MAPHILINDO: Upaya Persatuan dan Perdamaian Asia Tenggara yang Berujung Konflik

Para pemimpin negara Malaysia, Filipina dan Indonesia sedang membahas Maphilindo. (theglobal-review)

Koran Sulindo – Di tengah dinamika politik Asia Tenggara pada awal 1960-an, muncul upaya bersama untuk meredakan konflik yang semakin memanas di kawasan ini.

Berawal dari terbentuknya Federasi Malaysia yang mengundang reaksi keras dari Indonesia, hingga Filipina yang berperan sebagai mediator, ketiga negara besar di Asia Tenggara ini mencoba mencari jalan damai melalui diplomasi dan kerja sama.

Dari sinilah lahir sebuah gagasan ambisius untuk membentuk organisasi regional yang dikenal sebagai MAPHILINDO, sebuah langkah bersejarah yang bertujuan menggalang persatuan dan mengatasi perbedaan di antara negara-negara yang bertetangga dekat ini.

Melansir laman resmi kemdikbud, MAPHILINDO adalah singkatan dari Malaysia, Filipina, dan Indonesia, adalah sebuah organisasi regional yang bertujuan mempromosikan persatuan dan perdamaian di Asia Tenggara.

Organisasi ini didirikan pada bulan Juli 1963, sebagai respons terhadap ketegangan yang muncul setelah terbentuknya Federasi Malaysia pada 31 Agustus 1963.

Kehadiran federasi baru ini memicu konflik, terutama dengan Indonesia, yang menimbulkan dampak signifikan pada hubungan dengan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Filipina.

Pembentukan MAPHILINDO dimulai dengan inisiatif Filipina yang mencoba memainkan peran sebagai juru damai di antara Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (kini Malaysia).

Pada Maret 1963, perwakilan dari Filipina memfasilitasi pertemuan di Manila untuk mencari solusi damai atas konflik ini. Upaya diplomatik ini diikuti oleh pertemuan tingkat tinggi antara pemimpin Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu di Tokyo pada 31 Mei 1963.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Sukarno (Indonesia) dan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman (Persekutuan Tanah Melayu) mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai dan persahabatan.

Langkah berikutnya adalah pertemuan tingkat menteri yang mempertemukan Subandrio sebagai wakil Indonesia, Emmanuel Pelaez dari Filipina, dan Tun Abdul Razak dari Persekutuan Tanah Melayu.

Dalam pertemuan ini, Indonesia dan Filipina menyatakan kesediaan untuk mendukung gagasan Federasi Malaysia, asalkan hal tersebut juga diinginkan oleh rakyat di wilayah Kalimantan Utara, termasuk Sabah dan Sarawak.

Puncak dari diplomasi ini terjadi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Manila, Filipina, yang berlangsung pada 31 Juli hingga 5 Agustus 1963.

KTT ini dihadiri oleh tiga pemimpin besar, yaitu Presiden Sukarno dari Indonesia, Presiden Diasdado Macapagal dari Filipina, dan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman dari Persekutuan Tanah Melayu.

Pertemuan ini menghasilkan Persetujuan Manila atau Manila Accord pada 31 Juli 1963, yang mengatur bahwa Filipina dan Indonesia akan mengakui Persekutuan Tanah Melayu sebagai entitas baru, dengan syarat rakyat Sabah, Sarawak, dan Brunei mendukungnya melalui proses yang diawasi oleh Komisi Internasional independen.

Sebagai bentuk komitmen ketiga negara ini, mereka membentuk gabungan yang dikenal sebagai MAPHILINDO. Tujuan utama dari MAPHILINDO adalah membangun kerja sama dan dialog untuk menyelesaikan berbagai masalah di Asia Tenggara secara damai. Deklarasi Manila bahkan menyetujui untuk mengadakan musyawarah berkelanjutan bernama Musyawarah MAPHILINDO.

Sayangnya, harapan untuk menciptakan kedamaian dan persatuan regional melalui MAPHILINDO tidak berbuah maksimal. Ketika Federasi Malaysia secara resmi dibentuk pada 16 September 1963 dengan mencakup Sabah dan Sarawak, Indonesia meresponsnya dengan melancarkan konfrontasi yang lebih keras terhadap federasi baru tersebut.

Sukarno mencurigai bahwa pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari upaya untuk memperluas kolonialisme di Asia Tenggara. Filipina, yang sebelumnya berperan sebagai mediator, bahkan memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

MAPHILINDO lahir dari harapan besar untuk menciptakan keharmonisan di antara Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Namun, kenyataan politik yang dihadapi saat itu membuktikan bahwa upaya membangun persatuan di tengah ketegangan nasionalisme dan perbedaan kepentingan regional bukanlah hal yang mudah.

Meski organisasi ini tidak pernah dibubarkan secara resmi, MAPHILINDO terhenti di tengah jalan karena perselisihan yang tak kunjung reda. Meski demikian, gagasan MAPHILINDO tetap menjadi catatan penting dalam sejarah hubungan diplomasi Asia Tenggara, yang menginspirasi lahirnya ASEAN sebagai organisasi yang lebih solid dan bertahan hingga saat ini. [UN]