Koran Sulindo – Setelah jatuh, ditimpa tangga pula. Begitulah gambaran para korban pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) saat ini. Mereka selalu menuai kekecewaan. Pasalnya, negara yang acap berjanji malah mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 Bedjo Untung, misalnya, menyampaikan kekecewaannya terhadap Komisi Nasional (Komnas) HAM. Bedjo kecewa antara lain karena sikap Komnas HAM yang disebut tidak bermakna pada periode kali ini.

Kekecewaan itu kian menjadi karena Komnas HAM pernah menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM 1965 secara hukum telah selesai. Bedjo tidak memungkiri hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus itu. Dan memang sudah selesai. Akan tetapi, hasil penyelidikan yang kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung mandek total.

Kejaksaan Agung kerap berdalih sulit menemukan bukti terkait meski Komnas HAM telah menyelidiki kasus itu secara tuntas. Bukti yang dimaksud Kejaksaan Agung, misalnya, karena kasusnya yang telah lama dan pelakunya sudah banyak yang meninggal.

Kekecewaan lainnya, kata Bedjo, para korban pelanggaran HAM berat punya hak berupa bantuan kesehatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).Namun, hak itu tidak bisa digunakan tanpa surat rekomendasi dari Komnas HAM. Ia karena itu berharap lembaga tersebut kelak akan benar-benar menjadi pengawal HAM yang lebih baik.

Kekecewaan serupa juga dirasakan International People’s Tribunal (IPT) 1965. Kekecewaan itu karena pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Pembentukan lembaga tersebut diduga sebagai cara pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM.

Membentuk DKN
Perwakilan IPT 1965 Rahma Mari pada Minggu (19/3) menuturkan, korban tragedi 1965 tidak membutuhkan lembaga semacam DKN. Yang dibutuhkan korban adalah lembaga yang mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat 1965 termasuk, misalnya, mengupayakan rekonsiliasi.

Kendati memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi, bukan kemudian mengabaikan pengusutannya. Cara rekonsiliasi juga mesti melalui proses pengusutan terlebih dulu, bukan langsung pada proses kerukunan.

Seperti Bedjo, Rahma lantas menilai Komnas HAM tidak serius menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena mendukung pembentukan DKN. Di sisi lain, Komnas HAM tidak menerima hasil IPT dan tak melakukan apapun.

Wacana pembentukan DKN melalui peraturan presiden kini tinggal menunggu tanda tangan presiden. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto juga telah mengincar 11 orang untuk menjadi anggota DKN. Ia juga menolak pembentukan itu sebagai bentuk lepas tanggung jawab pemerintah atas kasus 1965.

IPT 65 lewat persidangannya pada Juli 2016 menetapkan peristiwa 1965 sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Pengadilan rakyat itu menyebutkan ada sembilan unsur kejahatan dalam peristiwa tersebut yaitu pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan perempuan, penculikan, kerja paksa, stigmatisasi, propoganda, dan penyertaan negara asing.

Hakim IPT 65 juga menambahkan genosida sebagai kejahatan yang terjadi pada periode 1965-1966 dan sesudahnya. IPT memang bukan peradilan resmi sehingga putusannya tidak memiliki kekuatan hukum. [KRG]