Setelah Uni Soviet, Presiden Soekarno melanjutkkan lawatannya ke Praha, Cekoslawakia. Salah satu acaranya di Praha adalah  menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Karlova di Praha, universitas tertua di Eropa Timur. Di hadapan civitas academicaUniversiitas Karlova itu, Bung Karno memberikan pidato yang memukau para hadirin. Pidatonya tersebut disampaikan tanpa persiapan sama sekali.

Menurut Ganis Harsono dalam bukunya Cakrawala Politik Era Soekarno, tema pokok dalam pidato Bung Karno itu adalah tentang nasionalisme. Bung Karno mengemukakan pidatonya secara santai, bahkan adakalanya secara agak guyonan. Petikan pidato Bung Karno, sebagaimana dicatat Ganis Harsono, sebagai berikut.

Tak seorang pun yang menduga bahwa Sukarno, orang yang sesederhana ini, akan menerima penghormatan tertinggi dari Universitas tertua di Eropa Timur ini. Saya sangat terharu atas tanda penghormatan yang diberikan untuk bangsa saya.

Saya tak pernah mengalami kekayaan materi. Saya berasal dari keluarga sederhana. Waktu orang lain sudah hidup dalam kemewahan, saya tidur diatas dipan bambu. Tapi saya telah mengenyam kekayaan dan perbendaharaan dunia spiritual. Terutama selama tiga belas tahun saya dipenjarakan di zaman kolonialisme Belanda, saya menemukan dalam dunia spiritual pemimpin-pemimpin besar internasional yang telah membuat pemandangan saya jauh dan memperkaya batin saya akan nilai-nilai.

Dalam dunia spiritual, saya menemukan Jefferson dari Amerika Serikat, saya berbicara dengan Gladstone dari Inggris, saya mendengarkan Engels dan Marx dari Jerman, saya duduk bersila dengan Gandhi dari India, saya minum teh dengan Sun Yat-sen dari Cina, dan sembahyang bersama dengan Kemal Ataturk dari Turki. Saya telah menyerap semua kebijaksanaan dari pemimpin-pemimpin internasional itu.

Oleh karena itulah saya mempunyai kecenderungan sebagai seorang warga dunia. Akan tetapi karena saya dilahirkan dan disebarkan di Indonesia, yang masih dikepung oleh ketamakan kolonialisme, saya tidak dapat menjadi seorang nasionalis atas pilihan sendiri.

Akan tetapi nasionalisme saya bertentangan dengan nasionalisme Hitler, yang menjunjung ikrar chauvinistik Deutschland uber Alles. Tidak, saya tidak akan mengatakan Indonesia uber Alles.

Nasionalisme Indonesia adalah murni dan penuh dengan idealisme. Ia merindukan perbaikan umat manusia. Ia adalah satu nasionalisme yang akan bersemi dan mekar dalam kebun internasionalisme yang indah. [JAN/HIS]

Artikel ini pernah dimuat 9 Juni 2016.