Koran Sulindo – Ilmuwan dari Centre for GeoGenetics Universitas Kopenhagen, Melissa Ilardo dan kawan-kawannya, meneliti Suku Bajau dan Suku Saluan di Jaya Bakti, Sulawesi Tengah, selama berbulan-bulan. Dari penelitian tersebut, yang dipublikasikan di jurnal ilmiah biologi, Cell, mereka memastikan tubuh manusia mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrem di laut dalam.
“Kunjungan pertama kami di Jaya Bakti untuk memperkenalkan diri, mengenalkan proyek dan penelitian ilmiah yang akan kami lakukan,” kata Ilardo kepada AFP. “Saya ingin memastikan mereka mengerti apa yang saya tanyakan agar mereka bisa membantu mengarahkan proyeknya agar merefleksikan kepentingan mereka. Mereka sangat gembira dan penuh rasa ingin tahu.”
Dari hasil penelitian tersebut diketahui juga, Suku Bajau—kaum nomaden laut yang hidup di Indonesia, Malaysia, dan Filipina—ditengarai punya limpa yang lebih besar ketimbang manusia normal, sehingga mampu menyelam ke laut dalam tanpa bantuan alat pernapasan, meski tidak semua dari mereka adalah penyelam. Bukan hanya mengambil sampel DNA yang dilakukan Ilardo dan kawan-kawan, namun mereka juga melakukan pemindaian ultrasonik.
Dari sanalah kemudian diketahui juga anggota Suku Bajau memiliki ukuran limpa yang 50% lebih besar dibanding limpa anggota Suku Saluan. Saat menyelam, limpa memiliki fungsi vital. Karena, limpa melepaskan oksigen dalam jumlah besar ketika manusia menahan napas di dalam air atau ketika tubuh mengalami stres.
Suku Bajau memang telah sejak lama dikenal sebagai penyelam tangguh. Dengan hanya memakai kacamata yang terbuat dari batok kelapa, mereka biasa berburu ikan dengan tombak hingga di kedalaman 70 meter. Mereka pun biasa menghabiskan 60% waktu kerjanya di dalam laut. Sebagian dari mereka, ungkap Ilardo, bahkan mampu menahan napas selama 13 menit. Kemampuan ini berasal dari kemampuan tubuh manusia beradaptasi secara genetika dengan gaya hidup Suku Bajau.
Dari hasil temuan penelitian tersebut, para peneliti dapat memahami bagaimana tubuh bereaksi saat kekurangan oksigen dalam berbagai kondisi, mulai dari saat menyelam, memanjat gunung tinggi, atau saat dioperasi. “Ini menunjukkan betapa pentingnya suku pedalaman di seluruh dunia yang memiliki gaya hidup ekstrem,” ungkap Eske Willerslev, professor di Universitas Kopenhagen, yang juga ikut menulis laporan penelitian tersebut di Cell.
Menurut Ilardo, Suku Bajau dan kaum nomaden laut lainnya sangat luar biasa. “Dan, saya ingin membuktikannya kepada dunia,” tutur Ilardo lagi.
Suku Bajau hidup berkelompok di atas perahu dan mengembara. Mereka tak punya kewarganegaraan.
Dengan hanya menggunakan perahu yang relatif kecil, mereka mampu bertahan dari terjangan ombak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Suku Bajau menangkap ikan, yang kemudian sebagian ditukar dengan barang milik penduduk di daratan Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Diperkirakan, populasi Suku bajau mencapai ribuan orang dan hidup di dalam ratusan perahu kecil. Pada November 2014 lampau, Kepolisian Daerah Kalimantan Timur menangkap 544 orang dari Suku Bajau dari perairan Berau. Mereka berbicara dengan berlogat Melayu, namun tak paham bahasa Indonesia. [RAF]