Mantan Pimpinan KPK Ikut Bicara soal Kejanggalan SP3 Bos Gulaku

Ilustrasi: Gunawan Yusuf (belakang) saat kunjungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke salah satu pabrik Sugar Group Companies di Lampung/Kompasiana

Koran Sulindo – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnain mengatakan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak) RI harus menanyakan keterlibatan masing-masing institusi yang diawasinya. Polri dan Kejaksaan harus ditanyai soal Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) kasus dugaan penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terlapor Gunawan Jusuf yang merupakan bos Sugar Group Company atau Gulaku.

Keterangan kedua institusi dinilai penting untuk meluruskan sengkarut yang mengemuka, terkait dihentikannya kasus itu, dengan procedur yang dinilai banyak pihak ‘janggal’.

Mantan Pimpinan KPK periode 2011-2015 itu mengingatkan bahwa Komisi-komisi itu memiliki fungsi untuk mengawasi kinerja Polri dan Kejaksaan Agung.

“Ya komisi kepolisian, komisi kejaksaan,” kata Zulkarnain, di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Meski demikian, ada keterbatasan kedua institusi pengawasan itu. Diakuinya, menjadi persoalan sejauh mana Kompolnas dan Komjak bisa masuk dalam perkara yang ditangani baik oleh Polri maupun Kejaksaan.

Pria yang karib disapa Zul ini menyinggung dikembalikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Kejaksaan kepada Bareskrim Polri dalam perkara tersebut. Menurutnya, selama ini yang dikembalikan oleh Kejaksaan kepada Polri adalah berkas perkara, bukan SPDP.

Diakui jika memang SPDP tidak disertai dengan tindak lanjut pengiriman berkas, maka mungkin saja SPDP dikembalikan. Namun dia mengingatkan bahwa ketika SPDP dikeluarkan itu berarti sudah ada bukti yang cukup.

“Padahal SPDP itu keluar tentu sudah ada bukti yang cukup juga. Harus ada kejelasan,” katanya.

Menurut Zul, tidak hanya Kompolnas dan Komjak RI saja, masyarakat pemerhati hukum yang merasa ada kejanggalan dalam perkara yang ditangani oleh lembaga penegak hukum, pun bisa melakukan praperadilan.

Termasuk menurutnya pihak pelapor yang merasa bahwa penanganan kasusnya ada yang janggal, atau laporannya dihentikan, juga dapat menempuh upaya praperadilan.

“Ya mungkin sudah dilakukan penyidikan, biasanya juga kalau dihentikan ya dia menyebutkan juga alasannya kenapa dihentikan, tidak cukup bukti misalnya. Kan sudah melalui proses pemeriksaan, tidak dihentikan serta merta begitu saja. Kalau surat perintah penyidikan saja belum dilakukan, ya itu nggak dihentikan namanya, itu didiamkan,” katanya.

Zul juga menyebutkan adanya fungsi DPR untuk menanyai Polri maupun Kejaksaan terkait penanganan sebuah perkara. Pertanyaan kepada penegak hukum menurutnya dapat dilakukan dalam kemitraan antar lembaga penegak hukum dengan Komisi III DPR. Namun secara teknis DPR tidak dapat masuk lebih dalam. Karena semestinya yang dapat masuk secara teknis adalah lembaga penegak hukum, yakni Polri dan Kejaksaan.

“Yang bisa masuk secara teknis antara lain ya itu, Polri dengan Kejaksaan itu saling kontrol, cuma biasanya dalam praktik, masih banyak kendala,” ungkapnya.

Ditanyai apakah KPK bisa mengambil peranan dalam situasi seperti ini, Zul menyebut pengawasan KPK baru dapat dilakukan jika ada masyarakat yang melaporkan dugaan suap menyuap dalam penanganan perkara tersebut.

Terkait hal ini, Mabes Polri mengaku terbuka kepada siapapun yang ingin menanyakan penanganan kasus, terlebih Komisi III DPR RI yang berencana mengklarifikasi SP3 kasus dugaan penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (SP3) Gunawan Jusuf oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Ditipideksus) Bareskrim

“Pihak manapun apalagi DPR, masyarakat lapisan manapun yang meminta apa saja klarifikasi apa saja kepada Kepolisian, Kepolisian siap untuk jelaskan itu,” kata Kadivhumas Polri Irjen Mohammad Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, Senin (14/1/2019).

Yang jelas, sambung Iqbal, jika ada upaya Kepolisian dalam hal ini menerbitkan SP3 sudah sesuai prosedur dan tahapan yang dilalui seperti gelar perkara. Mantan Wakapolda Jawa Timur ini menjelaskan, terbitnya SP3 lantaran tidak ditemukannya cukup bukti dugaan tindak pidana.

“Itu sudah sesuai SOP,” kata Iqbal.

Sementara itu anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, dewan akan mempertanyakan mengenai penghentian kasus tersebut ke Kabareskrim.

“Apa alasan penerbitan SP3 itu,” kata Masinton, saat dikonfirmasi.

Selain itu, Masinton meminta agar kepolisian harus melakukan gelar perkara kasus Gunawan Jusuf secara transparan. Hal ini untuk memperjelas alasan pengehentian kasus tersebut.

“Perkaranya harus digelar transparan. Karena sudah menjadi perhatian publik”, ucapnya.

Ia menyarankan, kepada pihak yang merasa dirugikan dengan SP3 itu bisa mengambil langkah hukum lain. Misalnya, melakukan gugatan praperadilan.

“Itu bisa sebagai mekanisme kontrol sudah benarkah tahapan gelar perkara yang dilakukan Bareskrim dalam terbitnya SP3 dalam kasus Gunawan Jusuf ini,” kata Masinton.

Surat Direktur Tipideksus tertanggal 14 Desember 2018 kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum disebutkan bahwa penyidikan terhadap perkara itu dihentikan demi hukum.

Surat bernomor B/279B/XII/RES.2.3/2018/Dit Tipidesksus itu, juga memuat alasan penghentian penyidikan adalah karena Nebis in idem dan Kedaluarsa. Padahal sebelumnya, polisi menyatakan akan mengejar bukti-bukti sampai ke luar negeri.

Dugaan penggelapan dan TPPU ini bermula ketika pelapor Toh Keng Siong menginvenstasikan dananya ke PT Makindo dengan Direktur Utama yakni Gunawan Jusuf. Sejak 1999 hingga 2002, total dana yang diinvestasikan dalam bentuk Time Deposit mencapai ratusan juta dolar AS dalam bentuk Time Deposit. Pengacara Toh Keh Siong, Denny Kailimang menduga Gunawan menggunakan dana pinjaman itu untuk membeli pabrik gula melalui lelang BPPN kemudian tidak mengembalikan uang tersebut hingga kini. [YMA]