MASIH menurut cerita Tri Ramidjo, Mangoenatmodjo adalah keturunan ningrat Solo. Darah biru dan juga pengikut setia setia Pangeran Diponegoro. Wajar jika jiwa melawan kolonialis Belanda berakar tumbuh di dalam hatinya.
Ramidjo memang hanya menulis sepotong asal-asul Mangoenatmodjo. Namun, Takashi Siraishi di buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 mengungkap lebih detail sosok unik ini.
Nama Mangoenatmodjo pertama kali muncul di tengah gelombang kebangkitan rapat-rapat umum di Delanggu, Surakarta, tahun 1920-an. Dia merupakan pemimpin Sarekat Islam (SI) Delanggu sekaligus menjadi guru mengaji. Dia mengajarkan ajaran yang disebutnya sendiri sebagai “Islam Abangan”—bukan dalam pengertian “Islam Abangan” seperti diperkenalkan oleh Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java (1960)
Lahir dan tinggal di Desa Karangwungu, onderafdeling Polanhardjo, Distrik Ponggok, Klaten, Jawa Tengah, Mangoenatmodjo menjabat bekel hingga era re-organisasi di pedesaan Surakarta tahun 1912. Ia kemudian menjadi kamitua atau kepala desa, yang akhirnya dipecat setelah mengorganisasi pemogokan petani pada tahun 1919.
Meski mengenyam pendidikan terbatas, nama Mangoenatmodjo cukup dikenal di Surakarta. Tahun 1910, dia menulis Serat Kalabrasta atau ‘Zaman Penghancuran’, yang merupakan interpretasi atas Serat Kalatida yang ditulis Ranggawarsita. Tulisan itu dimuat Darma Kanda, koran terkemuka berbahasa Jawa yang terbit di Surakarta.
Pada tahun yang sama, dia juga mulai mengajar Islam Abangan, yang menurut klaimnya didasarkan pada Islam sejati ajaran Syekh Siti Jenar. Di Jawa ada yang menganggap Siti Jenar sebagai wali yang kesepuluh. Namun, karena menyingkap esensi ketuhanan, nasibnya berakhir tragis, dijatuhi hukuman mati oleh penguasa.
Tanpa sumber resmi ajaran Syekh Siti Djenar, Mangoenatmodjo mendasarkan ajarannya pada Serat Siti Djenar yang ditulis R. Pandji Natarata. Meski penguasa Hindia Belanda tahu Islam Abangan diajarkan, tak ada tindakan apa pun yang diambil sampai dia tampil sebagai pemimpin SI Delanggu pada awal 1920-an. Padahal, terjunnya Mangoenatmodjo ke kancah pergerakan mungkin cuma kebetulan.
Akhir 1919 hingga awal 1920, Sarekat Hindia (SH) Surakarta, Boedi Oetomo (BO), dan Personeel Fabrieks Bond (PFB)/Adhi Dharma sedang sibuk mencari propagandis untuk memperluas pengaruhnya di pedesaan Surakarta. Mangoenatmodjo direkrut karena namanya dikenal di kalangan pemimpin pergerakan di kota itu.
Di sisi lain, pemogokan petani pada tahun 1919 masih tertancap kuat di ingatan. Masyarakat Surakarta resah dan penuh ketidakpuasan. Mereka tengah menghadapi harga beras yang terus naik tinggi, sementaa petani tak menikmati keuntungan. Sementara itu, tengkulak Tionghoa merambah desa dan membeli padi saat padi masih hijau, dengan cara memberikan kredit. Tentu saja naiknya harga beras hanya menguntungkan tengkulak-tengkulak itu.
Menghadapi sistem pertanian yang zalim tersebut, Mangoenatmodjo membentuk koperasi petani pada pada September 1919. Koperasi diharapkan mendobrak praktik ijon sekaligus menghapus makelar gabah. Koperasi yang diberi nama Roekoen Desa itu memberikan kredit kepada petani, yang dibayar dengan hasil panen. Koperasi juga menggandeng pedagang untuk menerima padi langsung dari petani. Beberapa laporan menyebut modal awal Roekoen Desa berasal dari Marie Vogel, Ketua SH Surakarta sekaligus merupakan istri Tjipto Mangoenkoesoemo.
Ketika Mangoenatmodjo mengajukan izin resmi Roekoen Desa, penguasa setempat justru menuduh dia ingin mencengkeram petani. Permintaan itu ditolak dan patih langsung diperintahkan membubarkan Roekoen Desa sekaligus melarang Mangoenatmodjo mengajarkan Islam Abangan.
Mangoenatmodjo melawan pada November 1919. Dia pun langsung dipecat dari jabatannya sebagai kamitua.
Pemecatan itu justru melecut Mangoenatmodjo lebih gigih melanjutkan Roekoen Desa dan mengajarkan Islam Abangan. Hanya saja karena tinggal di desa, pengaruhnya tetap terbatas di lingkungan pedesaan dan anggota koperasi. Baru ketika tampil sebagai Ketua SI Delanggu di panggung pergerakan, pengaruh Mangoenatmodjo semakin luas karena sifatnya yang revolusioner.