Koran Suluh Indonesia Edisi 18/2016

Koran Sulindo – “Apakah tugas polisi ketika sudah tidak ada lagi orang yang bisa ditahan di negeri ini?” Demikian petikan dari lakon “Polisi” karya dramawan Polandia, Slawomir Mrozek, yang ditulis tahun 1958.

Lakon ini mengisahkan suatu pemerintahan kerajaan yang sangat ketakutan ditumbangkan. Mereka pun mencurigai dan menangkapi siapa saja yang dianggap membahayakan kekuasaan. Ketakutan juga menjalar ke rakyatnya, sehingga mereka mengikrarkan “kesetiaan” kepada penguasa. Bahkan, satu-satunya narapidana politik di penjara kemudian juga menandatangani ikrar yang sama.

Penjara akhirnya kosong dan polisi menjadi tak punya pekerjaan. Dari kondisi seperti itulah lahirlah cakapan dalam lakon di atas. Maka, polisi pun merancang muslihat agar penjara terisi lagi dengan narapidana politik yang akan didakwa melakukan makar, sehingga polisi punya pekerjaan lagi.

Dibujuklah seorang polisi yang dikenal sangat loyal ke pemerintah agar mau menjadi pelaku perlawanan terhadap pemerintah, sehingga ia nantinya akan dijadikan narapidana politik dan penjara terisi lagi. Polisi itu akhirnya bersedia, karena dikatakan upayanya tersebut merupakan bagian dari loyalitasnya kepada negara juga.

Kita mungkin tertawa jika membaca lakon tragi-komedi itu atau melihat pertunjukannya, meski memang getir. Namun, di dunia nyata, peristiwa itu bisa menjadi sepenuhnya tragedi bagi yang mengalami.

Di Indonesia pada awal Desember 2016 ini, sepuluh orang mengalami tragedi semacam itu. Tak persis sama memang. Tapi, delapan dari mereka ditangkap polisi dengan tuduhan akan melakukan makar dan dengan sangat cepat dijadikan tersangka.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Komisaris Besar Rikwanto, kasus yang menimpa kesepuluh orang itu berhubungan dengan permufakatan jahat. “Barang bukti sedang didalami. Yang jelas ini terkait dengan permufakatan jahat,” tutur Rikwanto dalam keterangan pers-nya di Markas Besar Polri, Jakarta, 2 Desember 2016.

Dijelaskan Rikwanto, dua orang dijerat dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Delapan lainnya dikenai Pasal 107 juncto 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto 87 KUHP. “Hukumannya bagi pemimpin dan pengatur makar sesuai dengan ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun,” katanya.

Padahal, mereka semua warga sipil yang tak memiliki basis massa yang signifikan dan juga tak memiliki senjata. Bahkan, beberapa di antara mereka adalah manusia lanjut usia, oma-oma dan opa-opa, yang satu di antaranya adalah putri dari Proklamator Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri.

Selain itu, dasar hukum yang digunakan untuk kasus makar tersebut adalah pasal-pasal di KUHP, warisan penjajah Belanda dan karena itu bersifat kolonial. Dan menurut seorang pakar hukum, Loebby Loqman, dalam bukunya, Delik Politik di Indonesia (1993), delik terhadap keamanan negara hampir selalu dilatarbelakangi serta/atau dengan tujuan-tujuan politik dan setiap pemerintahan punya pengertian serta batasan tersendiri tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai punya latar belakang serta tujuan politik.

Lagi pula, pemerintah yang sekarang adalah pemerintah yang dipimpin presiden dan wakil presiden hasil pemilihan langsung. Itu artinya, pemerintah memiliki basis legitimisasi yang kuat. Mengapa pemerintah terkesan takut berlebihan terhadap gerakan sepuluh orang sipil? Bukankah juga pemerintah sedang menjalankan gerakan Revolusi Mental, sehingga mestinya meninggalkan cara-cara usang, apalagi cara-cara pemerintah zaman kolonial, dalam menghadapi lawan politik? []