Start-up JD.ID dikabarkan akan melakukan PHK terhadap karyawannya.
Start-up JD.ID dikabarkan akan melakukan PHK terhadap karyawannya.

Di tengah situasi ekonomi yang masih labil, baik karena pandemi Covid-19 maupun ketidakpastian global, kabar buruk datang dari industri rintisan atau startup.

Sejumlah perusahaan startup diketahui telah melakukan pengurangan tenaga kerja. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi bahkan hingga Silicon Valley di Amerika Serikat.

Di AS, perusahaan aplikasi investasi Robinhood diketahui telah memangkas sekitar 300 pegawainya di akhir April. Kemudian perusahaan streaming global, Netflix yang diketahui memangkas sekitar 150 pegawai, imbas dari kerugian sebesar 70 persen yang mereka derita. Begitu juga dengan Cameo dan Thrasio. Nama terakhir bahkan melakukan PHK kepada 20 persen pegawainya.

Sejumlah raksasa Silicon Valley juga diketahui mengalami sejumlah kemunduran. Dilansir dari Washington Post (10/05/22), perusahaan seperti Microsoft, Amazon, Tesla dan Alphabet kehilangan 20 persen sepanjang tahun ini. Sementara itu Facebook yang mengalami penurunan nilai sebesar 40 persen telah mengambil kebijakan untuk membekukan perekrutan pegawai baru. Sementara dari data layoffs.fyi ada sekitar 15 ribu pegawai di bidang teknologi yang telah kehilangan pekerjaan.

Kondisi perusahaan startup Indonesia 

Sementara di Indonesia, beberapa perusahaan startup diketahui telah melakukan sejumlah pengurangan pegawai dengan berbagai alasan.

Perusahaan startup dalam negeri yang melakukan PHK di antaranya adalah : Zenius, LinkAja, JD.Id, Si Cepat, Tani Hub, UangTeman hingga Fabelio. Terbaru, gelombang lesu darah startup di Indonesia menimpa Pahamify dan Beres.id.

Zenius diketahui telah melakukan PHK terhadap lebih dari 200 pekerjanya. Jumlah pekerja yang terkena PHK tersebut mencapai 25 persen dari pekerja perusahaan startup berstatus unicorn tersebut. PHK juga dilakukan oleh LinkAja dan JD.ID. Meskipun jumlahnya tidak diketahui pasti, tetapi yang jelas jumlahnya mencapai ratusan pekerja.

Sementara kabar tidak sedap tersebar seputar masalah ketenagakerjaan di Fabelio yang diduga memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri jika ingin pesangonnya dibayarkan. Namun Fabelio kemudian dikabarkan tidak membayarkan hak-hak pekerjanya. Selain itu perusahaan startup dibidang furnitur ini juga diduga tidak membayarkan BPJS pekerjanya serta masih terlilit hutang dengan vendor mereka. Saat ini hampir semua showroom mereka di Jabodetabek, Bandung dan Surabaya telah tutup.

UangTeman, perusahaan fintech landing ini bahkan sampai dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para pekerja yang terkena PHK, harus terkatung-katung nasibnya sejak akhir 2020 akibat hak-hak mereka seperti upah dan termasuk BPJS yang belum dibayarkan oleh perusahaan tersebut. Kebijakan PHK disebut-sebut sebagai salah satu strategi yang diambil untuk memperkuat lini bisnis. Hal ini berkaitan dengan ekonomi makro, kepentingan reorganisasi atau berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM).

Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan bahwa untuk meraih pengguna, perusahaan startup rata-rata harus bakar uang. Itupun dengan catatan bisa jadi masih tertinggal jauh dari para pendahulu.

Selain itu, pendanaan juga semakin sulit didapatkan, apalagi untuk layanan yang sudah melewati fase pertumbuhannya seperti perusahaan e-commerce, pembayaran digital, edukasi, travel dan lain sebagainya. Startup mulai bergerak pada arah baru yang membawa konsep kecerdasan buatan, big data analytic hingga metaverse.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Dedy Permadi menjelaskan bahwa salah satu penyebab kegagalan bisnis startup berasal dari faktor manajerial. Yaitu kurang pengalaman dan visi yang jelas dari para founder-nya.

Dedy juga menambahkan, dari laporan Failory, faktor lain adalah perusahaan yang kurang fokus menjalankan bisnisnya.

“Namun demikian, menurut report CB Insight, dua alasan utama kegagalan perusahaan startup adalah karena kehabisan dana (ran out of cash) dan tidak adanya kebutuhan pasar (no market need)”ujar Dedy.

Namun demikian, Dedy menyebutkan jika pemerintah melalui Kominfo memiliki sejumlah program agar perusahaan startup dapat bertahan di tengah gelombang PHK.

“Kementerian Kominfo terus berkomitmen untuk mendorong ekosistem digital yang kondusif, termasuk pemberdayaan startup melalui inisiasi program flagship” ujar Dedy pada Minggu (5/06/22).

Program seperti Sekolah Beta untuk program peningkatan pengetahuan dan keahlian mendasar para pemula dalam dunia startup. Targetnya memiliki peserta 80.000 setiap tahunnya sejak 2021 hingga 2024.

Program lainnya adalah Gerakan Nasional 1000 Startup Digital yang bertujuan mencari serta mengkurasi ide kreatif dan mendorong minimum viable product yang mentargetkan 20.000 peserta hingga tahun 2024. Sejak 2016, sudah ada sekitar 1.300 startup yang ikut program ini dan masih ada sekitar 10 persen yang bertahan hingga sekarang.

Pemerintah juga memiliki program Hub.ID sebagai upaya fasilitator business matchmaking antara perusahaan startup dengan calon investor. Calon investor ini berasal dari pihak swasta, BUMN, Angel Investor hingga Venture Capital.

Antara tradisi bakar Uang dan persaingan pasar

Tantangan terbesar dari perusahaan startup adalah permodalan dan kemampuan bertahan hidup. Hal ini diakibatkan oleh risiko perusahaan startup yang tergolong tinggi dan perusahaan startup umumnya tidak terbukti dapat mencetak keuntungan.

Hal ini membuat banyak perusahaan startup sangat mengandalkan investor untuk bertahan hidup. Karena pada umumnya di fase awal perusahaan startup hanya akan “membakar uang” untuk meluncurkan dan mengoperasionalkan produk dan aplikasi mereka. Inilah mengapa sepertiga perusahaan startup gagal dalam dua tahun dan 50% perusahaan startup hanya sanggup bertahan selama lima tahun.

Maka tidak heran jika kita dengan mudah menemukan bagaimana perusahaan startup dengan nilai valuasi sangat besar bahkan masuk kategori Unicorn maupun Decacorn tetapi kinerja keuangannya mereka sangat mengkhawatirkan.

Namun ada beberapa perusahaan startup yang mungkin valuasinya tidak sebesar yang lain tapi memiliki kinerja keuangan yang bagus. Hal ini sering kali karena kemampuan mereka mempertahankan fokus bisnis dan strategi pengembangan yang tetap. Seperti yang ditunjukkan beberapa perusahaan startup yang bergerak dalam bidang minuman kopi.

Namun demikian pasar perusahaan startup Indonesia telah mulai menunjukkan siapa pemain utamanya. Perusahaan seperti GoTo dan Shopeepay serta beberapa perusahaan yang mengembangkan pembayaran dan dompet digital sebagai salah satu layanannya menjadi pemain utama di Indonesia. Mereka meninggalkan jauh para pesaingnya yang terus mempertahankan bentuk layanan konvensional seperti sekedar menyediakan layanan e-commerce maupun aplikasi transportasi online.

Dengan perkembangan dan prospek perusahaan startup seperti ini, tidak heran jika kemudian investor mulai hati-hati dan selektif dalam memberikan pendanaan bagi perusahaan startup. Apalagi jika melihat kondisi ekonomi dan politik global yang penuh ketidakpastian.

Jika melihat kondisi ini, sepertinya masa-masa indah perusahaan startup akan segera berakhir dan kita harus kembali melihat secara realistis bagaimana dunia ini bekerja sebenarnya. [WID]