kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai (kanan)/lpsk.go.id

Koran Sulindo – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan Undang-Undang Antiterorisme yang baru bersifat operasional.

“UU ini sangat operasional di mana diatur dan ditunjuk pula siapa yang memenuhi hak korban. LPSK siap melakukan mandat ini, apalagi memang sebelumnya kami sudah menangani korban terorisme,” kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, di Jakarta, Minggu (27/5/2018), melalui rilis media.

Menurut Semendawai, UU tersebut juga memperhatikan perlindungan kepada saksi kasus terorisme.

“UU ini sangat penting dalam mendukung perlindungan kepada saksi dan ahli yang memberikan keterangan untuk kasus terorisme,  dan memperkuat layanan kepada korban,” katanya.

UU itu juga memperbanyak bentuk hak korban.

“Sebelumnya hak korban terorisme hanya dua, kompensasi dan restitusi. Dalam UU terbaru, bentuk hak korban diperbanyak”,

Menurut Semendawai, pada praktek penanganan korban terorisme terdapat banyak kebutuhan korban selain kompensasi dan restitusi, antara lain rehabilitasi bagi korban. Rehabilitasi sangat penting karena korban terorisme hampir pasti mengalami trauma baik medis maupun psikologis.

“Ini yang harus dipulihkan, dan alhamdulillah hak korban tersebut juga menjadi salah satu poin dalam UU yang baru. Ini merupakan kemajuan bagi upaya layanan kepada korban terorisme,” katanya.

Selain rehabilitasi medis dan psikologis, rehabilitasi psikososial juga menjadi salah satu hak baru bagi korban yang ada dalam UU baru itu.

Rehabilitasi psikososial penting karena korban yang selamat maupun keluarganya tetap harus bisa melanjutkan kehidupannya secara wajar, misalnya tetap melanjutkan pendidikan maupun tetap memiliki mata pencaharian.

Pada beberapa kasus, korban merupakan tulang punggung keluarga, sehingga keluarga menjadi kehilangan orang yang penting dalam kelanjutan hidupnya sehari-hari.

Pada UU sebelumnya, posisi korban terorisme lemah karena bukan termasuk tindak pidana yang mendapat prioritas perlindungan dan layanan oleh LPSK.

UU ini mengukuhkan LPSK sebagai lembaga yang melakukan upaya pemenuhan hak-hak korban terorisme.

“Hak korban dari masa tanggap darurat sudah diatur dengan jelas. Ini menunjukkan bahwa UU ini fokusnya tidak hanya pada pelaku, melainkan juga kepada korban,” kata Semendawai.

Negara Hadir

Sebelumnya, LPSK juga menyatakan negara hadir bagi korban terorisme.

“Adanya layanan baik saat tanggap darurat oleh Pemda, maupun layanan berkelanjutan oleh LPSK menunjukkan bahwa negara hadir bagi korban terorisme,” kata Semendawai, di kantor LPSK, Jakarta (23/5/2018), seperti dikutip lpsk.go.id.

Dalam pengalaman LPSK, layanan kepada korban tidak bisa dilakukan masing-masing instansi karena sangat kompleks. Misalnya saat fasilitasi kompensasi, LPSK harus bekerjasama dengan penyidik agar permohonan kompensasi bisa masuk ke dalam berkas, termasuk ke dalam tuntutan. Setelah kompensasi diputuskan pun tetap diperlukan koordinasi dengan instansi lain, misalnya dengan Kemenkeu.

“Itu baru layanan kompensasi. Belum layanan lain seperti rehabiltasi psikososial yang memerlukan koordinasi baik dengan Pemda, Institusi Pendidikan dan Institusi terkait ketenagakerjaan,” katanya.

Saat LPSK mengirimkan tim reaksi cepat stelah kasus bom Surabaya, lembaga ini berkoordinasi dengan Pemprov Jatim, Pemkot Surabaya, dan pihak kepolisian.

“Selain memastikan layanan optimal, juga agar peran yang bisa diambil masing-masing instansi, termasuk LPSK, tepat,” kata Wakil Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, yang memimpin langsung tim reaksi cepat LPSK ke Mako Brimob dan Surabaya.

Saat itu LPSK menemui 3 orang polisi yang menjadi korban langsung dan seorang istri polisi yang tewas. LPSK akan bekerjasama dengan Densus 88 soal layanan terhadap korban-korban tersebut.

Dalam kasus aksi teror di Surabaya, LPSK mendata sebanyak 47 korban luka-luka dan 8 orang korban tewas, belum termasuk anak pelaku bom yang luka-luka sebanyak 7 orang . Dari jumlah tersebut sudah 8 orang yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.

“Untuk korban lain tidak menutup ke depannya akan dilindungi dan diberi layanan dari LPSK. Termasuk kami juga mengkaji apakah mungkin dijadikan saksi dalam kasus ini,” kata Hasto. [DAS]