Koran Sulindo – Ketika Sutawijaya mulai membangun membangun pusat kekuasaannya di wilayah perdikan Mentaok, Jawa sebagai sebuah konsep budaya, sosial dan militer mulai memasuki babak baru.
Era itu adalah masa di mana penguasa pribumi Jawa berinisiatif kembali membangun kejayaan masa lalunya yang runtuh bersama tenggelamnya Majapahit.
Beberapa naskah babad, menyebut ayah Sutawijaya yakni Pemanahan merupakan keturunan raja terakhir Raja Majapahit, sedangkan ibunya berasal dari keturunan Sunan Giri.
Lazimnya kisah babad, cerita itu memang ingin menunjukkan upaya pujangga-pujangga masa lalu mengkultuskan raja-raja sebagai keturunan orang istimewa.
Bersama ayahnya, Sutawijaya memperoleh hak atas Mentaok sebagai hadiah Sultan Hadiwijaya di Pajang atas jasa membasmi ‘pemberontakan’ Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang, sekaligus membunuhnya pada pertempuran di tepi Bengawan Solo.
Wilayah Mentaok yang membentang dari timur laut hingga tenggara mulai dari Purwomartani di Sleman hingga Kotagede di Yogyakarta sekarang.
Meski disebut sebagai Alas Mentaok, wilayah ini bukan hutan-hutan amat.
Di tempat sudah ada sebuah kedaton kuno bernama Metaram yang uniknya justru bercitarasa Majapahit dibanding tunduk pada Pajang atau Demak yang mengangkangi pesisir utara Jawa.
Oleh Sutawijaya, Mentaok disulap menjadi tanah perdikan yang makmur dan bebas upeti. Perdikan itu kemudian diberi nama Mataram, sama dengan nama kedaton yang bercita-rasa Majapahit itu.
Semasa Pemanahan masih hidup, Mataram tak pernah terang-terang menunjukan ambisinya menjadi penguasa Jawa. Namun, sepeninggal Pemanahan pada tahun 1575, Sutawijaya yang memang penuh energi mulai mengasah taring terhadap Pajang.
Mengklaim sebagai keturunan Majapahit dan dilindungi ramalan sebagai pengemban “Wahyu Majapahit”, Sutawijaya kemudian maju menepuk dada. Ia juga mengklaim bahwa dirinya adalah pemegang mandat penguasa pribumi atas Jawa dan berhak melanjutkan tradisi kejayaan Majapahit.
Klaim sebagai penerus kejayaan Majapahit adalah maklumat perang. Sekaligus pernyataan perang pada para musuh-musuhnya.
Mewarisi dendam Majapahit terhadap para pendatang di pesisir, musuh utama Mataram adalah kaum mapan Pajang dan sisa pengaruh penjajah Arab-Demak yang masih bercokol kokoh di sepanjang pesisir Jawa dari Penarukan sampai Banten.
Juga bukan bukan kebetulan jika satu-satunya langkah yang paling masuk akal bagi Sutawijaya adalah membangun kekuatannya jauh di wilayah pedalaman.
Pilihan ini bukannya tak makan biaya, menjadikan Mataram jauh di pedalaman sebagai basis kekuatan, Sutawijaya harus rela kehilangan kontrolnya atas daerah pesisir utara yang dinamis. Tapi itu hanya sementara.
Pernyataan perang Sutawijaya itu mengubah konstelasi politik Jawa menjadi selatan vs utara atau petani vs pedagang plus kaum-kaum oportunis lainnya.
Di utara, orang-orang asing bersatu dengan adipati pesisir dengan membentuk aliansi ‘keagamaan’ serupa Demak sebagai kekuatan utama.
Aliansi inilah yang pada setiap kesempatan selalu menepuk dada membanggakan keberhasilannya ‘menggebuk’ Majapahit –hal yang membuat orang-orang pedalaman di selatan menaruh kesumat.
Sementara di selatan, orang-orang pedalaman yang terpinggirkan oleh semangat opresifnya keagamaan Demak, bergabung dengan para pejuang dan pelarian Majapahit sambil menunggu momentum balas dendam.
Sutawijaya yang kemudian menyediakan momentum untuk membalas sakit hati para satria Majapahit.
Alasan lain, mengapa Sutawijaya membangun pusat kekuatannya jauh di pedalaman juga harus dilihat sebagai memutus benang merah yang menghubungan Mataram dengan Demak dan orang-orang asing di utara.
Di sisi lain, Sutawijaya sebenarnya hanya meneruskan apa yang dilakukan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya ketika mendirikan pusat pemerintahan Pajang. Jaka Tingkir mengamini nasihat Sunan Kalijaga agar masuk lebih jauh ke padalaman dan menjauhi pesisir utara.
Dengan latar belakang yang berbeda, nasehat sang wali setidaknya didasarkan pada dua kali pengalaman buruk Demak di bawah Trenggana dan Pati Unus yang mengalami kekalahan total ketika menyerbu Portugis di Malaka. Wali yang arif ini tentu sudah mencium bahaya yang akan datang dari laut kelak dikemudian hari. Hanya soal waktu bagi Portugis atau bangsa Eropa lainnya sampai di tanah Jawa.
Perintah Sunan Kalijaga kepada Jaka Tingkir itu menyiratkan dua hal, pertama, agar ia tak lagi mempertahankan Demak yang berorientasi ke laut, tapi membangun bakal kerajaannya di pedalaman. Kedua, agar kerajaannya kelak tidak bersandar pada para ‘dagang layar’ di laut, tapi pada kaum ‘among tani’.
Menelan mentah-mentah nasihat itu bagaimanapun menjadi kesalahan strategis Jaka Tingkir yang fatal, juga Sutawijaya. Meski di masa-masa awal Sutawijaya sukses membalas sakit hati Majapahit dengan mengalahkan aliansi adipati pesisir, Namun perubahan orientasi dari kerajaan bahari menjadi kerajaan kampung yang agraris, akibat buruknya baru dirasakan penerus Mataram kelak dikemudian jaman.
Di masa-masa awal walau jauh berada di pelosok pedalaman, kerajaan agraris Mataram sanggup memantapkan dominasinya dengan menguasai nyaris seluruh tanah Jawa. Bahkan, beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan untuk mengakui kekuasaan Mataram dengan kekuatan senjata.
Belakangan konsep kerajaan kampung ala Sutawijaya gagal menjawab ujian jaman bahkan ketika kerajaan itu berada di puncak kejayaannya. Di masa Sultan Agung, merasa terganggu kehadiran orang-orang Eropa, dua kali ia mengirim tentara untuk mengepung koloni Belanda di Batavia (1628 dan 1629). Meski penyerbuan tersebut melumpuhkan Batavia dan membuat Gubernur Jenderal VOC JP Coen mati kena kolera, secara militer penyerbuan itu gagal total.
Gagal menguasai wilayah barat Jawa, Mataram mengalihkan perhatiannya ke ujung timur yakni Blambangan yang belum sepenuhnya takluk. Di sisi lain, dua kali kegagalan menyerbu Batavia sudah cukup bagi Sultan Agung untuk kemudian tak lagi-lagi ‘mengusik’ orang Eropa.
Begitu juga para penerusnya, tak satupun yang berniat sungguh-sungguh mempersoalkan apalagi menantang pendatang-pendatang asing yang pelan tapi pasti mulai menguasai pesisir-pesisir dan pelabuhan-pelabuhan strategis.
Bisa dibilang, Jawa di era Mataram sepeninggal Sultan Agung adalah Jawa yang terkepung kekuasaan asing di pedalamannya sendiri. Sebagian besar penerus Sultan Agung belakangan justru memilih untuk ‘bersahabat’ dengan Belanda dibanding berkonfrontasi. Menggabungkan kekuatan militer dan intrik politik, Belanda sukses menggerogoti kejayaan Mataram.
Kegagalan tersebut kemudian disempurnakan oleh Paku Buana II yang sakit-sakitan dan sedang sekarat di ranjangnya. Thomas Stanford Raffless dalam The History of Java menyebut untuk menyelamatkan suksesi keluarganya, Paku Buana II pasrah begitu saja ditodong tanda tangan VOC untuk menggadaikan kedaulatannya. Yang bahkan dinyatakan dengan sebuah pernyataan formal.
“Selama dirinya dan para warisnya turun dari tahta kerajaan, kekuasaan negeri ini, diberikan kepada Pemerintah Hindia Timur, dan menyerahkan kekuasaan kepada mereka untuk mengaturnya, dimasa depan, kekuasaan akan diserahkan kepada orang yang mempunyai kemampuan untuk memerintah dan untuk kebaikan bagi Kompeni dan juga bagi Jawa.”
Setelah merekomendasikan anak-anaknya, terutama ahli warisnya untuk mendapatkan perlindungan gubernur, monarki terakhir yang malang ini kehilangan kekuasaannya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Desember 1749.
Di lihat dari sisi itulah, apa yang dilakukan Karebet dan kemudian dilanjutkan Sutawijaya dan semua anak keturunannya memang menyedihkan.
Laut yang di era Sriwijaya dan Majapahit dianggap sebagai sumber kejayaan, di era Mataram justru dilihat sebagai sumber datangnya kekacauan. Di mana Karebet maupun Sutawijaya memilih bersembunyi dan memunggungi laut.[TGU]