Masa Bulan Madu Jakarta-Moskow

Bung Karno dan Nikita Khrushchev di Bali, 1960.

Di sela-sela pertemuan dengan Presiden Jokowi pada Mei 2016 lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memuji Presiden RI pertama, Soekarno, sebagai sahabat sejati negaranya. Menurut Putin, karena itulah hubungan kerjasama antara Rusia dan Indonesia sudah terjalin erat sejak dulu. “Hubungan ini berawal dari sikap yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno yang merupakan teman sejati negara kami,” ujar Putin.

Ucapan Putin itu tidaklah berlebihan. Bung Karno memang tokoh yang merintis Poros Jakarta-Moskow. Meski jarak yang terentang antara kedua ibukota negara itu sejauh 9.306 kilometer, serta budayanya sangat berbeda, tapi hubungan kedua negara tersebut pernah sangat akrab.

Ketika negeri ini masih dijajah Belanda, nama “Indonesia” sudah dikenal di Uni-Soviet. Dalam buku karangan Prof Dr Aleksander Guber (1902 – 1971), sejarawan dunia dan sekaligus pendiri sekolah penelitian ilmiah mengenai Indonesia dan Filipina, yang ditulis tahun 1933, nama “Indonesia” sudah tercantum. Saat itu, Indonesia sebenarnya masih disebut Hindia Belanda, namun Uni Soviet memilih menyebut negara ini sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan.

Sesaat setelah Republik Indonesia merdeka, Uni Soviet merupakan salah satu negara yang pertama memberi dukungan. Menteri Luar Negeri Soviet, Andrei Vyshinsky, mengucapkan selamat atas lahirnya RI. “Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat memberitahukan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan bersedia membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.” Begitu, antara lain, bunyi telegram yang dikirim Vyshinsky.

Telegram tersebut kemudian dibalas Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang saat itu juga menjabat Menteri Luar Negeri, pada 3 Februari 1950. Telegram jawaban Hatta itu untuk mengonfirmasi bahwa pemerintah Indonesia telah menerima pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan dari Uni Soviet dan siap membina hubungan dipolomatik dengan pihak Soviet. Tanggal telegram yang dikirim oleh Hatta itu kemudian dikenang sebagai tanggal bermulanya hubungan diplomatik Indonesia dan Soviet.

Namun, pertukaran duta besar belum terjadi hingga 1954. Keadaan berlangsung lambat saat itu. Meskipun ada rentang waktu tiga tahun tidak ada pertukaran duta besar antara kedua negara, namun sebenarnya kita telah membangun hubungan diplomatik.

Presiden Soekarno mendarat di Moskow 23 Agustus 1956. Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri RI di masa itu, dalam buku Cakrawala Politik Era Soekarno (1985), mencatat peristiwa tersebut: “Ketika Bung Karno menginjakkan kakinya di Moskow keadaan cuaca amat cerah dan bagus. Sungguh mengagumkan bahwa segala upacara penyambutan kedatangan Bung Karno yang direncanakan pemerintah Soviet berjalan lancar dan tepat sekali. Semua pucuk pimpinan pemerintah Soviet dan Partai Komunis turut hadir, termasuk Presiden Voroshilov, Perdana Menteri Bulganin, dan pemimpin Partai Komunis Soviet Nikita Krushchev.”

Dengan keyakinan sebagai seorang eksekutif ulung, Bung Karno mulai dengan move-move politik yang sepintas tampak berhubungan dengan soal Uni Soviet dan Amerika Serikat. Akan tetapi bila diperhatikan dengan seksama, maka move-move politik itu pada pokoknya adalah untuk lebih menaikkan suhu politik di Jakarta.

Maka demikianlah, dari jantung tanah Rusia, Kremlin, ia mulai merencanakan rencana induknya, yang kemudian hari membawanya ke puncak kekuasaan. Semua pidato resminya selama kunjungan ke seluruh Uni Soviet berisi ulangan tiga pokok pikiran, yaitu : 1) Pengutukan kolonialisme Belanda; 2) pernyataan bahwa demokrasi barat bukanlah jalan yang benar untuk di ikuti oleh Indonesia; 3) penghormatan kepada Uni Soviet yang tidak menyimpang dalam menjalankan tugasnya menciptakan perdamaian dunia melalui semangat koeksistensi yang penuh kedamaian.

Tanpa memandang siapa yang hadir, maupun soal waktu dan tempat – apakah orang-orang cerdik pandai Rusia yang berkumpul di Balai Sidang Ilmu Pengetahuan di Moskow, apakah tokoh-tokoh politik di Kremlin, apakah dihadapan kaum buruh pabrik dipegunungan Ural, atau dihadapan kaum tani di Uzbekistan – Presiden Sukarno selalu mengulang menyampaikan tiga pokok pikiran tersebut.

“Akan tetapi ketiga pokok pikiran itu, bagaimanapun pedihnya terdengar oleh telinga Barat, dan betapun merayunya menurut perasaan Timur, hanyalah merupakan tabir untuk menutupi maksud sebenarnya dari move-move yang dijalankannya Bung Karno”, tulis Ganis Harsono.

Hal ini menjadi jelas pada waktu tiga hari sebelum akhir kunjungan resminya di Uni Soviet, yakni pada hari senin tanggal 10 September 1956, waktu ia mengadakan pertemuan dengan Presiden Voroshilov di Kremlin. Pertemuan itu disebut sebagai pertemuan persahabatan. Hanya beberapa orang saja yang hadir dalam pertemuan tersebut. Di pihak Uni Soviet hanya dihadiri oleh Presiden Voroshilov, Wakil Ketua Pertama Dewan Menteri Mikoyan, duta besar Soviet di Indonesia Zukov dan beberapa orang penerjemah. Di pihak Indonesia hanya Presiden Sukarno, menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, Duta Besar Palar, Kepala Bagian Penerangan Suwito, dan Ganis Harsono, serta seorang penerjemah.

Lawatan Bung Karno ke Uni Soviet di tahun 1956 merupakan tonggak kesepakatan perdagangan pertama kedua negara. Sejak itu, hubungan kedua negara terus berkembang pesat.

Setahun kemudian, pada 1957, Ketua Dewan Tertinggi Uni Soviet (USSR Supreme Soviet) Klim Voroshilov berkunjung ke Indonesia. Jakarta menyambut hangat kedatangannya. Awalnya, perbedaan ideologi politik dan sistem ekonomi kedua negara sempat membuat hubungan kedua negara tidak berjalan mulus. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadi halangan untuk memperkuat hubungan bilateral mereka. Ketika itu, ketegangan terasa di seluruh belahan dunia akibat pertentangan ideologi antara Blok Barat dan Timur. Selain itu, revolusi sosialis tengah terjadi di beberapa negara, dan berdampak sangat luas.

Pemerintah Uni Soviet paham bahwa mereka tidak dapat memaksakan kehendak dalam hal ideologi negara atau mengklaim posisi dominan terhadap Indonesia. Baik Indonesia maupun Uni Soviet saling menyadari bahwa kedua negara dapat fokus menjalin kerja sama yang saling menguntungkan, tanpa mempermasalahkan ideologi politik.

Pada 12 April 1961, Soekarno kembali berkunjung ke Soviet. Meski kunjungan Soekarno ke Uni Soviet kala itu merupakan kunjungan yang bersifat simbolis, beberapa pakar berpendapat pemerintah Uni Soviet kala itu telah berharap Indonesia dapat menjadi sekutu, baik secara militer maupun ideologi. Kunjungan pada tahun 1961 tersebut semakin mengukuhkan kemesraan hubungan Uni Soviet dengan Indonesia.

Selama satu dekade, dari pertengahan 1950-an hingga pertengahan 1960-an, hubungan Indonesia dan Uni Soviet berkembang secara signifikan, bahkan bagaikan “bulan madu”. Namun, bukan berarti hubungan baik kedua negara hanya terkait hubungan militer semata. Uni Soviet juga banyak bekerja sama dengan Indonesia dalam membangun infrastruktur sipil, seperti Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta, stadion, dan reaktor nuklir percobaan di Serpong.

Ketika Bung Karno akan menggelar GANEFO (Games New Emerging Force), Uni Soviet juga membantu membangun sejumlah fasilitas olahraga, termasuk Stadion Ganefo (kini menjadi Gelora Bung Karno) di kawasan Senayan, Jakarta. Ganefo sendiri adalah kompetisi olahraga yang melombakan berbagai olah raga yang pesertanya berasal dari gerakan Negara Non Blok.

Pembangunan gelanggang olahraga ini dimulai  awal 1958 atas bantuan Uni Soviet pada masa Perdana Menteri Nikita Kruschev. Biayanya ketika itu sebesar US$ 12,5 juta atau Rp 117,6 miliar.  Peletakan tiang pancang pertama stadion yang mampu menampung 100.000 orang itu dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 8 Februari 1960 dan disaksikan langsung Wakil PM Uni Sovyet Anastas Mikoyan.

Yang menarik, warga Rusia juga gandrung dengan budaya Indonesia. Selama era Presiden Soekarno, lima kampus di Soviet membuka jurusan Sastra Indonesia. Cukup banyak pakar budaya Indonesia lahir berkat jurusan tersebut, misalnya Profesor Alexey Durgov. Musik gamelan serta bermacam tari-tarian dari Tanah Air masih dipelajari oleh warga Rusia sampai sekarang.

Mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk belajar di universitas Uni Soviet juga cukup banyak. Sedikitnya ada seribuan mahasiswa yang belajar di berbagai kampus di Uni Soviet, terutama belajar tentang teknologi industri perkapalan, antariksa, tenaga nuklir. Sayang, setelah peristiwa G 30 S 1965, para mahasiswa ini tak bisa kembali ke tanah air dan terlunta-lunta di sejumlah negara Eropa.

Dalam bidang pertahanan, setelah proposal Indonesia (yang ditawarkan KSAD Jenderal AH Nasution) ditolak Amerika Serikat, Presiden Soekarno pun berpaling ke Uni Soviet. Ternyata, Indonesia tidak hanya mendapatkan apa yang dibutuhkan, tetapi dengan dukungan Uni Soviet, Indonesia mampu mengembangkan teknologi dan pengetahuannya di bidang militer.

Di masa itu, Uni Soviet memasok banyak peralatan militer pada Indonesia, mulai dari tank, kapal perang, dan berbagai jenis pesawat tempur. Dukungan alutsista senilai USD 2,5 miliar itu berupa Kapal Perang tipe Sverdlov, 12 kapal selam kelas Whiskey, 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, maupun 30 unit pesawat MiG-15. Semuanya digunakan Indonesia saat menggelar operasi Trikora merebut Irian Barat dari pendudukan Belanda.

Selain memasok peralatan militer, Uni Soviet juga memberikan pelatihan teknis untuk para tentara Indonesia di akademi militer di Moskow, Saint Petersburg, Sevastopol, dan Vladivostok. Rusia juga mengirim seribu instruktur ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Madiun untuk melatih tentara Indonesia. Rusia sadar bahwa sebagai negara baru, militer Indonesia memiliki pengalaman yang sangat terbatas, terutama terkait pengalaman teknis. Belanda tidak mewariskan budaya yang berkaitan kemampuan teknis pada rakyat Indonesia. Padahal, perlu beberapa generasi agar Indonesia dapat benar-benar menguasai hal tersebut.

Setelah Uni Soviet, Presiden Soekarno melanjutkkan lawatannya ke Praha, Cekoslawakia. Salah satu acaranya di Praha adalah  menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Karlova di Praha, universitas tertua di Eropa Timur. Di hadapan civitas academicaUniversiitas Karlova itu, Bung Karno memberikan pidato yang memukau para hadirin. Pidatonya tersebut disampaikan tanpa persiapan sama sekali.

Menurut Ganis Harsono dalam bukunya Cakrawala Politik Era Soekarno, tema pokok dalam pidato Bung Karno itu adalah tentang nasionalisme. Bung Karno mengemukakan pidatonya secara santai, bahkan adakalanya secara agak guyonan. Petikan pidato Bung Karno, sebagaimana dicatat Ganis Harsono, sebagai berikut.

Tak seorang pun yang menduga bahwa Sukarno, orang yang sesederhana ini, akan menerima penghormatan tertinggi dari Universitas tertua di Eropa Timur ini. Saya sangat terharu atas tanda penghormatan yang diberikan untuk bangsa saya.

Saya tak pernah mengalami kekayaan materi. Saya berasal dari keluarga sederhana. Waktu orang lain sudah hidup dalam kemewahan, saya tidur diatas dipan bambu. Tapi saya telah mengenyam kekayaan dan perbendaharaan dunia spiritual. Terutama selama tiga belas tahun saya dipenjarakan di zaman kolonialisme Belanda, saya menemukan dalam dunia spiritual pemimpin-pemimpin besar internasional yang telah membuat pemandangan saya jauh dan memperkaya batin saya akan nilai-nilai.

Dalam dunia spiritual, saya menemukan Jefferson dari Amerika Serikat, saya berbicara dengan Gladstone dari Inggris, saya mendengarkan Engels dan Marx dari Jerman, saya duduk bersila dengan Gandhi dari India, saya minum teh dengan Sun Yat-sen dari Cina, dan sembahyang bersama dengan Kemal Ataturk dari Turki. Saya telah menyerap semua kebijaksanaan dari pemimpin-pemimpin internasional itu.

Oleh karena itulah saya mempunyai kecenderungan sebagai seorang warga dunia. Akan tetapi karena saya dilahirkan dan disebarkan di Indonesia, yang masih dikepung oleh ketamakan kolonialisme, saya tidak dapat menjadi seorang nasionalis atas pilihan sendiri.

Akan tetapi nasionalisme saya bertentangan dengan nasionalisme Hitler, yang menjunjung ikrar chauvinistik Deutschland uber Alles. Tidak, saya tidak akan mengatakan Indonesia uber Alles.

Nasionalisme Indonesia adalah murni dan penuh dengan idealisme. Ia merindukan perbaikan umat manusia. Ia adalah satu nasionalisme yang akan bersemi dan mekar dalam kebun internasionalisme yang indah. [JAN/HIS]

Artikel ini pernah dimuat 9 Juni 2016.