Tanah liat (Foto: orami.co.id)

Bagi sebagian orang, tanah liat mungkin hanya dianggap sebagai bahan mentah—sesuatu yang melekat di kaki saat musim hujan atau yang biasa dipakai membuat kendi dan genteng. Tapi di balik wujudnya yang sederhana, tanah liat ternyata menyimpan cerita panjang tentang bagaimana manusia, terutama di Indonesia, menjalin hubungan dengan alam secara intim dan penuh kepercayaan.

Di beberapa daerah, tanah liat bahkan menjadi bagian dari rutinitas perawatan tubuh. Bukan sekadar mitos atau warisan masa lalu, praktik ini masih hidup hingga sekarang. Di Purworejo, Jawa Tengah, misalnya, ada tradisi menggunakan tanah liat sebagai bahan untuk keramas. Masyarakat setempat memilih jenis tanah tertentu yang halus, dingin di kulit, dan terasa “bersih” lalu mencampurnya dengan air hingga membentuk pasta. Pasta ini kemudian dioleskan ke kulit kepala, dipijat perlahan, lalu dibilas. Hasilnya? Rambut terasa ringan, lembut, dan bersih, tanpa rasa gatal atau kering yang kadang muncul setelah memakai sampo pabrikan.

Jenis tanah lempung yang digunakan dalam praktik seperti ini biasanya kaya akan mineral, seperti bentonit atau rhassoul. Teksturnya lembut dan daya serapnya tinggi. Ia mampu menarik minyak berlebih, kotoran, bahkan sisa-sisa produk kimia dari rambut. Lebih dari itu, keramas dengan tanah liat juga memberi sensasi menyatu dengan alam sebuah pengalaman yang terasa jujur dan menenangkan.

Lalu, tanah liat juga muncul dalam wujud yang lebih tak terduga: camilan. Ya, Anda tidak salah baca. Di Tuban, Jawa Timur, dan beberapa wilayah di Jawa Tengah, tanah liat dijadikan makanan tradisional yang disebut ampo. Bagi orang yang belum pernah mencobanya, ide memakan tanah mungkin terdengar aneh. Tapi bagi masyarakat setempat, ampo adalah bagian dari budaya, bahkan dipercaya memiliki khasiat bagi tubuh.

Pembuatan ampo tidak sembarangan. Tanah yang digunakan harus bersih, halus, dan steril biasanya diambil dari lapisan dalam sawah yang tidak tercemar. Setelah dipilih, tanah dibentuk menjadi balok, dibiarkan semalaman agar padat, lalu diserut tipis menggunakan pisau bambu hingga membentuk gulungan kecil seperti stik. Gulungan inilah yang kemudian diasapi di atas tungku tradisional sampai mengeras dan siap dimakan. Rasanya? Netral, agak getir, dengan tekstur yang rapuh di gigi dan bagi sebagian orang, justru di situlah letak kenikmatannya.

Ampo tak hanya sekadar camilan. Ia dipercaya bisa menenangkan perut, mengurangi rasa mual, terutama pada ibu hamil, bahkan membantu membuang racun dari tubuh. Dalam beberapa ritual adat, ampo juga dihadirkan sebagai sesaji, sebagai tanda hormat pada bumi dan leluhur.

Meski begitu, konsumsi ampo tentu tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan kesehatan. Sampai hari ini, belum banyak penelitian yang memastikan dampaknya jika dikonsumsi terus-menerus. Maka seperti banyak tradisi lainnya, keseimbangan adalah kunci, menjaga warisan budaya tanpa melupakan akal sehat dan ilmu pengetahuan.

Kisah tanah liat baik sebagai bahan perawatan rambut maupun sebagai camilan mengajarkan kita satu hal penting yaitu manusia dan alam sebenarnya tak pernah terpisah. Dalam setiap pijakan kaki di sawah, dalam setiap remasan tanah yang dioleskan ke kepala, bahkan dalam setiap kunyahan camilan yang terbuat dari tanah, ada hubungan yang lebih dari sekadar praktis. Ada rasa percaya, ada keintiman, ada keharmonisan.

Di zaman serba cepat dan serba instan seperti sekarang, mungkin kisah-kisah ini bisa menjadi pengingat. Bahwa sebelum semua dikemas dalam botol dan plastik, dulu merawat diri hanya perlu mengumpulkan bahan yang tersedia di alam, gratis tanpa dibeli. [UN]