LIPI: Radikalisme Lahan Subur Bagi Terorisme

Koran Sulindo – Maraknya intoleransi keagamaan menjadi biang penyebab radikalisme yang pada gilirannya menjadi lahan subur bagi teroris.

Menurut Koordinator Tim Riset Program Prioritas Nasional Membangun Narasi Positif Kebangsaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas terorisme memiliki akar pada radikalisme.

“Terorisme berakar pada radikalisme. Radikalisme berakar pada intoleransi baik di dunia nyata maupun media sosial,” kata Cahyo dalam diskusi publik bertajuk ‘Deradikalisasi’ yang digelar LIPI.

Radikalisme agama adalah bentuk-bentuk interpretasi keagamaan yang mendorong penganutnya, baik secara aktif maupun pasif untuk mendorong penggantian sistem politik di sebuah negara dengan paham yang mereka percayai.

Sementara intoleransi adalah orientasi negatif atau penolakan seseorang terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang tidak disetujui.

Berdasarkan definisi tersebut maka karakter radikalisme adalah memiliki aspirasi untuk mengganti dasar negara dan sistem politik yang berlaku serta penolakan terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang tidak disetujui.

“Terdapat empat kategori radikalisme dan intoleransi, yaitu radikalisme kekerasan, radikalisme nonkekerasan, intoleransi kekerasan dan intoleransi nonkekerasan,” kata Cahyo.

Selain penggolongan tersebut juga terdapat setidaknya empat alasan mengapa seseorang menjadi radikal. Pertama adalah  untuk kepentingan personal baik itu menyangkut urusan ideologi maupun finansial.

Kelompok radikal umumnya menyebarkan janji-janji pemenuhan kebutuhan finansial dan propaganda politik yang menarik.

Fasilitas seperti pelatihan dan transportasi juga bisa menjadi alasan seseorang bergabung dengan kelompok radikal seperti dalam kasus Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.

Selain itu pemahaman soal penyucian diri juga menjadi alasan lain bagi seseorang yang masuk ke dalam lingkaran radikalisme.

Faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah buruknya etika elit politik yang membuat publik menjadi apatis terhadap demokrasi dan menganggap radikalisme sebagai jalan alternatif.

Radikalisme juga menjadi alternatif masyarakat yang kecewa pada implementasi demokrasiyang bermasalah.  [CHA/TGU]