Maju Kena Mundur Kena: Indonesia di Tengah Gejolak Harga Minyak Dunia

Ilustrasi: presidenri.go.id

Koran Sulindo – Belum lama ini, Kementerian Keuangan menyatakan akan menaikkan subsidi energi untuk melindungi konsumen di dalam negeri dari meningkatnya harga barang-barang yang disebabkan oleh melonjaknya harga minyak dunia. Harga minyak dunia terkerek hingga mencapai $80 per barel pada 20 Mei 2018, tertinggi sejak 2014.

Harga minyak bergerak liar setelah Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian nuklir dengan Iran yang disepakati pada masa pemerintahan Barack Obama. Trump sendiri memutuskan untuk meningkatkan sanksi ekonomi yang lebih berat untuk Iran.

Harga minyak bumi diperkirakan akan terus meningkat dan bisa menyentuh $100 per barel. Perubahan harga minyak dunia ini akan sangat mempengaruhi negara-negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Indonesia merupakan pengimpor minyak terbesar kedua dari Iran di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya, dengan total perdagangan mencapai $645 juta.

Saat ini, Indonesia mengkonsumsi 1,7 juta barel per jam (bph), tapi negara ini hanya mampu memproduksi 750,6 ribu bph. Itu berarti Indonesia harus mengimpor sekitar 950 ribu bph untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dengan harga $80 per barel, Indonesia diperkirakan akan menghabiskan $76 juta per hari hanya untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri.

Masalah Klasik

Dampak gejolak harga minyak dunia terhadap perekonomian Indonesia sebenarnya sudah menjadi permasalahan klasik dan selalu berulang.

Di satu sisi, pemerintah tidak bisa menahan besarnya tekanan kenaikan harga minyak dunia yang akan menyebabkan pembengkakan alokasi anggaran belanja untuk impor minyak. Ini pada akhirnya akan membebani struktur belanja pemerintah, sehingga menyebabkan beberapa program pemerintah harus dibatalkan atau ditunda.

Akan tetapi jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi defisit anggaran, daya beli masyarakat akan semakin melemah.

Pelemahan daya beli ini bukan isapan jempol. Kebijakan pemerintah yang membiarkan harga BBM mengikuti harga pasar internasional mengakibatkan pemerintah beberapa kali menaikkan kemudian menurunkan harga BBM, begitu pun dengan tarif listrik. Ini menyebabkan kenaikan harga barang-barang komoditas di pasaran.

Meski pemerintah sudah menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia menukik, kebijakan ini tidak langsung diikuti dengan penurunan harga barang-barang yang lain.

Dalam ilmu ekonomi peristiwa ini biasa dikenal dengan peristiwa roket dan bulu, yakni suatu kondisi ketika harga BBM naik harga barang-barang lain ikut melonjak. Akan tetapi ketika harga BBM turun, pasar akan enggan untuk menurunkan harga, sehingga penyesuaian harga akan sangat lamban.

Di samping itu pendapatan masyarakat juga akan lamban untuk disesuaikan karena perusahaan membutuhkan waktu untuk menghitung dan menyesuaikan pengeluaran mereka. Di kalangan pedagang ada juga faktor tabiat manusia yang suka mencari keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga mereka enggan menurunkan harga. Sementara, operasi pasar yang dilakukan pemerintah selama ini tidak efisien karena penjual bisa menaikkan harga kapan saja.

Beban keuangan dari bergantungnya negara terhadap minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi akan semakin parah menyusul tren peningkatan jumlah populasi penduduk yang terus meningkat. Untuk 2017 saja, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 262 juta, meningkat 3,2 juta dari 2016-2017. Angka ini diperkirakan akan mencapai 305,7 juta penduduk pada 2035.

Kenaikan jumlah penduduk ini tidak sebanding dengan jumlah produksi minyak bumi yang terus menurun. Perusahaan minyak negara Pertamina berencana menaikkan 50% produksi minyak dari 1,05 barrel per hari (bopd) menjadi 1,07 barrel per hari, dengan cara meningkatkan kapasitas kilang minyak mereka.

Akan tetapi rencana ini sepertinya tidak berjalan mulus. Ada banyak tantangan, misalnya investor minyak enggan melanjutkan negosiasi atau membatalkan kerja sama karena terlalu banyak peraturan yang saling tumpang-tindih antara peraturan pemerintah pusat dan daerah. Contohnya, hubungan kerja sama Pertamina dan Aramco, perusahaan minyak negara Arab Saudi untuk proyek di Cilacap, dan Pertamina dengan perusahaan minyak Rusia (Rosneft) di Tuban Jawa Timur.

Proyek di Cilacap dengan total investasi mencapai $20,8 miliar untuk pembangunan kilang minyak seharusnya sudah rampung pada 2021, tapi ditunda sampai 2023 atau 2024. Penyebab tertundanya penyelesaian proyek ini adalah masalah pembebasan lahan seluas 364 hektar. Isu ini menyebabkan ketidakpastian mengenai nasib proyek tersebut.

Dampak pada Rupiah dan Anggaran Negara

Meningkatnya jumlah konsumsi dan naiknya harga minyak bumi akan mempengaruhi jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi permintaan tersebut, termasuk naiknya biaya produksi. Hal ini juga akan mempengaruhi keseimbangan fiskal dan bisa menyebabkan defisit anggaran, mengingat bahwa pendapatan negara dari ekspor lebih rendah dari pengeluaran di segi impor.

Saat ini, Indonesia mengalami defisit anggaran sebesar 2,57%, dengan alokasi untuk subsidi BBM mencapai Rp94,53 triliun ($6,7 miliar).

Presiden Joko Widodo memutuskan tidak akan menaikkan harga BBM menyusul melemahnya daya beli masyarakat. Hampir bisa dipastikan pemerintah akan menghadapi kesulitan untuk menyesuaikan anggaran yang tersedia dengan kenaikan harga minyak dunia.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar dengan kisaran Rp14.192 per dolar, karena begitu besarnya jumlah impor BBM, menyebabkan alokasi anggaran untuk subsidi BBM juga akan naik. Di samping itu beban utang negara dalam bentuk mata uang dolar juga akan semakin berat.

Menurut Menteri Koordinator Ekonomi Darmin Nasution, pelemahan rupiah dipicu oleh penarikan dana asing oleh investor keluar dari Indonesia.

Oleh karena itu, Indonesia hanya memiliki dua pilihan, menaikkan suku bunga acuan atau membiarkan rupiah melemah. Pemerintah sudah mengambil langkah menaikkan suku bunga acuan dari 0,25% ke 4,5%.

Peningkatan suku bunga ini hanya akan mampu meredam dalam jangka pendek. Pada faktanya, rupiah sudah mengalami tren pelemahan sejak kuartal keempat 2013, dengan kisaran nilai tukar Rp11.335 per dolar.

Pelemahan rupiah ini disebabkan meningkatnya volume impor minyak Indonesia, berkurangnya pendapatan negara dari sektor ekspor menyusul menurunnya permintaan batu bara dan produk mineral dari Cina, dan rencana pelarangan penjualan produk minyak sawit Indonesia untuk produksi biodiesel di Uni Eropa.

Indonesia dalam konteks ini hanya memiliki satu pilihan: meningkatkan pendapatan dari ekspor dengan cara negosiasi ulang dengan pihak Uni Eropa untuk mencabut larangan mereka. Kontribusi dari ekpor minyak sawit Indonesia begitu besar – pada 2017 mencapai $22,97 juta. Namun, sesudah larangan ini diumumkan, jumlah ekspor kemudian menurun 11% pada Februari 2018.

Perlu Strategi Jangka Panjang

Tidak ada solusi yang mudah untuk mengatasi permasalahan ini. Meski pemerintah sudah menaikkan suku bunga acuan, pertumbuhan usaha-kecil menengah akan terdampak karena mereka akan berat untuk meminjam uang karena beratnya besaran bunga yang diterapkan. Jika pemerintah memotong subsidi dan menaikkan harga BBM, harga komoditas akan naik dan banyak keluarga ekonomi menengah akan terancam masuk garis kemiskinan karena melemahnya daya beli mereka.

Kunci utama dari permasalahan ini adalah kestabilan harga dan ini hanya bisa dicapai dengan strategi jangka panjang dengan memperbaiki iklim investasi di sektor energi. Yang paling utama adalah menghapus pemburu rente yang selalu berusaha membuat Indonesia tergantung pada impor minyak dengan berbagai cara termasuk menghalangi pembangunan kilang minyak di Indonesia. [Asmiati Malik, Doctoral researcher, University of Birmingham, Inggris]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.