Koransulindo.com – Agresi militer Belanda I dan II yang terjadi pada tahun 1947 dan 1948 menimbulkan banyak korban, baik dari pihak Indonesia maupun dari pihak Belanda. Pada Agresi Militer Belanda I, pihak Belanda berencana untuk menduduki kota-kota besar yang ada di Jawa dan Sumatera dan serangan Belanda terhadap pihak Indonesia dilancarkan di beberapa daerah seperti Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, dan Purwakarta.
Peristiwa ini dilatar belakangi atas penafsiran berbeda dari pihak Belanda terkait perjanjian Linggarjati dan penolakan pihak Indonesia terhadap permintaan Belanda yang ingin kembali berkuasa di wilayah Indonesia serta menguasai kekayaan alam Indonesia serta beberapa keinginan lain yang ditolak oleh pihak Indonesia karena permintaan Belanda tersebut dirasa akan merugikan pihak Indonesia.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II yang terjadi pada 19-20 Desember 1948 di Yogyakarta dilatar belakangi oleh kekecewaan Belanda atas hasil perjanjian Renville dimana Indonesia dianggap melanggar isi perjanjian tersebut. Belanda pada Agresi Militer II berencana untuk melumpuhkan pusat pemerintahan sementara Republik Indonesia yang saat itu berada di Yogyakarta. Konflik ini berahir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen pada bulan Mei 1949. Dalam isi perjanjian Roem-Royem Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan menarik semua pasukannya dari wilayah Indonesia.
Dikutip dari buku ’Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI’ Pada 7 September 1990 di taman kota ’Hattem’, Roermond, Belanda diadakan peringatan bagi mereka yang gugur dengan dibangun monumen berupa tiang yang mencatat nama-nama korban yang gugur tersebut, bertempat di Nationaal Indie-Monument 1945-1962. Dalam upacara peringatan ini diresmikan deretan tiang tiang batu. Pada tiang batu tersebut terukir 5.843 nama anggota militer yang gugur dalam pertempuran.
Pada kesempatannya Menteri Pertahanan A.L. Ter Beek berpidato dihadapan hadirin yang memenuhi lokasi. Dalam pidatonya dia menyebutkan bahwa monumen ini merupakan kenang kenangan bagi warga negara dan tentara Belanda yang gugur antara tahun 1945-1962.
”Pada Hari dan tempat ini, tempat kita berkumpul, dua tahun yang lalu kepala staf pertahanan berkata bahwa monumen ini merupakan kenang-kenangan bagi warga negara dan kawula Belanda yang gugur antara tahun 1945-1962 di bekas Netherlands-Indeie dan Nederlands Nieuw Guinea. Mereka yang gugur membela kepentingan tanah air kan selalu diingat dan dihormati,” Kata Ter Beek
Ter Beek juga menambahkan bahwa pihaknya merasa malu karena sempat terjadi ketidaksepahaman antara pemerintah dengan pihak veteran perang sehingga terjadi hubungan yang kurang baik.
“Lepas dari semua hambatan material, menurut saya ada suatu rasa malu yang bersumber pada ketidakpahaman bagaimana mengatur hubungan dengan veteran perang. Di negara kita tidak ada tradisi yang demikian. Ini merupakan suatu masalah yang tidak tahu bagaimana cara mengatasinya serta menimbulkan rasa malu. Rasa malu tersebut lebih baik disembunyikan sejauh mungkin, bahkan lebih baik diingkari,” Lanjutnya.
Karena hal ini Ter Beek mengungkapkan perminataan maaf atas nama pemerintah Belanda kepada para veteran yang juga menghadiri upacara tersebut.
”Janganlah kini ada kesalahpahaman. Saya di tempat ini tidak mau terlarut. Terlebih lagi tidak mau melepaskan diri dari kesalahan. Sebagai wakil Pemerintah Belanda, saya tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan ’Mea Culpa’ (permohonan maaf). Terus terang dapat dikatakan bahwa Belanda pada waktu menerima veterannya bersikap kurang baik , bahkan tidak layak. Pemerintah sebagai penyambung masyarakat tidak mampu memperbaiki diri. Saat veteran dan masyarakat bertemu dengan pola-pola pengharapan yang berlawanan, mengakibatkan pengertian dan pengakuan tidak dapat terwujud,” Kata Ter Beek dalam pidatonya.
Pembangunan monumen ini juga menjadi catatan dimana setelah 40 tahun ahirnya pemerintah Belanda menyebut jumlah korban dari tentara Belanda. Setelah 40 tahun juga seorah Menteri Pertahanan Belanda mengakui sepenuhnya bahwa Belanda tidak bersikap layak menerima kembali veterannya. [IQT]