Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng, Jurus Pamungkas Pemerintah?

Presiden RI Jokowi bicarakan Hilirisasi dan Industrialisasi (sumber: poloticanews.id)

Setelah gonjang-ganjing harga minyak goreng di dalam negeri, kemudian disusul skandal penangkapan pihak yang disinyalir jaringan dari mafia minyak goreng. Drama ini kemudian berkembang yang berujung pada keluarnya larangan ekspor CPO dan minyak goreng oleh Presiden Joko Widodo.

Seperti diketahui, ada empat orang yang telah ditangkap oleh pihak Kejaksaan Agung RI yang diumumkan pada Selasa (19/04/2022), mereka yang ditangkap yaitu Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana.

IWW ditangkap bersama tiga pimpinan dari korporasi besar kelapa sawit Indonesia. Mereka adalah Senior Manajer Corporate Affair Permata Hijau Group berinisial SMA, Kemudian General Manajer PT Musim Mas berinisial MPT dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT.

Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan larangan ekspor CPO dan minyak goreng usai memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Jumat (22/04/2022) di Jakarta bersama jajaran menterinya. larangan ekspor tersebut akan mulai berlaku pada 28 April yang akan datang.
“Saya putuskan pemerintah akan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng” ujar Presiden Jokowi.

Alasan penutupan kran ekspor CPO dan minyak goreng adalah mempertimbangkan stok minyak goreng di dalam negeri. Sebabnya beberapa waktu sempat terjadi kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Presiden ingin menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga yang terjangkau.
Dari data GAPKI, Indonesia telah mengekspor 33,674 ton CPO dan produk turunannya selama tahun 2022.

Respons pengusaha

Merespons kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan menghormati kebijakan tersebut dengan berbagai catatan terkait industri dalam negeri.

Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi menyatakan pihaknya mendukung kebijakan tersebut. “Kami sebagai pelaku usaha perkelapasawitan mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit. Kami menghormati dan akan melaksanakan kebijakan seperti yang disampaikan oleh Presiden,” ujarnya dalam keterangan pers, di Jakarta, Jumat, 22 April 2022.

Sejalan dengan itu, kata Tofan, Gapki akan terus memonitor perkembangan di lapangan setelah berlakunya kebijakan tersebut. “Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit.”

Pemantauan larangan ekspor itu dilakukan untuk melihat dampak yang timbul khususnya terhadap keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit. “Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut,” tuturnya.

Gonjang-ganjing harga minyak memang bikin runyam. Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan jika kenaikan harga minyak goreng telah turut serta menyumbang kenaikan inflasi sebesar 0,04 persen dari inflasi bulan Maret 2022 sebesar 0,66 persen.(WID)

Harga akan turun?

Larangan ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya adalah langkah baru pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran juga lonjakan harga. Pasalnya harga minyak goreng di pasar masih melambung tinggi dan ketersediaannya juga belum lancar.

Aturan penetapan HET minyak goreng curah 14 ribu rupiah per liter dan pembebasan harga minyak kemasan pun terlihat belum efektif. Minyak goreng curah masih di kisaran harga 20 ribu rupiah di pasaran, sedang minyak dengan kemasan melampaui 25 ribu rupiah setiap liter.

Pemerintah sebelumnya telah beberapa kali berganti kebijakan sejak akhir 2021 lalu. Mulai dari kebijakan HET minyak kemasan 14 ribu rupiah, operasi pasar, minyak goreng satu harga, aturan DMO dan DPO, BLT minyak goreng hingga razia distributor, semua pernah dilakukan dan belum memberi dampak signifikan.

Kebijakan baru larangan ekspor ini juga belum jadi jaminan akan tersedianya minyak goreng murah bagi masyarakat.  Belum jelas hingga kapan kebijakan ini berlaku dan belum ada perbaikan dalam skema distribusi kepada masyarakat.

Selain itu, suara penolakan dipastikan akan muncul dari berbagai kalangan mulai dari pelaku industri, pengamat maupun politisi. Berkaca dari pengalaman larangan ekspor batu bara, kebijakan ini tak lama berubah setelah mendapat protes banyak pihak dan negara lain.

Menurut Direktur Celios Bhima Yudhistira Adhinegara, kebijakan melihat keputusan Presiden RI Joko Widodo melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng perlu dihentikan. Kebijakan tersebut sama halnya mengulang kesalahan yang sama seperti pada kasus batu bara pada Januari 2022. Masalah tersebut tidak selesai.

Menurut Bhima pengawasan menjadi hal terpenting dalam distribusi minyak goreng. Bhima menyampaikan bahwa kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) 20 persen sudah cukup untuk menjaga kebutuhan dalam negeri.

Senada dengan Bhima, Anggota Komisi VI DPR Fraksi PDIP, Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta Presiden mengevaluasi kebijakan pelarangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng.

Deddy menilai kebijakan itu bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga. Menurutnya, keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek. Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik.

Deddy menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar. Mereka memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian.

Mengingat kebijakan ini masih beberapa hari ditetapkan masih perlu di tunggu realisasinya di lapangan. Apakah ini menjadi jurus pamungkas yang mengakhiri masalah minyak goreng, ataukah berganti dengan kebijakan baru lagi? Patut dinanti. [WID/PTM]