Legenda Putri Mandalika: Kisah Nyale dan Pengorbanan Untuk Rakyat

Legenda Putri Mandalika adalah sebuah cerita rakyat yang berasal dari pulau Lombok. Hingga kini, masyarakat meyakini bahwa cacing laut yang muncul setiap tanggal 20 bulan ke-10 dalam kalender tradisional Sasak, antara Februari atau Maret, adalah jelmaan dari Putri Mandalika.

Menurut cerita, Putri Mandalika melakukan pengorbanan besar dengan menyeburkan diri ke laut demi kebahagiaan rakyatnya. Pada suatu masa, tiga pangeran jatuh cinta pada Putri Mandalika, namun sayangnya, Putri Mandalika tidak menerima satupun dari mereka. Putri Mandalika dikenal sebagai sosok yang cantik dan bijaksana, tidak pernah menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat Kerajaan Sekar Kuning, yang merupakan kerajaannya.

Orang tua Putri Mandalika, Raden Panji Kusuma dan Dewi Seranting, dikenal sebagai sosok arif dan berhati besar terhadap sesama. Cerita ini menciptakan kerajaan yang menghadap ke Samudra Hindia, yaitu Kerajaan Sekar Kuning di negeri Tonjeng Beru. Kedua raja tersebut hidup harmonis dan memerintah dengan bijaksana, menciptakan kehidupan sejahtera bagi rakyat.

Dalam momen yang dinanti-nantikan, pasangan tersebut dikaruniai seorang putri cantik bernama Mandalika. Melihat perilaku orang tua Putri Mandalika yang bijaksana, dia tumbuh menjadi gadis yang santun, rendah hati, dan penuh kasih sayang terhadap rakyat. Putri Mandalika bahkan rela membantu warga dengan tangan sendiri tanpa memandang statusnya sebagai seorang ningrat. Kecantikan dan kebaikannya membuatnya dicintai oleh rakyat, bahkan sampai ke pelosok negeri.

Namun, cerita berubah saat para pangeran dari berbagai kerajaan datang untuk melamar Putri Mandalika. Mereka datang dengan membawa hantaran emas, kain sutra, aksesori wanita, dan makanan khas daerah masing-masing. Sayangnya, kebaikan mereka malah membuat Putri Mandalika bingung dan terbebani. Putri Mandalika merasa sulit memilih di antara para pangeran yang tampan dan terpelajar.

Suatu malam, Putri Mandalika secara rahasia menyusup ke paviliun tamu untuk melihat para pangeran yang melamarnya. Namun, yang dia temui bukanlah pemandangan yang memuaskan. Para pangeran tampak sombong dan kekanak-kanakan, saling membanggakan kerajaan masing-masing, bahkan mengancam perang jika tidak dipilih. Putri Mandalika kembali ke kediamannya dengan hati penuh kekecewaan dan ketakutan.

Kekecewaan Putri Mandalika semakin bertambah ketika dia menyadari bahwa lamaran para pangeran bukan hanya tentang dirinya, melainkan juga mengancam perdamaian antar suku. Dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan orang tuanya yang bijaksana.

Raja dan ratu pun merasakan kebingungan serupa dan menyarankan Putri Mandalika untuk meminta petunjuk pada Sang Maha Pencipta. Mereka sepakat mendukung apapun keputusan yang diambil Putri Mandalika.

Bertolaklah Putri Mandalika untuk bersemedi di tebing Pantai Seger guna mencari jawaban yang dicarinya. Setelah tiga hari bersemedi, dia mengundang para pangeran untuk datang ke tebing Pantai Seger saat fajar pada hari ke-20 bulan 10. Pilihan waktu ini mengejutkan banyak orang, membuat penasaran akan keputusan Putri Mandalika.

Hari yang ditunggu tiba, dan kawasan Pantai Seger dipadati oleh penduduk yang penasaran akan jawaban Putri Mandalika. Dengan diiringi kedua orang tuanya, Putri Mandalika tampil memesona di antara kerumunan. Dia menuju ke ujung tebing sendirian, membuatnya tampak di antara orang banyak. Saat sinar matahari menyinari dirinya, Putri Mandalika menyatakan bahwa dia menerima semua pinangan para pangeran.

Pernyataan ini membingungkan semua orang, tetapi Putri Mandalika menjelaskan bahwa keputusan ini adalah petunjuk dari Sang Maha Pencipta. Dia menegaskan bahwa semua pangeran baik untuknya, asalkan mereka menjadi pemimpin yang baik bagi rakyat. Putri Mandalika menolak konflik dan perang, menginginkan kesejahteraan untuk rakyat. Dengan tegas, Putri Mandalika mengucapkan terima kasih atas pinangan dan kasih sayang semua orang, lalu melompat ke lautan yang disambut ombak besar.

Setelahnya, Raja dan ratu, diikuti oleh rakyat dan para pangeran, mencari Putri Mandalika di laut. Namun, yang mereka temukan bukanlah tubuh Putri Mandalika, melainkan ribuan cacing laut berwarna-warni yang mirip dengan kain sutra yang dikenakan Putri Mandalika.

Raja dan ratu menyadari bahwa cacing-cacing tersebut adalah jelmaan dari Putri Mandalika yang telah berkorban demi perdamaian dan kesejahteraan rakyat. Mereka memerintahkan rakyat untuk mengumpulkan cacing-cacing tersebut. Sebagian di antaranya ditempatkan di sawah untuk membuat tanaman subur, sementara sebagian lagi dimasak untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tindakan ini diambil sebagai bentuk penghormatan kepada Putri Mandalika.

Para pangeran, walaupun pulang tanpa membawa permaisuri, menjadi pemimpin yang menghargai dan menghormati rakyatnya, siap berkorban demi kesejahteraan mereka, seperti yang telah dilakukan oleh Putri Mandalika. Dengan pengorbanannya, Putri Mandalika meninggalkan warisan dalam bentuk cacing laut yang menjadi simbol kebijaksanaan dan cinta damai. [UN]