Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim. [istimewa]
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim. [istimewa]

Belum genap seumur jagung kemerdekaan dinyatakan, di bulan September 1945 keberlangsungannya benar-benar dipertaruhkan pada ujung senjata.

Musuh yang dihadapi bayi republik bukan lawan sembarangan. Mereka adalah balatentara Inggris dan Sekutu yang tengah mabuk kemenangan setelah membuat takluk Jerman dan Jepang sekaligus.

Meski tugas resminya di Indonesia, ‘cuma’ melucuti Jepang yang menyerah, semua orang tahu belaka siapa yang membonceng kedatangannya. Belanda!

Ya, bangsa tak berurat malu itu seolah amnesia beberapa bulan sebelumnya negeri mereka tak lebih dari jajahan Jerman. Bagi Belanda, Indonesia yang merdeka adalah omong kosong!

Tak menyembunyikan hasrat kembali menjadi tuan di Hindia mereka mengirim Nederlandsch Indië Civil Administratie ke Batavia pada September 1945.

Organisasi semi militer yang dibentuk 3 April 1944 itu bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum-hukum kolonial usai kapitulasi Jepang.

Berbeda dengan pendaratan di Jakarta yang adem ayem, kemunculan kapal-kapal Inggris di Surabaya segera saja memicu hawa perang di kota.

Sementara pertempuran berada di ujung tanduk, Jakarta lempar handuk dan menyerahkan ‘persoalan’ kepada kepada kebijaksanaan rakyat Surabaya.

Di sisi lain, merespon perkembangan genting itu Bung Karno segera mengirim utusan untuk menemui kiai terkemuka Jawa Timur yakni Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim. Selain menjabat sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuiren di Jombang, Mbah Hasyim adalah Rais Akbar Nadlatul Ulama.

Melalui utusan itu, Bung Karno yang dikenal baik Mbah Hasyim karena sempat nyantri sebentar bertanya, “apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Qur’an.”

Meski merupakan orang paling tepat menjawab pertanyaan Bung Karno, Mbah Hasyim tidak seketika memberikan jawaban pada utusan itu. Ia minta tenggat untuk bermusyawarah dengan para ulama.

Dipanggilnya beberapa kyai termasuk Wahab Chasbullah, Bisri Syamsuri dan beberapa kyai lainnya agar mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura di Surabaya.

Sejatinya, pertanyaan yang dibawa utusan Bung Karno itu sebenarnya tak semata-mata membutuhkan jawaban lisan.

Itu lebih merupakan permintaan ‘terselubung’ Bung Karno agar Mbah Hasyim yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam itu menggerakkan jihad. Dengan ulama tak segan-segan berperang melawan musuh rakyat akan bergerak di belakangnya.

Tentu saja Mbah Hasyim paham betul maksud Bung Karno itu.

Sementara pada tanggal 21 Oktober 1945 para kyai baru bisa berkumpul karena sulitnya perjalanan, sehari kemudian rapat darurat PBNU itu memutuskan bahwa membela tanah air adalah jihad fi sabilillah.

Seruan itu menegaskan wajib hukumnya bagi tiap-tiap orang Islam mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia. Belakangan seruan itu dikenal dengan istilah Resolusi Jihad.

Sebenarnya, sebelum terbitnya Resolusi Jihad tersebut secara pribadi Mbah Hasyim telah mengeluarkan fatwa jihad pada tanggal 17 September 1945.

Tak berbeda dengan Resolusi Jihad, fatwa itu pada pokoknya berisi tiga hal yakni memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan adalah fardu ‘ain,  mati syahid bagi yang meninggal dalam perang dan hukuman bunuh bagi mereka yang memecah persatuan.

Segera saja seruan itu ditanggapi ribuan kyai dan santri dengan berduyun-duyun datang ke Surabaya. Tak hanya mereka yang taat, mereka yang tak terlalu soleh sekalipun ikut tergerak dalam semangat revolusioner itu.

Ya, Resolusi Jihad itulah yang menjadi pemicu mengapa pertempuran melawan Inggris di Surabaya berlangsung begitu sengit, barbar dan mengerikan hampir di semua front.

Di pusat kota pertempuran dasyat terjadi di jalanan, gang-gang diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya sementara mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan.

Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong.

Sejarawan kemudian mencatat, perlawanan arek Surabaya berlangsung dalam dua tahap penting. Pertama, pengorbanan diri secara fanatik, yakni ketika orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati atau mambu runcing nekat menyerang tank-tank Sherman.

Kedua, cara perang yang lebih terorganisir dan lebih efektif mengikuti dengan segala kecermatannya mengikuti buku-buku petunjuk militer milik Jepang.

Santri Kelana

Hasyim Asy‘ari dilahirkan 14 Februari 1871 sebagai anak ke tiga dari 11 bersaudara pasangan Asy‘ari dan Halimah di dusung Gedang sekitar dua kilometer sebelah utara Jombang.

Ayahnya, Kiai Asy‘ari merupakan pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Keras sementara kakeknya dari jalur ibu dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang terkenal sebagai tempat mondok santri Jawa di akhir ke-19.

Dari jalur bapak beberapa sumber menyebut nama lengkap Hasyim Asy‘ari sebagai Muhammad Hasyim bin Asy‘ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pengeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Azis bin Abdul Fatah bin Maulana Ishak bin Ainul Yaqin atau lazim dikenal sebagai Sunan Giri.

Sedangkan dari jalur ibu disebut Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman bin Lembu Peteng atau Prabu Brawijaya VI.

Dengan garis darah menjangkau para alim terdahulu, Hasyim kecil  tak perlu jauh-jauh menimba ilmu. Dari sang ayahlah ia mulai dikenalkan dengan ilmu tauhid, tafsir, hadis, bahasa arab serta bidang keisalaman lainya.

Selain ilmu dari sang ayah, Hasyim menjadi salah satu dari sedikit santri yang mempraktikan falsafah Jawa luru ilmu kanti lelaku atau mencari ilmu adalah dengan berkelana.

Di usia 21 tahun, Hasyim menikahi Nafisah putri Kiai Yaqub dari Siwalan Panji, Sidoarjo pada pada tahun 1892.  Tak lama setelah pernikahan itu, bersama istri dan mertuanya ia berangkat haji ke Mekkah sekaligus memutuskan untuk tinggal di sana menuntut ilmu.

Tujuh bulan tinggal di sana, istrinya meninggal setelah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. Belakangan, Abdullah juga menyusul sang ibu ke rahmatullah yang membuat Hasyim memutuskan kembali ke tanah air.

Kembalinya dari Mekah, Hasyim menikahi Khadijah putrid Kyai Romli dari Kediri pada tahun pada tahun 1899. Di tahun pernikahannya ia membeli membeli sebidang tanah di Tebuireng tak jauh dari Pabrik Gula Cukir di Jombang.

Di tempat itulah dibantu sang ayah Hasyim mulai mendirikan pesantren dengan bangunan pertama terbuat dari bamboo. Bagian depan bangunan digunakan untuk mengajar dan shalat jamaah di belakang dipakai sebagai tempat tinggal.

Pilihan mendirikan pondok dekat pabrik gula bukan tak disadari, lazim di zaman itu dekat pabrik adalah lingkungan foya-foya tempat buruh pabrik menghabiskan sebagian gaji yang baru diterimanya.

Bermula dari pesantren kecil dengan sedikit santri, berkat kerja keras dan doa serta kealiman Hasyim, jumlah santri segera meningkat pesat. Dari delapan santri dalam tiga bulan pertama jumlahnya bertambah menjadi 28 orang.

Para pemuda muslim berbakat banyak yang menjadi santri di Tebuireng dan berhasil menjadi pendiri dan kyai dari berbagai pesantren besar di Jawa. Di antara mereka yang pernah menimba ilmu di Tebu Ireng antara lain ialah Kiai Jazuli yang mendirikan Pesantren Ploso Kediri, Kiai Abdul Manaf yang mendirikan Pesantren Lirboyo Kediri, Kiai Bisri Syansuri yang mendirikan Pesantren Denanyar Jombang, Kiai Chudlory yang mendirikan Pesantren Tegalrejo, Magelang dan Kiai Syafaat yang membangun Pesantren Blok Agung di Banyuwangi.

Sayang, jerih payah itu tak dinikmati Khadijah. Dua tahun di Tebuireng, Hasyim muda kembali harus kehilangan istrinya yang meninggal dunia.

Kali ketiga menikah, Hasyim memperisti Nafiqah, putrid Kiai Ilyas pengasuh dari Pesantren Sewulan Madiun. Belakangan, Hasyim harus kembali merasakan duka ketika istrinya itu meninggal di tahun 1920. [TGU]