Aksi buruh, kata Said Iqbal, tertib, damai untuk meminta pemerintah dan DPR RI membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan buruh.

Koran Sulindo – Polemik tentang Omnibus Law khsususnya klaster UU Cipta Kerja sejak diwacanakan hingga pembahasan, sampai disahkan dalam Paripurna (5/10) lalu masih menyisakan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja bahkan memicu aksi demo di sejumlah daerah. Fenomena ketidakpuasan yang diekspresikan dalam bentuk aksi unjuk rasa merupakan hal lumrah.

Aksi demonstrasi dalam pembahasan sebuah UU Cipta Kerja ini adalah hal biasa, sebagaimana sering terjadi dalam pembahasan rancangan UU yang lain. Dalam pembahasan UU acapkali menimbulkan konflik dari para pihak yang berkepentingan.

Ketidakpuasan kalangan buruh tidak hanya diekspresikan pada pembahasan UU Cipta Kerja. Ketidakpuasan yang berujung pada aksi demo, sebelumnya juga terjadi dalam pembahasan RUU maupun kebijakan dalam pelbagai regulasi yang menyangkut nasib kaum buruh.

Tentu saja, organisasi serikat buruh berkepentingan untuk memperjuangkan hak hak buruh. Sementara pemerintah bersama DPR sebagai regulator memiliki kepentingan untuk membuat aturan yang diselaraskan dengan program pembangunan nasional seperti meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Dalam fungsinya sebagai regulator dan fasilitator, maka pemerintah perlu menjaga kesimbangan antara meningkatkan investasi dengan kesejahteraan buruh atau pekerja.

Peran pemerintah sebagai regulator adalah menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pengusaha membutuhkan kepastian hukum demi terciptanya iklim usaha yang kondusif dan sustainable. Konteks inilah yang membutuhkan kesepahaman oleh para pemangku kepentingan (stakeholder).

Terjadinya aksi unjuk rasa karena belum ada kesepahaman diantara para stakeholder. Aksi demo yang dilakukan sejumlah elemen buruh karena pihak buruh merasa beleid tersebut belum memenuhi sekurang-kurangnya ada 7 poin yang menjadi keberatan, yaitu soal upah minimum yang penuh persyaratan, pesangon, kontrak kerja, outsourcing, kompensasi, waktu kerja, dan soal upah cuti. Sementara pihak pemerintah menilai beleid tersebut sudah mengakomodir hak-hak buruh.

Pengamat politik Karyono Wibowo mengatakan, pemerintah harus bisa mengakomodir dan menyatukan keinginan antar kepentingan buruh dan pemerintah sendiri.

“Inilah yang perlu diperjelas agar terjadi kesepahaman. Maka kata kuncinya adalah muswarah untuk mencapai mufakat. Mencari jalan keluar untuk mencapai kompromi,” kata Direktur Indonesian Public Institute ini kepada redaksi, Senin (12/10).

Jika tidak, kata Karyono, maka yang terjadi pasti konflik. Konflik tersebut terjadi ketika seseorang atau kelompok mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain. Menyikapi aksi penolakan UU Cipta Kerja yang menimbulkan tindakan anarkis di sejumlah daerah perlu diurai secara jernih.

“Saya meyakini aksi buruh dan mahasiswa semangatnya murni memperjuangkan hak rakyat. Namun sulit dipungkiri aksi penolakan UU Cipta Kerja telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu,” ungkap Karyono.

Setidaknya ada dua kelompok yang memanfaatkan aksi tersebut. Pertama, kelompok partai politik yang menolak UU Cipta Kerja tentu berkepentingan untuk mengambil keuntungan politik dengan cara mengkapitalisasi aksi penolakan untuk mendapatkan simpati publik.

“Tujuan akhirnya adalah meningkatkan dukungan suara pada pemilu yang akan datang. Hal ini wajar dalam konteks pertarungan politik elektoral,” ucap Karyono.

Kedua adalah kelompok yang mencoba mengadu keberuntungan. Targetnya agar terjadi situasi chaos seperti peristiwa 1998. Sedangkan target minimalnya adalah memanfaatkan aksi untuk mendelegitimasi pemerintahan dan meningkatkan ketidakpuasan publik. [WIS]