Di tahun 1960, politisi cum negarawan Mohammad Roem menyampaikan dalam sebuah wawancara: “Korupsi di pengadilan sudah dimulai. Masih kecil sejauh ini, melibatkan satu atau dua hakim. Tetapi sudah dimulai dan itulah yang penting. Permulaan ini sangat mungkin berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih menyebar.”
Korupsi di dunia peradilan yang diramalkan Mohamad Roem itu terjadi kemudian di masa Orde Baru. Bahkan, sejak 1970-an, ketika pengadilan diperkuat melalui penambahan pengadilan dan hakim-hakim baru, kecenderungan yang menanjak itu diimbangi dengan kemerosotan moral profesional para hakim yang tajam. Pada awal 1980-an, bertepatan dengan pensiunnya Oemar Seno Adji sebagai Ketua Mahkamah Agung, persoalannya menjadi begitu besar hingga pemerintah mulai melancarkan operasi antikorupsi yang khusus ditujukan ke lembaga peradilan.
Sejak 1980-an itu pula disiplin diri dan etika moral hakim agung demikian merosot, sehingga Ketua Mahkamah Agung merasa perlu memberi instruksi dalam urusan sopan santun. Banyak hakim agung yang tidak terlalu hati-hati atau mendisiplinkan diri dalam perilaku mereka, dan para bawahan mereka tentu lebih tidak peduli lagi, sebuah situasi yang mengancam prestise Mahkamah Agung, tak ayal juga mengancam rasa tanggung jawab terhadap tugas dan martabat pengadilan.
Kampanye yang dinamakan Opstib (Operasi Tertib) ini membongkar jaringan korupsi peradilan yang demikian luas, sehingga istilah “mafia peradilan” muncul untuk pertama kali pada saat itu. Kampanye itu melahirkan pemecatan yang pertama kali diberitakan secara luas (dan dalam beberapa perkara disusul dengan pemenjaraan) sejumlah hakim terkemuka di pengadilan tingkat bawah, seperti Soemadijono, Heru Gunawan, Hanky Azhar, Loudoe.
Sejak saat itu tekanan meningkat, sampai tahun 1992 sebanyak 666 hakim peradilan umum (30 persen dari seluruh korps hakim) memperoleh berbagai macam sanksi disipliner karena melakukan korupsi; empat ratus dari mereka dicopot dari jabatan mereka dan jabatan mereka diturunkan secara drastis sehingga pengunduran diri merupakan satu-satunya pilihan yang masuk akal. Kecepatan pun meningkat pesat, karena pada Mei 1992 saja, lima puluh tujuh hakim dipecat dan tujuh puluh lainnya dihukum atas tuduhan korupsi.
Di era 1990-an, korupsi di pengadilan bawah menjadi endemik, sampai-sampai Ketua Mahkamah Agung saat itu, Purwoto Gandasubrata, membuka Kotak Pos khusus bagi pengaduan anonim tentang penyelewengan yudisial. Ketua Mahkamah Agung terpaksa mengakui kemungkinan bahwa separuh Kehakiman Indonesia terlibat dalam korupsi. Bekas Ketua Muda Mahkamah Agung Asikin Koesoemah Atmadja mengatakan dalam bahasa yang tidak begitu tegas, bahwa “sekitar 50 persen hakim korup”. Tetapi para pengamat terkemuka menganggap perkiraan itu masih konservatif.
Wabah korupsi yang tak terkendali di pengadilan tingkat bawah tak pelak dipengaruhi oleh Mahkamah Agung. Sejak akhir 1980-an menjadi semakin sulit bagi seorang hakim Mahkamah Agung untuk mempertahankan integritasnya. Jumlah hakim agung yang baik dan jujur merosot, dan hakim-hakim semacam itu terancam dikucilkan. Seorang Hakim Mahkamah Agung mengomentari kondisi tersebut: “Jika dahulu orang harus mencari seorang hakim yang korup dengan lentera, sekarang ia harus menggunakan lentera itu untuk mencari hakim yang jujur”.
Di era tahun 1970-an hingga 1990-an sebenarnya masih ada sejumlah hakim agung yang memilliki integritas tinggi, seperti: Asikin Koesoemah Atmadja dan Adi Andojo Soetjipto. Tapi, kekuatan para hakim agung berintegritas itu tak mampu menahan gelombang korupsi yang telah merasuk cukup dalam di tubuh Mahkamah Agung.
Yang lebih mengenaskan, beberapa kali para hakim—baik hakim agung maupun hakim yang bertugas di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri—terjerat masalah korupsi dan kolusi. Semua itu mengakibatkan citra hakim menjadi jelek di mata masyarakat.
Salah seorang hakim agung bahkan mengakui di media massa pada tahun 1990-an: “Ya, saya sering mendapat hadiah dari pihak-pihak yang berperkara. Kalau anda sebut itu korup, tentu saya korupsi. Kalau saya tidak melakukan itu, Anda pikir bagaimana saya bisa punya mobil dan rumah?”
Seorang Ketua Muda Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan: “Seluruh struktur Mahkamah Agung dirasuki korupsi dan akarnya berada di puncak tertinggi institusi. Semua orang, dari jajaran pimpinan sampai yang rekrut baru, terlibat”. Meski begitu, untuk waktu yang lama media massa dihinggapi keraguan untuk menguak masalah ini.
Akibatnya, dari tahun ke tahun, kasus korupsi, kolusi, ataupun suap di Mahkamah Agung marak. Ada yang terkuak di media-massa, tapi lebih banyak lagi yang mengendap. Kasus terbaru yang terungkap ke publik adalah perkara dugaan suap yang melibatkan Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara ini hampir memastikan Nurhadi terlibat, meskipun belum menetapkan Nurhadi sebagai tersangka. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Koran Suluh Indonesia]