Ilustrasi: Jasad Yulianus Pagai/tabloidjubi.com

Koran Sulindo – Jenazah itu digeletakkan begitu saja di teras markas Polsek Tigi, Kabupaten Deiyai, Papua. Jasad Yulianus Pigai yang terbujur kaku dan berdarah-darah itu disebut sebagai protes meminta pertanggungjawaban pelaku.

“Kami akan tinggalkan jenazah Yulianus di sini saja. Tidak mau dikuburkan, biar mereka makan sudah. Mereka bunuh karena mereka mau makan dia,” teriak Elias Pakage di depan Mapolsek Tigi, pekan lalu, seperti dikutip tabloidjubi.com.

Menurut Elias, jika pelaku tetap tidak mau bertanggungjawab, keluarga Yulianus bersepakat menguburkan jenazah Pigai di halaman kantor polisi tersebut.

“Kami sudah sepakat. Biarkan mayat ini busuk di sini saja. Atau, kalau mau kita kuburkan saja di halaman Polsek ini,” kata Elias.

Yulianus adalah korban dalam kasus penembakan oleh polisi terhadap warga Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua, Selasa 2 Agustus 2017.

Peristiwa itu menewaskan Yulianus, melukai setidaknya 3 orang lainnya, dan total 17 orang terluka. Warga menyebut polisi “langsung tembak, tanpa memberikan peringatan” dalam kasus itu.

Peristiwa bermula ketika seorang warga Kampung Oneibo, hari itu tenggelam di sungai dan diselamatkan dalam kondisi sekarat. Warga meminta tolong kepada perusahaan PT Putra Dewa Paniai (PDP), yang sedang membangun jembatan di Oneibo, untuk meminjamkan mobil perusahaan agar bisa membawa korban ke rumah sakit di kota.

“Perusahaan gak mau… Kok mereka ada di kampung kami, tetapi tidak mau antar,” kata salah seorang warga, Abeth Youw, seperti dikutip bbc.com.

Korban akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit dengan menggunakan kendaraan warga setempat, setelah “2-3 jam menunggu perusahaan tapi tidak digubris”.

Masyarakat lantas melampiaskan kemarahan dengan merusak kamp perusahaan. Polisi menyebut, warga juga menganiaya karyawan PDP.

Perusahaan menelepon polisi, Kapolsek dan Komandan Peleton Brigade Mobil (Brimob) setempat datang beserta “sekitar sepuluh” pasukan Brimob. Ricuh sesudah itu berujung penembakan pada warga. Sejak 3 tahun lalu ada sekitar 20-30 personil Brimob yang ditugaskan di Deiyai.

Kasus ini menambah panjang deretan kekerasan negara terhadap warga Papua.

Lingkaran Kekerasan

Tanah Papua tidak pernah bebas dari kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap warga sipil. Jumlah kejadian kekerasan di sana sejak pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2014 hingga kini jika diurutkan masih begitu panjang, memperlihatkan persoalan ini tak pernah berusaha diselesaikan.

Sebelumnya, data Elsham Papua periode 2012-2014 menyebutkan terdapat 389 kasus kekerasan di Papua dengan rincian 234 orang tewas, 854 orang luka-luka, dan 880 orang ditangkap.

Presiden Jokowi sudah sejak awal menginginkan kasus kekerasan tidak lagi terjadi di provinsi ujung timur Indonesia itu, namun baru 3 bulan menjabat Jokowi sudah harus menyaksikan penembakan warga sipil di Enarotali, Kabupaten Paniai, awal Desember 2014.

“Yang paling penting bagi saya adalah kejadian ini jangan terjadi lagi, karena saya ingin bangun tanah Papua,” kata Jokowi saat bertatap muka dengan Barisan Relawan (Bara) Jalan Perubahan (JP) di GOR Waringin Kota Jayapura, Papua, Desember 2014, seperti dikutip antarapapua.com.

“Dialog juga itu penting, itu agar dijalani, agar pusat dan daerah bisa sambung. Jangan ada lagi kekerasan di Papua,” kata Jokowi.

Namun sejak itu kekerasan masih tak berhenti. Menurut Setara Institute, selama Oktober 2014-Desember 2015, terjadi 16 tindak kekerasan negara. Dan setahun berikutnya melonjak tajam, terjadi 68 kasus.

Lembaga Studi dan Advoksi Masyarkat (ELSAM) mengatakan, pada Oktober 2016, mengatakan pemerintahan Jokowi-JK gagal menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua, baik melalui mekanisme hukum nasional yang berlaku, baik melalui mekanisme yudisial maupun non yudisial.

“Berulangnya kekerasan yang dilakukan aparat keamanan di tanah Papua juga menunjukkan bahwa Presiden Jokowi belum mengambil langkah-langkah konkrit untuk menghapus dan menghilangkan budaya kekerasan (culture of violence) aparat keamanan dalam komunikasi dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat,” tulis penelitian Elsam itu.

Pada zaman nawacita ini, pembungkaman ruang demokrasi di Tanah Papua malah makin masif. LBH Jakarta merilis selama April hingga Juni 2016 sekitar 2 ribu orang ditangkap ketika sedang melakukan penyampaian pendapat. Pada Juli hingga Oktober 2016, jumlah orang Papua ditangkap juga saat aksi unjuk rasa berlipat ganda.

Jiwa yang Patah

Peneliti LIPI Muridan S Widjojo kaget ketika membuat transkrip lagu-lagu tradisional Amungme pada 1997 lalu. Syair lagu-lagu itu tidak lagi berceritera tentang tradisi, kepahlawanan, atau kearifan, tetapi tentang pembunuhan, teror, tentara, asap mesiu, kebun yang hancur, dusun yang sunyi, suami yang hilang, dan pemuda tercinta yang tak pernah kembali.

“Lagu-lagu itu setiap kali dinyanyikan di kebun, di sudut-sudut hutan tempat persembunyian, di honai, di mana saja. Anak-anak Amungme ikut menyanyikan dan menghayati lagu-lagu itu,” tulis Muridan dalam Melawan Politik Kekerasan di Tanah Papua (Kompas 23 Agustus 2001).

Ingatan kekerasan dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi ingatan penderitaan bangsa Papua. dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa Papua.

Hak hidup orang Papua makin sulit karena jumlahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia dan kini perbandingan antara pribumi dan pendatang hampir sama. Para pendatang menguasai sektor ekonomi menengah ke atas dan secara geografis mendiami wilayah perkotaan; sementara pribumi Papua umumnya tidak memiliki akses ke sektor ekonomi dan lebih banyak tinggal di wilayah pedalaman.

Perasaan dan pengalaman terpojok, tersudut, dan tak terlindung inilah yang menjadi sumber gerakan perlawanan rakyat Papua.

John Rimbiak, pembela hak-hak asasi manusia Papua dan salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa Papua untuk menggambarkan bagaimana isi hati, harkat, dan jati diri rakyat Papua untuk membebaskan diri dari kekerasan negara.

Menurut John, orang Papua mengalami Jiwa yang Patah. Mereka hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan  kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita. Secara sosial rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain. Ini mungkin yang melatarbelakangi mengapa rakyat Papua menuntut melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Didit Sidarta]