Koran Sulindo – Negeri ini pernah memiliki sejumlah hakim agung dengan integritas tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Wirjono Kusuma, yang menjadi hakim agung di masa awal pendirian Mahkamah Agung. “Wirjono Kusuma adalah hakim hebat. Melangkah tegap, ia berjalan melewati meja kami, dengan jari mengusap meja untuk memeriksa ada debu atau tidak. Ia pergi-pulang ke dan dari kantor naik sepeda. Saat pulang, ia akan melambai kepada Anda layaknya seorang bapak dari seberang jalan,” kata seorang narasumber yang dikutip dalam buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung karya Sebastian Pompe.
Teladan integritas juga bisa dilihat dari sosok Hakim Agung Mr Satochid Kartanegara, yang pernah menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia di tahun 1950-an. Mr Satochid Kartanegara juga termasuk jajaran hakim agung di masa-masa awal pembentukan Mahkamah Agung. Pada tahun 1951, Satochid diangkat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung.
“Kehidupan pribadi Pak Satochid sangat sederhana. Kalau mengajar, beliau selalu memakai jas lusuh yang kerahnya sudah dodol-duwel. Tapi, di balik kesederhanaan itu tercermin integritas dan pengetahuan mendalam tentang berbagai aturan dan soal hukum, terutama hukum pidana,” kata Adi Andojo, mantan hakim agung yang pernah menjadi mahasiswa Satochid.
Bahkan, Ketua Mahkamah Agung yang pertama, Mr Koesoemah Atmadja (1898-1952), dalam sebuah berita masa itu digambarkan “sangat miskin”, hanya bisa bertahan hidup “dengan menjual harta benda miliknya”. Gaji awal Ketua MA adalah Rp 650, kemudian naik menjadi Rp 700 di tahun 1947. Tapi, itu tak membuat ia menggadaikan intergritasnya sebagai hakim agung.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dibentuk pada 19 Agustus 1945, hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pembentukan itu ditandai dengan pelantikan Ketua Mahkamah Agung pertama, Mr Koesoemah Atmadja, pada hari itu. Penting dicatat, Mr Koesoemah Atmadja (1898-1952) merupakan seorang tokoh terkemuka di kalangan peradilan Indonesia, baik di masa kolonialisme Belanda maupun di masa kemerdekaan Indonesia. Ia pernah bertugas sebagai kepala pengadilan negeri (landraad) di masa kolonialisme Belanda. Juga satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjadi anggota Raad van Justice di Semarang.
Mr Koesoemah Atmadja termasuk salah satu dari sedikit mahasiswa ilmu hukum Indonesia yang berhasil mencapai gelar doktor di tahun 1920-an. Disertasi doktornya di Universitas Leiden, yang diajukan Desember 1922, berjudul “De Mohammedaansche vrome stichtingen in Indie” (Perkembangan Islam di Hindia Belanda). Ia lulus dengan predikat cum laude.
Meski kehidupan sehari-harinya memprihatinkan, Mr Koesoemah Atmadja dan hakim agung lainnya berhasil meletakkan dasar-dasar peradilan yang kukuh di negara Indonesia yang baru saja merdeka. Itu tentu bukanlah hal mudah, di tengah gejolak Perang Kemerdekaan. Tantangan utama justru datang dari kaum revolusioner sendiri, yang merasa memiliki hak untuk melakukan tindakan-tindakan revolusioner meskipun melanggar hukum positif.
Seperti ditulis Sebastian Pompe, selama masa Revolusi Kemerdekaan, peran hukum dan lembaga-lembaga peradilan bersifat ambivalen. Dalam perjuangan fisik—ketika Republik habis-habisan bertahan hidup—hukum hanya menempati posisi marjinal. Mungkin karena itu, Ketua Mahkamah Agung pertama dan beberapa hakim agung diangkat tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, tapi hakim-hakim di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi baru diangkat setahun kemudian. Bahkan, selama tahun-tahun perjuangan politik dan militer tersebut tak banyak yang dilakukan para hakim. Mr Koesoemah Atmadja sendiri selaku Ketua Mahkamah Agung lebih banyak terlibat dalam komisi-komisi yang dibentuk pemerintah daripada menangani perkara hukum.
Meski begitu, Mr Koesoemah Atmadja selaku Ketua Mahkamah Agung berupaya keras menegakkan prinsip-prinsip independensi lembaga peradilan. Salah satu langkah yang ditunjukkannya adalah ketika mengadili perkara percobaan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, tahun 1946. Perkara ini bermula dari penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di Solo, Jawa Tengah, awal tahun 1946 oleh pasukan yang dipimpin Sudarsono. Penculikan itu segera membuat suasana politik di masa itu menjadi panas, karena belakangan diketahui penculikan itu bagian dari upaya kudeta yang didukung sejumlah petinggi negara.
Meski mendapat tekanan dari berbagai pihak—konon termasuk juga dari Presiden Soekarno—agar membebaskan para terdakwa, Mr Koesoemah Atmadja yang mengadili perkara yang melibatkan sejumlah pejabat negara itu tetap kukuh dalam menjatuhkan putusannya. Dalam tiga pertimbangan putusannya, Mr Koesoemah Atmadja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa Mahkamah Agung adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.
Ketika pasukan NICA-Belanda, setelah Agresi Militer I dan II, menduduki wilayah-wilayah Republik Indonesia, termasuk Yogyakarta, mereka menawarkan para hakim senior untuk bekerja dengan pengadilan Hindia-Belanda. Tentunya dengan iming-iming gaji yang lumayan besar dan fasilitas mencukupi. Banyak hakim senior yang membelot ke kubu Belanda. Dari 23 hakim senior Indonesia yang ada saat itu, hanya 9 yang bertahan di kubu Republik pada tahun 1948. Kesembilan hakim yang bertahan di kubu Republik Indonesia dan tetap menjaga integritas itu adalah: Mr Koesoemah Atmadja, Mr Wirjono Prodjodikoro, Mr Wirjono Koeosoemo, Mr Soekardono, Mr Satochid Kartanegara, Mr Soerjotjokro, Mr Tirtaadmidjaja Gondokoesoemo, dan Mr Aroeman. Para hakim ini merupakan inti perlawanan dalam tubuh peradilan terhadap tekanan pasukan Belanda.
Para hakim agung Indonesia generasi awal itu jelas lebih punya arah daripada generasi-generasi sesudah mereka. Mereka punya pemahaman tentang berbagai sistem hukum asing yang menempatkan hukum Indonesia dan lembaga-lembaganya dalam sebuah konteks lebih luas, yang memungkinkan untuk memperbandingkan kelemahan dan kelebihan sistem hukum nasional.Di tahun 1960, politisi cum negarawan Mohammad Roem menyampaikan dalam sebuah wawancara: “Korupsi di pengadilan sudah dimulai. Masih kecil sejauh ini, melibatkan satu atau dua hakim. Tetapi sudah dimulai dan itulah yang penting. Permulaan ini sangat mungkin berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih menyebar.”
Korupsi di dunia peradilan yang diramalkan Mohamad Roem itu terjadi kemudian di masa Orde Baru. Bahkan, sejak 1970-an, ketika pengadilan diperkuat melalui penambahan pengadilan dan hakim-hakim baru, kecenderungan yang menanjak itu diimbangi dengan kemerosotan moral profesional para hakim yang tajam. Pada awal 1980-an, bertepatan dengan pensiunnya Oemar Seno Adji sebagai Ketua Mahkamah Agung, persoalannya menjadi begitu besar hingga pemerintah mulai melancarkan operasi antikorupsi yang khusus ditujukan ke lembaga peradilan.
Sejak 1980-an itu pula disiplin diri dan etika moral hakim agung demikian merosot, sehingga Ketua Mahkamah Agung merasa perlu memberi instruksi dalam urusan sopan santun. Banyak hakim agung yang tidak terlalu hati-hati atau mendisiplinkan diri dalam perilaku mereka, dan para bawahan mereka tentu lebih tidak peduli lagi, sebuah situasi yang mengancam prestise Mahkamah Agung, tak ayal juga mengancam rasa tanggung jawab terhadap tugas dan martabat pengadilan.
Kampanye yang dinamakan Opstib (Operasi Tertib) ini membongkar jaringan korupsi peradilan yang demikian luas, sehingga istilah “mafia peradilan” muncul untuk pertama kali pada saat itu. Kampanye itu melahirkan pemecatan yang pertama kali diberitakan secara luas (dan dalam beberapa perkara disusul dengan pemenjaraan) sejumlah hakim terkemuka di pengadilan tingkat bawah, seperti Soemadijono, Heru Gunawan, Hanky Azhar, Loudoe.
Sejak saat itu tekanan meningkat, sampai tahun 1992 sebanyak 666 hakim peradilan umum (30 persen dari seluruh korps hakim) memperoleh berbagai macam sanksi disipliner karena melakukan korupsi; empat ratus dari mereka dicopot dari jabatan mereka dan jabatan mereka diturunkan secara drastis sehingga pengunduran diri merupakan satu-satunya pilihan yang masuk akal. Kecepatan pun meningkat pesat, karena pada Mei 1992 saja, lima puluh tujuh hakim dipecat dan tujuh puluh lainnya dihukum atas tuduhan korupsi.
Di era 1990-an, korupsi di pengadilan bawah menjadi endemik, sampai-sampai Ketua Mahkamah Agung saat itu, Purwoto Gandasubrata, membuka Kotak Pos khusus bagi pengaduan anonim tentang penyelewengan yudisial. Ketua Mahkamah Agung terpaksa mengakui kemungkinan bahwa separuh Kehakiman Indonesia terlibat dalam korupsi. Bekas Ketua Muda Mahkamah Agung Asikin Koesoemah Atmadja mengatakan dalam bahasa yang tidak begitu tegas, bahwa “sekitar 50 persen hakim korup”. Tetapi para pengamat terkemuka menganggap perkiraan itu masih konservatif.
Wabah korupsi yang tak terkendali di pengadilan tingkat bawah tak pelak dipengaruhi oleh Mahkamah Agung. Sejak akhir 1980-an menjadi semakin sulit bagi seorang hakim Mahkamah Agung untuk mempertahankan integritasnya. Jumlah hakim agung yang baik dan jujur merosot, dan hakim-hakim semacam itu terancam dikucilkan. Seorang Hakim Mahkamah Agung mengomentari kondisi tersebut: “Jika dahulu orang harus mencari seorang hakim yang korup dengan lentera, sekarang ia harus menggunakan lentera itu untuk mencari hakim yang jujur”.
Di era tahun 1970-an hingga 1990-an sebenarnya masih ada sejumlah hakim agung yang memilliki integritas tinggi, seperti: Asikin Koesoemah Atmadja dan Adi Andojo Soetjipto. Tapi, kekuatan para hakim agung berintegritas itu tak mampu menahan gelombang korupsi yang telah merasuk cukup dalam di tubuh Mahkamah Agung.
Yang lebih mengenaskan, beberapa kali para hakim—baik hakim agung maupun hakim yang bertugas di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri—terjerat masalah korupsi dan kolusi. Semua itu mengakibatkan citra hakim menjadi jelek di mata masyarakat.
Salah seorang hakim agung bahkan mengakui di media massa pada tahun 1990-an: “Ya, saya sering mendapat hadiah dari pihak-pihak yang berperkara. Kalau anda sebut itu korup, tentu saya korupsi. Kalau saya tidak melakukan itu, Anda pikir bagaimana saya bisa punya mobil dan rumah?”
Seorang Ketua Muda Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan: “Seluruh struktur Mahkamah Agung dirasuki korupsi dan akarnya berada di puncak tertinggi institusi. Semua orang, dari jajaran pimpinan sampai yang rekrut baru, terlibat”. Meski begitu, untuk waktu yang lama media massa dihinggapi keraguan untuk menguak masalah ini.
Akibatnya, dari tahun ke tahun, kasus korupsi, kolusi, ataupun suap di Mahkamah Agung marak. Ada yang terkuak di media-massa, tapi lebih banyak lagi yang mengendap. Kasus terbaru yang terungkap ke publik adalah perkara dugaan suap yang melibatkan Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara ini hampir memastikan Nurhadi terlibat, meskipun belum menetapkan Nurhadi sebagai tersangka. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Koran Suluh Indonesia]