Iliustrasi hubungan terorisme dan imperialisme/Full Praxis Now

Koran Sulindo – Pada dasarnya kita merupakan masyarakat yang ingin hidup tanpa kekerasan. Kita hanya ingin hidup dalam perdamaian. Juga tentu saja tanpa penindasan, diskriminasi dan pengisapan sebagaimana yang dirasakan mayoritas rakyat hari ini.

Untuk itu, kita sungguh merasakan kesedihan dan penderitaan yang ditanggung sebuah keluarga di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Kita merasakan kepedihan warga yang harus kehilangan empat anggota keluarganya karena tindak kekerasan dan kekejaman sekelompok orang yang sementara ini dikenali sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Tindakan MIT itu lantas kita namai sebagai aksi terorisme. Apa yang dilakukan kelompok MIT itu dalam sudut pandang teori kekerasan mengutip Johan Galtung disebut sebagai kekerasan struktural. Galtung menyebut kekerasan struktural sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya.

Aksi terorisme seperti yang dilakukan MIT ini terkadang melegitimasi aksi kekerasan yang lebih luas yang dilakukan negara terhadap rakyat atau agresi sebuah negara adidaya terhadap negara lainnya. Itu yang terjadi ketika aksi terorisme yang dilakukan kelompok Al Qaeda terhadap menara kembar WTC New York, Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001.

Setelah serangan itu, Presiden George W Bush bereaksi dengan menyatakan, AS menyatakan perang terhadap teroris. Pernyataan perang melawan teroris ini lantas disambut NATO yang merupakan sekutu utama AS di Eropa. Pemerintah AS menyediakan anggaran US$ 40 miliar dan mempersiapkan 50 ribu tentara untuk menyerang Taliban di Afghanistan karena dianggap sebagai basis Al Qaeda. Pada akhirnya di 2011, AS mengklaim berhasil menewaskan Osama bin Laden dalam sebuah operasi khusus di Kota Abbottabad di kawasan barat laut Pakistan.

Bush yang gandrung dengan kekerasan itu, setelah dari Afghanistan, meneruskan perangnya ke Irak pada 2003. Bersama dengan sekutu utamanya yaitu Inggris yang kala itu dipimpin Perdana Menteri Tony Blair, Bush mencari-cari alasan untuk mengagresi Irak. Untuk melancarkan perangnya, Bush lalu menuduh Saddam Hussein terkait dengan jaringan Osama dan Al Qaeda serta menyimpan senjata pemusnah massal atau senjata kimia.

Dalih ini kemudian dipakai Bush dan Blair untuk menginvasi Irak sehingga menewaskan jutaan warga sipil dan jutaan orang menjadi pengungsi. Setelah berhasil menaklukkan Irak dan mendudukkan pemerintahan boneka, AS bersama sekutunya membiarkan Irak dilanda perang saudara serta perang antar-suku dan agama.

Cerita yang sama pernah dirasakan warga Marawi, Filipina pada medio 2017. Atas nama perang melawan kelompok militan yang terhubung dengan ISIS, pasukan militer Filipina benar-benar mengerahkan kekuatan tempur yang meluluhlantakkan kota Marawi. Laporan Amnesti Internasional menyebutkan perang sipil di kota Marawi menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang tidak sedikit. Korban itu disebabkan oleh militan Islam yang mendeklarasikan diri bagian dari ISIS dan serangan militer Filipina.

Laporan Amnesti Internasional berdasarkan wawancara dengan 48 saksi dari bulan September hingga November 2017 menyebutkan lebih dari sekitar 1.000 orang tewas yang sebagian besar adalah kelompok militan Islam dan selebihnya sekitar 166 tentara dan 47 orang warga sipil menjadi korban dalam pertempuran itu.

Akan tetapi, apapun yang telah menjadi fakta tersebut, tindakan teror tetaplah tidak dapat dibenarkan. Fakta itu juga menunjukkan, persoalan terorisme sejak lama tidak sesederhana yang kita bayangkan. Rasanya demikian juga yang terjadi di Poso dan Sigi itu bukan? [Kristian Ginting]