PESATNYA perkembangan Sarekat Abangan dan meningkatnya mobilisasi petani, pemogokan jelas menjadi keniscayaan. Akhir Maret 1920, kuli kenceng di Ngaran, mogok di perkebunan tembakau Polanhardjo. Mereka menuntut kenaikan glidig.
Ketika residen mengirim sepeleton peleton polisi bersenjata, petani tetap bertahan untuk mogok. Dua lumbung tembakau juga dibakar, seolah menantang Asisten Residen Klaten dan polisi untuk datang menyelidiki.
Memasuki bulan April, giliran petani perkebunan gula Ponggok dan Ceper menggelar rapat umum. Rapat yang diinisiasi SI Delanggu itu sekaligus memutuskan untuk mogok. Sebulan berikutnya, giliran kuli kenceng yang merupakan basis Insulinde mogok di Tegalgondo. Mereka menuntut kenaikan glidig sebagai pengganti sawah yang ditanami tembakau.
Saat-saat itu petani juga benar-benar mendapat peluang bergabung dengan aksi mogok buruh pabrik gula sekaligus menjadi sekutu paling kuat para butuh. Polisi benar-benar mulai kehilangan kendali atas rust en orde dan ketertiban.
Situasi “revolusioner” di pedesaan Surakarta itu mau tak mau memojokkan penguasa. Pemerintah harus mengambil tindakan karena aksi-aksi itu bersifat ekonomis dan makin ditunggangi “aksi-aksi politik SH dan SI”. Residen segera mengusulkan mencabut hak berkumpul di Surakarta kepada procureur generaal di Batavia. Hasilnya, pada tanggal 19 Mei, Raad van Indie atau Dewan Hindia menyetujui usulan membatalkan hak berkumpul itu.
Bergerak paralel, Asisten Residen Klaten juga bertindak cepat dengan menangkap pemimpin-pemimpin SH, SI, dan PFB, termasuk Mangoenatmodjo dan dua muridnya, yakni Padmotenojo dan Sastropanitro, yang ditahan pada tanggal 11 Mei. Lima hari berikutnya giliran Misbach ditangkap di Stasiun Balapan ketika akan melanjutkan propagandanya ke Kebumen.
Kemunculan Mangoenatmodjo sebagai pemimpin Sarekat Abangan membuka peluang SH, SI, dan Adhi Dharma berkembang pesat di pedesaan. Di sisi lain, seruan PKI mengadakan revolusi membangkitkan berbagai aksi-aksi langsung. Beberapa bahkan bersifat anarkis dan justru membawa pergerakan ke nasibnya yang mengenaskan di tahun 1926.
Bagaimanapun, pemogokan dan kemudian aksi sporadis PKI di Surakarta merupakan cara paling tepat menggambarkan apa yang kemudian terjadi di Banten dan Sumatera Barat. Termasuk bagaimana PKI dan massa yang mengikutinya dihancurkan secara tuntas seperti di tempat-tempat lainnya. Dari l.000 orang yang ditangkap Belanda, akhirnya 500 orang dibebaskan setelah penahanan dan diinterogasi, sedangkan 417 dipenjara setelah diadili dan 83 orang dibuang ke Digul, termasuk Mangoenatmojo, yang berakhir hidupnya di moncong buaya. Sayangnya, hingga tulisan ini selesai dibuat, kami tak berhasil mendapatkan foto atau gambar wajahnya. [Teguh Usia]