Lampu gantung yang menerangi Pendhapa Ageng Puro (istana) Mangkunegaran awalnya tergantung di Istana Bogor, di zaman kolonial Belanda. Foto: puromangkunegaran.com

Puro Mangkunegaran adalah kediaman/istana resmi Adipati Mangkunegara, terletak di Solo (Surakarta), Jawa Tengah. Istana ini mulai dibangun pada 1757 oleh Raden Mas Said (Mangkunegara I) dengan pendhapa yang sangat luas. Mengutip situs resmi milik Puro Mangkunegaran, Pendhapa Ageng ini memiliki ukuran 3.500 meter persegi.

Pendhapa Ageng Mangkunegaran didominasi warna kuning dan hijau. Bukan sembarang warna, kuning dan hijau adalah warna pari anom (padi muda) yang merupakan warna khas keluarga Mangkunegaran, lantai pendhapa berbahan marmer yang diimport dari Italia.

Bangunan ini berbentuk joglo dan mampu menampung kurang lebih 5.000 hingga 10.000 orang. Sehingga pendhapa ini diklaim sebagai pendhapa terbesar di Indonesia.  Pendhapa ini diterangi puluhan lampu gantung buatan Inggris yang awalnya memakai lilin sebagai sumber cahaya, kemudian dimodifikasi memakai lampu listrik.

Jauh sebelum negara ini memiliki Perusahaan Listrik Negara (PLN), Mangkunegaran telah memakai teknologi listrik di wilayahnya. Pada 12 Maret 1901, KGPAA Mangkunegara VI (1896-1911) dan Sunan Pakubuwana X (1893-1939) menggagas berdirinya perusahaan listrik di Surakarta yang diberi nama Solosche Electriciteits Maatschappij (SEM). Gagasan tersebut kemudian diteruskan oleh KGPAA Mangkunegara VII (1916-1944).

 Kisah Lampu Gantung Istana

 Lampu gantung yang sekarang menghiasi Pendhapa Ageng Puro Mangkunegaran pernah menghiasi Istana Bogor hingga tahun 1870. Seperti dikisahkan, pada 1870 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkunagoro IV berkunjung di Istana Buitenzorg (Bogor) untuk bertemu dengan Gubernur Jendral Belanda yang berdiam di istana tersebut.

Maksud kunjungan beliau untuk melakukan perundingan agar Pemerintah Kolonial Belanda bersedia membuka jalur kereta-api antara Semarang – Surakarta. Suatu jaringan transportasi yang sangat dibutuhkan oleh Kadipaten Mangkunegaran untuk kepentingan ekspor gula hasil produksi pabrik gula milik Mangkunegaran.

Saat mereka sedang berembug di salah satu ruangan Istana Bogor, K.G.P.A.A. Mangkunagoro IV (MN IV) sangat terkesan dengan lampu-lampu gantung nan indah yang gemerlapan menghiasi seluruh ruangan Istana.

Beliau menyatakan pujian tentang keindahan lampu-lampu tersebut kepada Gubernur Jenderal, dan beliau berkeinginan untuk membelinya setelah mendengar bahwa lampu tersebut rencananya akan diganti dengan lampu kristal.

Gubernur Jenderal menjawab dengan disertai kisah tentang mahalnya harga lampu yang didatangkan dari Eropa tersebut. “Tidak masalah!” jawab MN IV.

Menanggapi jawaban tersebut Gubernur Jenderal kembali bertanya: “Seberapa besar rumahmu sehingga ingin memasang lampu-lampu besar yang berjumlah sekitar 70 buah?”.

MN IV menjawab: “Kelak, jika proyek jalur kereta-api ini disetujui  dan setelah anda meletakkan batu pertama stasiun kereta-api di Surakarta, anda dapat mengunjungi Istana saya dan melihat dengan mata-kepala anda sendiri betapa besarnya istana itu”.

Jawaban itu meyakinkan Gubernur Jenderal bahwa Praja Mangkunegaran memang kaya dan memiliki potensi besar sebagai partner dagang Belanda. Persetujuan pembuatan jalur kereta-api Semarang-Surakarta akhirnya ditandatangani.

K.G.P.A.A.Mangkunagoro IV kemudian memerintahkan putra beliau: Mayor Legiun K.P.H. Gondosaputro untuk mengangkut lampu-lampu tersebut ke Surakarta, dan merangkainya di Pendhapa Ageng Mangkunegaran.

Pada tahun berikutnya, Gubernur Jenderal Belanda usai meletakkan batu pertama pembangunan Stasiun Solo-Balapan, dengan terkagum menyaksikan lampu-lampu indah tersebut tergantung di pendhapa, dan memancarkan terangnya.

Dalam beberapa kali renovasi Pendhapa Ageng Mangkunegaran, lampu gantung tentu juga mengalami perawatan dan perbaikan, dalam skala kecil maupun besar. Lampu-Lampu tersebut hingga kini masih tergantung megah dengan pendar yang menerangi pendhapa.

Lampu gantung ini kemudian menjadi model utama dan dibuat banyak replika untuk menghias rumah atau pendhapa para bangsawan/saudagar kaya di Jawa.

Tentang Istana Bogor, Istana Bogor dibangun pada Agustus 1744 dan berbentuk tingkat tiga, pada awalnya merupakan rumah peristirahatan Gustaaf Willem Baron van Imhoff, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 27. Ia memerintah antara tahun 1743 – 1750. Gustaaf sendiri yang membuat sketsa dan membangunnya dari tahun 1745-1750, mencontoh arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat kota Oxford di Inggris.  Perabot dan pernik pernik perabot istana didatangkan dari Eropa, termasuk puluhan lampu gantungnya. [KS]