Sekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan, posisi Kongres V di Bali hanya menetapkan Megawati menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan. Karena itu, postur dan struktur kepengurusan akan sepenuhnya menjadi hak ketua umum. Pendapat Basarah ini dinilai sebagai bentuk diplomatis atas berkembangnya wacana terpilihnya Prananda Prabowo sebagai Ketua Harian DPP PDI Perjuangan dan Puan Maharani ditunjuk sebagai Ketua DPR.

Apa yang disampaikan Basarah merupakan jawaban diplomatis terkait isu dipilihnya Prananda Prabowo sebagai ketua harian DPP PDIP. Juga Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI. Seperti Emir Moeis, kader PDI Perjuangan lainnya yaitu Eva K. Sundari mengatakan, posisi ketua harian dibuat untuk regenerasi kepemimpinan. Apalagi posisi ketua harian punya otoritas mirip ketua umum. Disebutkan Prananda Prabowo merupakan calon terkuat menduduki posisi itu.

Dikatakan Eva, transisi kepemimpinan yang dikehendaki Megawati bukanlah asal transisi. Tetapi, transisi yang tetap dibimbing di bawah kepemimpinannya. Nama lain yang mencuat untuk mengisi posisi itu adalah Puan Maharani. “Itu sangat bergantung kepada keputusan Megawati selaku ketua umum,” kata Eva. [Kristian Ginting]