Untuk mendukung pencapaian target produksi perikanan budidaya nasional, perhatian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus pada pemenuhan kebutuhan pakan ikan. Melalui Gerakan Pakan Ikan Mandiri (Gerpari) yang dimulai 2015, KKP terus mendorong penggunaan dan produksi pakan ikan mandiri. Maggot salah satunya, yang terbukti berhasil meningkatkan margin keuntungan bagi pembudidaya.
Tujuan Gerpari, antara lain, mengatasi tingginya harga pakan yang selama ini menjadi tantangan bagi pengembangan budidaya perikanan. KKP pun mengembangkan produksi pakan mandiri alternatif secara masif. Maggot salah satunya, yang terbukti berhasil meningkatkan margin keuntungan bagi pembudidaya.
Apalagi, beberapa perusahaan telah berhasil mendiversifikasi produk maggot yang tak hanya dikemas dalam bentuk pakan kering, namun juga pupuk dan granul. Berbagai produk tersebut telah dipasarkan baik secara konvensional maupun melalui media online.
Banyak produk maggot kering kemasan yang dijual di lapak-lapak online dengan harga bervariasi. Ini menunjukkan, produksi maggot dapat dijalankan dalam skala rumahan maupun dalam skala komersial. Terlebih, saat ini pemerintah tengah menggenjot budidaya perikanan.
Setidaknya terdapat 21 perusahaan di Tanah Air yang telah mengembangkan produksi maggot. Di antaranya, PT Maggot Indonesia Lestari (Bogor), Biomagg (Depok), Great Giant Pineapple (Lampung), ACEL (Tangerang), Morodasdi Farm (Blitar), dan Kampung Lala (Banyumas).
Terdorong oleh keberhasilan itu, pihak KKP makin yakin dengan langkahnya menggenjot produksi pakan mandiri secara masif. Untuk itu, ia berencana mengembangkan tujuh lokasi pusat budidaya maggot, yang akan tersebar di seluruh Nusantara, mulai dari Sukabumi, Karawang, Situbondo, Jepara, Banjar, Tatelu (Manado), hingga Jambi.
Maggot menjadi pilihan, karena ia dapat dengan mudah dijadikan pakan mandiri alternatif yang bergizi tinggi dan cukup terjangkau. Dalam budidaya perikanan, komponen pakan sangat krusial mengingat bahan baku pakan harus memiliki kandungan gizi yang baik, mudah didapatkan, mudah diproses, mengandung zat gizi tinggi, dan memiliki harga yang terjangkau.
Salah satu nutrisi pakan yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan ikan adalah protein. Kualitas protein sangat tergantung dari kemudahannya dicerna dan nilai biologis yang ditentukan oleh asam amino yang menyusunnya. Semakin lengkap kandungan asam aminonya, maka kualitas protein akan semakin baik.
Permasalahannya, dalam produksi pakan mandiri, ketersediaan bahan bakunya yang berprotein tinggi masih terbatas. Ini membuat harga pakan ikan cenderung tinggi. Saat ini, bahan baku penyusun pakan berprotein tinggi yang banyak digunakan adalah tepung ikan yang mayoritas berasal dari impor. Alhasil, tingginya harga pakan semakin melambung karena harus ditambah dengan biaya impor.
Itu sebabnya, pilihan jatuh ke maggot, larva berprotein tinggi yang dikembangkan dari serangga black soldier fly (BSF). Maggot mengandung hingga 41-42% protein kasar, 31-35% ekstrak eter, 14-15% abu, 4,18-5,1% kalsium, dan 0,60-0,63% fosfor dalam bentuk kering. Sementara itu, kandungan protein dalam pakan ikan umumnya berkisar antara 20-45%.
Dengan kata lain, maggot mengandung protein dan gizi tinggi yang unggul untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan sistem imun ikan. Selain bergizi tinggi, harga maggot juga cukup terjangkau. Hal ini disebabkan karena maggot memiliki ketersediaan bahan baku yang mudah didapat sehingga dapat menekan biaya produksi.
Maggot diproduksi dalam skala rumahan maupun industri melalui pemanfaatan limbah organik. Induk maggot, berupa serangga black soldier fly (BSF), tumbuh dengan memakan bahan organik yang bisa didapatkan dari sisa makanan organik yang terdapat di restoran, rumah tangga, pasar, maupun sumber lainnya.
Modal budidayanya juga tak besar, namun memberi hasil tinggi. Sebanyak 150 gram telur BSF seharga Rp 8.000/gram dapat mengurai dua ton limbah organik dalam waktu dua-tiga pekan. Ini lebih cepat dari proses pembuatan pupuk kompos secara konvensional yang membutuhkan waktu setidaknya tiga bulan.
Proses biokonversi tersebut dapat menghasilkan 220-350 kg maggot dengan harga jual berkisar Rp 5.000-Rp 10.000 per kg. Selain itu, proses biokonversi juga dapat menghasilkan 100-150 kg pupuk organik dengan harga jual Rp 1.500-Rp 2.000 per kg. Hal ini menunjukkan bahwa produksi maggot menguntungkan secara ekonomi.
Tak hanya itu, produksi maggot yang mengusung prinsip produksi tanpa limbah (zero waste) juga membuatnya unggul secara ekologi bagi lingkungan. Tak ayal, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyebut produksi maggot sebagai capaian luar biasa yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dan berperan dalam penyelamatan bumi dari masalah sampah. [Ahmadie Thaha]