Koran Sulindo – Saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kelak bernama Institut Pertanian Bogor—pada 27 April 1952, Bung Karno mengatakan, “Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner kita akan mengalami malapetaka!”
Pada tahun itu, tiga tahun setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, ekonomi Indonesia masih morat-marit. Harga beras naik berkali-kali lipat. Bahaya kelaparan terus mengintai rakyat. Bahkan di desa-desa ada rakyat yang makan bonggol pisang.
Pada kesempatan tersebut, Bung Karno bicara panjang-lebar soal pangan dan masa depan bangsa. “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari,” katanya.
Bung Karno juga memaparkan statistik pangan. Tahun 1940 tiap-tiap orang Indonesia mengonsumsi beras 86 kilogram per tahun. Berarti di tahun 1952, dengan jumlah penduduk 75 juta orang, Indonesia butuh produksi beras sebesar 6,5 juta ton. Namun, pada saat itu, produksi beras Indonesia baru 5,5 juta ton. Mau tak mau Indonesia harus mengimpor. “Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu,” ujar Bung Karno.
Ada dua jalan yang ditawarkan Bung Karno untuk mengatasi masalah itu. Pertama, menambah luas areal pertanian. Kedua, melakukan intensifikasi pertanian, khususnya melalui seleksi dan pemupukan.
Upaya memperluas lahan pertanian memang sangat memungkinkan, apalagi pada masa itu. Namun, Soekarno tahu tak semua wilayah Indonesia cocok untuk pertanian. Dari hitungannya, hanya 7 juta hektare lahan di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) yang potensial dan hanya 14% atau 1 juta hektare yang cocok.
Menyangkut intensifikasi pertanian dilakukan terutama seleksi benih dan pemupukan. Untuk konteks pertanian sawah di Indonesia diperlukan seleksi benih padi basah. Zaman itu yang terkenal adalah benih padi Bengawan, yang kebal penyakit, kualitas berasnya bagus, dan tingkat produksi per hektare-nya lebih tinggi.
Bung Karno, untuk memaksimalkan seleksi padi itu, bercita-cita membangun balai-balai seleksi daerah atau pusat penyelidikan benih daerah. Bahkan cita-citanya, setiap 10 ribu hingga 15 ribu hektare terdapat satu pusat seleksi bibit. Pusat-pusat inilah yang membagikan bibit kepada petani.
Kendati begitu, pada tahun itu, ia juga sudah menyadari, pertanian tanah basah alias sawah memang penting, tetapi belum memberi jalan keluar memenuhi kebutuhan pangan. Untuk itu, Bung Karno berfikir perlunya mengembangkan pertanian di tanah kering alias perladangan sebagaimana ditempuh Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia punya potensi lahan kering yang banyak. Ada 8 juta hektare potensi lahan pertanian kering dan belum terjamah sama sekali pada zaman itu.
Ada empat solusi yang diberikan Bung Karno untuk mengembangkan pertanian kering di Indonesia. Pertama: ketersediaan pupuk. Untuk menyiapkan kebutuhan pupuk nasional, Bung Karno pada 1959 membangun PT Pupuk Sriwidjaja yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan. Ia juga merancang pembangunan pabrik pupuk Petrokimia Gresik di Jawa Timur. Kedua: melakukan seleksi tanaman untuk tanah kering. Untuk kebutuhan ini Bung Karno meminta dukungan mahasiswa dan tenaga ahli pertanian. Ketiga: melipat gandakan peternakan hewan. Peternakan untuk lahan kering diperlukan untuk ketersediaan pupuk organik, untuk membajak ladang.Keempat: melakukan mekanisasi. Tanpa mekanisasi, kesanggupan petani terbatas mengolah lahan pertanian. Zaman itu, Bung Karno melakukan percobaan mekanisasi di lahan pertanian kering di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Selain itu, Putra sang Fajar juga menyerukan pemuda-pemudi Indonesia agar menjadi insinyur pertanian, ahli peternakan, ahli irigasi, ahli seleksi benih, ahli pemupukan, ahli pemberantas hama, ahli tanah, dan lain-lain untuk kemajuan pertanian. Untuk itulah Fakultas Pertanian Universitas Indonesia didirikan.
Akan tetapi, pada tahun 1960, Indonesia kembali mengalami krisis beras. Harga beras tetap tinggi tapi penyebabnya bukan semata-mata karena kurangnya produksi, tetapi juga karena kenaikan harga bensin.
Indonesia kemudian sempat mengalamai surplus beras, swasembada. Namun, setelah itu permasalahan yang berkaitan dengan beras terus bermunculan selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Bahkan, masalah ini belakangan semakin rumit karena banyak pihak “bermain”, yang disebut sebut sebagai “Mafia Beras”.
Itu sebabnya, dalam diskusi berkala yang diselenggarakan pihak Kepolisian Republik Indonesia, Dialog Polri, pada 2 November 2016 lalu di Jakarta dibasa soal mafia beras itu. Diskusi publik Polri ini merupakan diskusi kesepuluh dari rangkaian diskusi publik Dialog Polri yang dilaksanakan selama tahun 2016. Pada Dialog Polri kali ini narasumbernya adalah Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskim Polri Brigadir Jenderal Polisi Drs. Agung Setya, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Hasil Sembiring, Sekretaris Perusahaan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Joni Nur Ashari, dan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa.
Dalam diskusi bertajuk “Menguak Mafia Beras Indonesia” itu diungkap kasus penyelewengan beras dengan cadangan pemerintah, yang terjadi beberapa waktu lalu. Beras cadangan pemerintah adalah beras impor yang dikelola oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan dana dari APBN. Beras tersebut dialokasikan untuk operasi pasar, dengan tujuan menstabilkan harga beras nasional sekaligus menjaga stok beras dalam negeri. Idealnya, beras cadangan didistribusikan ke tempat-tempat terdaftar.
“Kasus penyelewengan beras cadangan berawal dari kecurigaan mengenai data Bulog Divisi Regional DKI Jakarta-Banten. Dari data diketahui, terdapat pengiriman 400 ton beras dari Bulog ke PT DSU. Padahal, perusahaan itu bukan distributor yang ditunjuk untuk menerima beras impor tersebut,” ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Drs. Agung Setya.
Penyidik dari Bareskim kemudian menyelidiki kasus ini. “Dari penyelidikan diketahui bahwa beras DSU mengalir ke gudang milik TI dan AS. Selain itu, penyidik juga menyita ratusan ton beras yang telah dicampur di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur. Di lokasi ditemukan 152 ton beras subsidi Bulog: 10 ton beras curah merek Palm Mas dari Demak dan 10 ton beras yang sudah dicampur,” ungkap Agung.
Selain menggerebek gudang di Pasar Induk Cipinang, polisi juga menggerebek gudang Bulog di Jakarta Utara. Beras oplosan antara beras impor dari Thailand dengan beras lokal Demak itu dijual sebagai beras premium.
Persoalan beras atau pangan memang tak bisa dipandang sebelah mata. Ini harus disikapi secara serius. Sejarah mencatat, salah pendorong utama jatuhnya Bung Karno dari kursi kepresidenannya adalah krisis pangan yang berlarut-larut dan tak bisa diatasi.
Begitu pula runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika itu, pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis pangan dan impor beras mencapai rekor tertinggi, 6,077 juta ton. Ini menjadi pemicu kerusuhan besar dan akhirnya pergantian rezim.
Uni Soviet bubar pada awal 1990-an juga karena pangan. Bubarnya negara komunis yang telah berdiri selama 70 tahun itu tidak hanya akibat penyusupan nilai glasnot dan perestroika, namun terlebih karena embargo pangan oleh negara-negara yang bergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).[RAF]