Petani Sukabumi menjadi korban kriminalisasi konflik agraria (foto/sukabumiekspres.com)

Koran Sulindo – Ratusan petani dari dua desa di Pasir Datar dan Sukamulya, Caringin, Sukabumi menggelar sujud syukur menyambut pembebasan Bubun Kusnandi, rekan sesama petani yang dipidana atas tuduhan penyerobotan lahan.

Ratusan petani itu langsung berebut memeluk dan menyalami begitu Bubun membuka pintu gerbang utama lembaga pemasyarakatan. Bubun dibebaskan dari LP Yomplong, Sukabumi setelah menjalani masa hukuman selama 30 hari.

“Antusias petani hari ini menunjukkan mereka masih solid masih kompak memperjuangkan hak-hak mereka di lahan pertanian yang konon katanya milik salah satu perusahaan,” kata Dewek Sapta Anugerah, Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi seperti dilansir detik.com.

Menurut Dewek, Bubun adalah salah satu tokoh petani mengalami kriminalisasi saat memperjuangkan haknya. “Beliau adalah pejuang agraria, dia rela masuk penjara karena mempertahankan tanah pertanian,” kata Dewek.

Bubun dinyatakan bersalah dan divonis 30 hari oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas tuduhan penyerobotan lahan milik PT Surya Nusa Nadicipta (SNN). Vonis itu memperberat putusan PN Cibadak yang menjatuhkan hukuman 15 hari kepada Bubun. Dia dianggap bersalah melanggar Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak Atau Kuasanya.

Bubun dan sembilan orang petani anggota Serikat Petani Indonesia ditetapkan sebagai tersangka pada hari Rabu 9 Agustus 2017 oleh Polres Sukabumi. Polisi sebelumnya telah memeriksa 20 orang petani sebagai saksi atas sangkaan melakukan perusakan di kantor PT SNN. Insiden perusakan tersebut merupakan puncak konflik agraria yang dalam beberapa tahun terakhir terjadi antara masyarakat dan PT SSN.

Tanah yang diklaim PT SSN itu sejak era kolonial sudah digarap petani dengan ditanami tanaman pangan dan hortikultura serta telah dibangun infrastruktur jalan produksi secara swadaya oleh masyarakat. Lahan tersebut merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi masyarakat di Desa Pasir Datar Indah dan Desa Sukamulya.

“PT. SNN berniat mengambil tanah petani yang sudah dikuasai dan dikelola sejak tahun 1945 seluas 400 ha oleh 486 kepala keluarga dari Desa Pasir Datar Indah dan Desa Sukamulya,” kata Tantan Sutandi Ketua Dewan Pengurus Wilayah SPI Jawa Barat menerangkan.

Menurut Tatan konflik agraria itu bermula sejak tahun 1969 ketika pemerintah  melakukan pengukuran tanah masyarakat dan menerbitkan 880 blangko garapan kepada masyarakat seluas 400 ha.

Kriminalisasi

Pada tahun 1973, PT Gedeh Wangi mengambil melakukan ganti rugi secara paksa dengan mengambil blangko yang dimiliki masyarakat. Total lahan yang berhasil diambil alih PT GW kurang lebih mencapai 320 hektar. Belakangan perusahaan tersebut hanya menggarap kurang dari 30 persen lahan yang dikuasai dengan menanam nilam.

Pada periode 1993-1994 giliran PT SNN datang mengambil alih lahan yang dikuasai PT. GW dan merampas tanah petani. Mereka mengklaim lahan tersebut masuk ke dalam izin Hak Guna Bangunan yang diperoleh perusahaan itu tahun 1996. Konflik mulai memanas ketika pada tahun 2015 melalui preman bayaran PT. SNN mengancam petani agar menandatangani berkas persetujuan pengambilalihan lahan tersebut secara paksa.

Petani melaporkan konflik tersebut kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 31 Maret 2017. Laporan juga ditembuskan ke Kantor Staf Presiden pada tanggal 28 April 2017.

Bulan Maret 2017 silam, perusahaan tersebut menerbitkan surat pemberitahuan agar petani segera mengosongkan lahan dengan alasan akan melakukan pembukaan dan rehabilitasi jalan utama sepanjang 3 km. Jalan tersebut menurut rencana bakal menjadi akses menuju agrowisata milik perusahaan. Perusahaan juga mengerahkan dan mendatangkan alat berat ke lokasi.

Perusahaan itu juga melaporkan empat orang petani atas tuduhan penyerobotan lahan. Keempat petani yang mengalami kriminalisasi itu adalah Bubun Kusnadi, Suryadi, Usman dan Hartomo.[TGU]