Soekarno
Soekarno

Saudara-saudara sekalian.

Belum pernah saya begitu gembira, gembira karena setuju seratus persen. Setuju seratus persen dengan apa? Dengan apa yang dikemukakan oleh ananda mahasiswa itu tadi. Ya Saudara­saudara tadi tertawa tebahak-bahak. Dan sekarangpun juga.

Tetapi ananda mahasiswi, — yang namanya saya tidak tahu -, kepada mahasiswa-mahasiswa, pemuda-pemuda mahasiswa, saya berita­hukan, bahwa namanya mahasiswi itu tadi ialah Lina. Ananda Lina berkata: “Marilah kita mengenangkan arwah-arwah kita”.

Nah, itu tepat betul. Ananda Lina tidak berkata, marilah kita mengenangkan arwah-arwah pahlawan-pahlawan kita yang telah mendahului kita ke alam baka. Tidak! Ananda Lina berkata: “Marilah kita mengenangkan arwah-arwah kita”, dan sebagai tadi saya katakan itu tepat sekali.

Artinya, saudara harus mengenang­kan arwahmu, Pak Karno harus mengenangkan arwahnya. Tepat sekali. Barangkali ananda Lina tadi malam mendengar pidato Bapak Presiden. Pada waktu menguji pidato, Bapak Presiden tadi malam berkata, tiap-tiap manusia nanti di akhirat akan ditanya oleh Tuhan akan pimpinannya.

Dikatakan di dalam Kitab Suci, bahwa kita ini semua adalah pemimpin atau penggembala. Dan nanti di akhirat kita semuanya ditanya tentang pimpinan kita. Kita ini semua pemimpin, semua penggembala.

Misalnya Pak Roeslan Abdulgani, di rumah beliau adalah pemimpin atau penggembala keluarganya, dan dia nanti di akhirat akan ditanya: “Hai Roeslan Abdulgani, bagaimana engkau menjalankan pimpinan di dalam keluarga?”

Kecuali itu, Pak Roeslan Abdulgani adalah pemimpin di dalam masyarakat. Tiap-tiap kita ini pemimpin dalam masyarakat. Tukang dokar, pemimpin di dalam kedokarannya. Tukang beca, pemimpin di dalam pembecaannya. Opsir, perwira, pemimpin di dalam ketentaraannya.

Ditanya kita semua ini. Ba­hkan saudari juga pemimpin. Sekarang ini pemimpin di dalam masyarakat, — barangkali ada adik-adik — dan lain-lain ditanya: “Engkau memimpin bagaimana?”. Juga pemimpin-pemimpin di kalangan mahasiswa dan mahasiswi ditanya.

Ananda Lina berkata: “Marilah kita semuanya ingat, bahwa kita nanti ditanya tentang pemimpin”.

Kita semuanya, tidak terkecuali, bukan saja yang sudah gugur; yang masih hidup sekarang ini nanti ditanya akan kepemimpinan­nya. Pokoknya akan ditanya antara lain: “Engkau di dalam masyarakat tatkala engkau hidup, apa yang engkau telah perbuat; apakah engkau berbuat kebajikan untuk masyarakat, ataukah telah membuat jahat untuk masyarakat?”

Oleh karena itu, maka ucapan saudara Lina itu tepat sekali. Dan kok kebenaran Gajah Mada yang punya mahasiswi begitu itu.

Kemudian, waktu saya melihat ananda Lina memimpin Indo­nesia Raya, — meskipun ada selipnya sedikit, oleh karena ulang­annya cuma satu kali, — tatkala saya melihat caranya memimpin, saya ingat kepada Demokrasi Terpimpin yang harus saya kuliah­kan. Sebab pernah ditanya kepada saya: “Pak, Demokrasi Ter­pimpin itu apa toh Pak?”

Saya bicara satu jam dua jam. Terang? Belum! Wah, bagaimana menerangkan ini.

Lantas saya menerangkan hal satu konsert dengan ia punya dirigent yang konsert itu terdiri daripada banyak orang, Yang satu memegang biola, yang satu memegang gitar, yang satu memegang trombone, yang satu memegang trompet, yang satu memegang ting — ting — ting, yang satu memegang jidor, dan lain-lain sebagainya.

Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada satu lembaran kertas, — apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya noot.

Misalnya, lagu “RlauweDonau” oleh Johann Strauss, sudah nyata lagunya itu dari noot ini. Kemudian dirigent, pemimpin, memimpin orkes itu yang terdiri daripada puluhan bahkan ratusan orang; keluarlah satu suara yang merdu yang berirama, yang harmonis, melukiskan lagu waltz “Blauwe Donau” buatan Strauss.

Kertas noot ini, di dalam Demokrasi Terpimpin inilah blue­print, pola, pola pembangunan yang dibuat oleh Dewan Perancang Nasional, disingkat DPN, tetapi yang oleh Bapak Prof. Mr. Dr. Haji Muhammad Yamin disingkatkan, dengan cara yang romantis sekali, disebutkan DEPERNAS.

Pola yang dibuat oleh Depernas ini, itulah kertas nootnya. Penyelenggara dari-pada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenaga­tenaga fungsionil, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai yang tertulis di dalam Undang-undang pembentukan Depernas.

Lha, ananda Lina tadi, juga begitu Saudara-saudara, dengan sangat mahirnya memimpin.

Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur se­mua memberikan tenaganya. Insinyur-insinyur memberi tena­ganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaga-nya, ahli­ahli dagang memberi tenaganya, ahli-ahli pertahanan memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda Lina, bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi so­praan, seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-betul bergelora, tetapi se­muanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu “Indonesia Raya” yang membangkitkan keharuan hati.

Inilah gambar daripada demokrasi terpimpin di dalam esensinya. Contoh ini saya berikan kepada kawan yang bertanya kepada saya: “Apa Bung, demokrasi terpimpin itu? Dan yang sesudah dua jam saya bicara sampai meniren saya punya mulut ini, saya tanya: “Sudah mengerti?” “Belum”.

Kemudian saya beri contoh hal konsert dengan ia punya kertas noot dan dirigent, sekaligus ia mengerti.

Saudara-saudara, saya di sini diminta memberi kuliah tentang keadilan sosial dan demokrasi terpimpin. Mulai dengan pertanya­an: “Apa toh Bung, keadilan sosial itu?”

Kok perlu-perlunya ditanyakan apakah keadilan sosial itu; padahal semua orang sebenarnya di dalam kalbunya sudah mengerti. Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan.

Tidak ada — sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum beberapa bulan yang lalu — exploitation de l’homme par 1’homme. Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”.

Jelas, nggak perlu diterangkan lagi. Di dalam ilmu ilmiah, di dalam bidang ilmiah timbul pertanyaan, bagaimana mencapai atau terjadinya masyarakat yang demikian itu.

Nah, di sini ada bermacam-macam pendapat. Ada orang yang berkata — dan orang ini mendasarkan kepada teori yang biasa dinamakan teori evolusi, evolutie theorie — yang menurut evolu­tie theorie ini, masyarakat keadilan sosial atau katakanlah masyarakat sosialis datang lambat laun dengan sendirinya. Dalam bahasa Jermannya “Sozialismus ist eine historische Not­wendigkeit”.

Suatu keharusan historis, historische Notwendigkeit. Mau tidak mau dengan sendirinya masyarakat bertumbuh, ber-kembang, berbangkit berevolusi ke arah sosialisme.

Oleh karena itu, dikatakan “Sozialismus ist eine historische Notwendigkeit”. Garis besar daripada evolutie theorie adalah se­bagai berikut: bahwa dunia manusia ini tidak selamanya begini. Bahwa dunia manusia itu bertumbuh, berevolusi, bahwa manusia zaman sekarang lain sekali daripada manusia zaman dulu.

Bahwa zaman dahulu manusia itu masih biadab, berdiam di hutan, di rimba-rimba, kemudian lambat laun, bertumbuh, bertumbuh ke­cerdasannya, berevolusi kecerdasannya, hingga akhirnya terca­painya ujung kecerdasan dan puncak evolusi itu yang berupa satu masyarakat sosialisme.

Dikatakan: fase pertama daripada evolutie theorie ini, manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba. Cara pencaharian hidupnya ialah dengan memburu, mencari ikan di sungai atau di laut. Cara yang boleh dikatakan sangat terbe­lakang, prehistoris, cara amat terbelakang.

Dan nanti saya terangkan di dalam pertumbuhan inipun berubah akal pikiran, pandangan-pandangan daripada manusia itu. Akal pikiran adalah pencerminan, refleksi daripada cara manusia mencari makan dan minum.

Mula-mula mencari makan dan minum dengan memburu dan mencari ikan, berdiam di gua-gua, di rimba-rimba, akal pikirannya sesuai dengan keadaan yang demikian itu. Pernah saya kuliahkan mengenai cara religi, bahkan bentuk religinya sesuai dengan cara hidup yang demikian itu.

Bagi manusia di tingkat evolusi yang demikian, yaitu orang yang hidup dalam rimba raya, di dalam gua-gua, mencari ikan, berburu, maka ia punya tempat persemba­han lain daripada tempat persembahan kita sekarang.

Manakala kita sekarang mengenal apa yang dinamakan Tuhan, atau Allah atau Yehovah, atau God, dulu dalam tingkat evolusi sedemikian itu, yang disembah ialah petir, ialah awan yang berarak, ialah sungai yang dahsyat mengalir, ialah angin taufan, ialah pohon rindang yang memberi perlindungan, ialah batu besar yang di belakangnya ia ber-sembunyi.

Ini mereka punya Tuhan. Tuhannya berupa petir, gcledek, hujan, angin, awan, pohon, lautan sungai dan lain-lain sebagainya. Di dalam tingkat kehidupan demikian itu misalnya rakyat Skandinavia zaman dahulu, — ini pernah saya ceritakan di dalam pidato saya tatkala memperingati Isyra Mi’radj di Surabaya, — tatkala mereka masih hidup di dalam hutan dan rimba-rimba, zamannya Germanen tijd, yang mereka sembah antara lain ialah Wodan atau Geledek dan Guntur yang mereka beri nama Thor.

Jikalau rnereka mendengar geluduk yang gemeluduk, di dalam angan-angan mereka, mereka melihat raja Thor mengendarai ia punya kendaraan di langit. Rodanya terbuat daripada sinar yang bercahaya dan tiap-tiap kali roda itu mengenai awan melom­pat dari satu puncak awan ke puncak awan yang lain, keluariah suara geluduk yang dahsyat.

Orang Skandinavia zaman dahulu, jikalau mendengar akan geluduk dengan mata yang dahsyat, mereka berkata satu sama lain: “Thor lewat. Thor lewat”. Sama dengan orang Yogya. Orang Yogya itu kalau mendengar angin ribut: “lampor, lampor”. Tahu nggak lampor? Ya, ada kereta di langit lewat. Malah ada yang keluar dengan lampu, lampunya dicantelkan di muka rumah. “Mas, kok pasang lampu”. “Lampor lewat”.

Ini adalah tingkat kehidupan manusia menurut evolutie theo­rie yang pertama. Kemudian manusia berevolusi, akan pikirannya makin lama makin cerdas, meningkat ke tingkat yang kedua, terutama sekali di tanah-tanah, di negeri-negeri yang banyak pe­rumputan.

Manusia lantas pindah kepada kehidupan berternak. Evolusioner sangat logis, bahwa daripada memburu di hutan lam­bat laun menternak, misalnya memburu rusa, memburu kambing, memburu sapi, — sapi zaman dahulu itu di hutan, kerbau zaman dahulu itu di hutan, seperti rusa zaman sekarang di hutan. Memburu kerbau, memburu sapi, akhirnya menangkap juga anak sapi, atau anak kambing.

Mereka belajar: ini bisa dipelihara. Lambat laun lantas timbul pikiran: daripada memburu menghadapi bahaya yang begitu banyak, mungkin disambar oleh Thor ini, atau kelelep di dalam sungai, lebih baik ini saja: mengumpulkan anak kambing atau anak sapi. Dipelihara, berkembang biak, menjadi apa yang dinamakan ternak. Berevolusilah ia punya hidup ke arah peternakan. Dan dengan itu berevolusi pula ia punya alam pikiran, bahkan berevolusi ia punya pengertian akan Tuhan.

Tadi yang ditakuti ialah Thor atau menyembah pohon, atau menyembah batu, seperti tersebut di dalam Baghawat Gita. Baghawat Gita itu ajarannya Sri Kresna kepada Arjuna di dalam peperangan Bratayuda. Esensi daripada baghawat Gita ialah bah­wa Kresna menceritakan hal ini: Tuhan itu rupa-rupa macammnya.

Nah ini tadi berupa Thor, kemudian lagi berpindah, berpindah rupa. Kresna berkata kepada arjuna: Aku, yaitu Tuhan yang di­maksud dengan perkataan Aku, Aku adalah di dalam geloranya lautan yang membanting di pantai.

Fase pertama Aku adalah di dalam sepoinya angin yang meniup; fase pertama Aku adalah di dalam rindangnya pohon yang memberi perlindungan padamu; Aku adalah di dalam batu di muka mana si — orang — biadab menekukkan lutut; Aku adalah di dalam harumnya bunga; Aku adalah di dalam api; Aku adalah di dalam panasnya api, Aku adalah di dalam bulan pernama; Aku adalah di dalam sinarnya bulan purnama; Aku adalah di senyum­nya gadis yang manis. Aku memenuhi semesta alam ini.

Demikian pula manusia sebagai tadi saya katakan yang di­sembah itu selalu berubah-ubah. Thor, beringin, batu, lautan, sungai dan lain-lain di dalam tingkat pertama menjadi tempat persembahan. Tatkala manusia hidup dari peternakan berpin­dahlah ia punya “image of worship”, Inggerisnya “image of worship” daripada pohon dan petir, angin ribut dan lautan dan sungai kepada binatang-binatang.

Oleh karena ia hidup dari binatang, ia mengagungkan, memuliakan, bahkan menyembah binatang. menyembah sapi, yang restannya masih ada kita lihat di Indonesia sekarang. Menyembah gajah, menyembah buaya, menyembah rusa dan lain-lain sebagainya. Berpindahlah lambat laun manusia ini kepada fase evolusi yang ketiga. Fase evolusi ketiga ialah: dari peternakan manusia hidup, belajar hidup dari pertanian. Juga logis.

Manusia dari asal mulanya sudah omnivoor; omnivoor artinya hidup dari segala macam makanan. Herbovoor hanya hidup dari tumbuh-tumbuhan, seperti sapi. Carnovoor hanya hidup dari da­ging-daging, seperti harimau. Manusia adalah omnivoor; makan segala; makan daging, makan ikan tetapi juga makan tumbuh-tum­buhan.

Pada waktu di dalam fase pertama dia sudah makan tum­buh-tumbuhan. Juga oleh karena ia adalah omnivoor. Di samping makan daging, ia melihat ada jagung, ia makan jagung. Ia melihat ada padi, ia makan padi, ia melihat ada jipang, ia makan jipang, ia melihat ada labu, ia makan labu. Ia melihat ada buah-buahan di pohon, ia makan buah-buahan di pohon. Ia melihat ada lem­bayung, ia makan lembayung.

Lambat laun di dalam fase yang kedua itu, ia harus memberi isi perut, bukan saja hanya perutnya sendiri, tetapi isi perut ternaknya, dan ia memberi isi perut ternak itu, rumput. Tetapi juga mencarikan rumput atau daun-daunan untuk ternak itu, sebagai­mana orang zaman sekarang juga masih mencari makanan bagi ternaknya.

Lambat laun ia belajar, bahwa rumbuh-tumbuhan ini bisa ditanam. Padi bisa ditanam, jagung bisa ditanam dan selalu hasilnya lebih baik daripada hidup liar. Akhirnya ia belajar, lha, tidak perlu ternak-ternakan dan lain sebagainya itu; ini lebih penting. Lebih gampang dan lebih memuaskan hidup daripada jagung, hidup daripada padi.

Oleh karena itu: Ayo sekarang tanam padi, tanam padi, tanam jagung, tanam jagung.

Fase ketiga daripada perikehidupannya ialah ke bidang per­tanian. Dan pernah saya tuliskan di dalam kitab saya “Sarinah”, di sini kita wajib memberi hormat kepada wanita. Wanitalah “de ontdekster van de landbouw” yang pertama.

Wanitalah yang per­tama kali menemukan ilmu pertanian ini. Bukanlah laki-laki. Tetapi Wanita! Sebab tatkala laki-laki berburu, tatkala laki-laki mencari ikan di laut atau di sungai, tatkala laki-laki menggem­balakan ia punya ternak di dalam fase yang kedua, sebagian daripada wanita itu tinggal di tempat kediamannya yang belum berupa rumah, masih berupa hutan, gua.

Tetapi wanita tinggal di situ, oleh karena ia tidak bisa ikut selalu memburu tidak bisa selalu ikut mencari ikan, tidak bisa selalu ikut menggembala oleh karena wanita kadang-kadang hamil dan lain-lain sebagainya.

Wanita harus memelihara anak, menggendong anak meskipun belum de­ngan selendang seperti zaman sekarang. Dengan anak merah ini ia tidak bisa ikut memburu, tidak bisa ikut menangkap ikan, tidak bisa ikut menggembala ternaknya jauh daripada tempat yang menj adi perlin- dungan baginya. Dia tinggal di tempat. Dan tatkala oleh karena ia tinggal di tempat itulah, ia pada waktu menganggur bercocok tanam. Anaknva dibaringkan somewhere. Ditutupi daun-daun dan di atas daun-daun yang lunak, somewhere, ia cokel-cokel tanah, dan ia melihat; she, butiran pada kalau di­tanamkan tumbuh, kemudian bisa berbuah.

He, butiran jagung kalau ditanamkan tumbuh, kemudian bisa berbuah. Ia lantas se­macam zich specialiseren, specialized herself, di dalam hal ini, sehingga dialah yang menjadi promotor daripada pertanian. Oleh karena itu saya katakan: wanita adalah “de eerste ontdekster van de landbouw”, pendapat pertanian yang pertama. Kalau tidak salah ini pernah saya kuliahkan pula di sini.

Demikian pula wanitalah yang membuat kebudayaan yang pertama. “De ontdekster van cultuur”, wanita. Bukan laki-laki! Wanita yang pertama-tama harus memberi perlindungan kepada babynya. Timbul pikirannya: aduh, kasihan anakku ini; kalau hujan basah, kalau ada matahari ia kering. kasihan. Dengan ran­ting-ranting ia membuat semacam atap di atas baby itu, ditutup dengan daun-daunan asal permulaan daripada pengertian rumah.

Wanita pertama-tama membuat rumah. Wanita yang melihat: “kasihan babynya, dingin kedinginan, hujan basah” timbul pikiran: Kalau kulit binatang, ia sambungkan satu sama lain, dengan dikasih lubang, dengan akar kasih lubang manjahit. Pertama kali saudara-saudara. Satu bagian kulit binatang dengan lain bagian kulit binatang, dihubungkan satu sama lain; dengan duri ia bikin lubang, dan dengan serat ataukah dengan akar yang halus ia sambungkan dua hal ini.

Ini sudah permulaan daripada kultur. Permulaan daripada kebudayaan. Kultur berpakaian wanita; de eerste ontdekster, ontdekster van cultuur. Wanita pula yang dari ternak itu harus mengumpulkan air susu. Bukan saja makan dagingnya, susupun berharga sekali buat ia minum, buat ia persembahkan kepada suami, — sekarang ini wanita kadang­kadang tidak mau persembahkan apa-apa kepada suaminya -, buat diberikan kepada babynya.

Bagaimana ia mengumpulkan susu? Sapinya banyak susunya atau kerbaunya banyak susunya, kambingnya banyak susunya. Ini persetujuan barang kali. Ia timbul pikiran di dalam otaknya untuk membikin wadah buat susu, ia buatnya dari tanah liat. Dari tanah liat ia bikin buat pertama kali periuk. Ia tahu tanah liat itu kok bisa, kalau dibegitu-begitukan menjadi wadah dan wadah yang basah ini dikering-kan. Apalagi kalau dibakar. Kemudian ini penjadi periuk, bisa menjadi tempat susu. Jadi jelas benarlah perkataan saya, bahwa wanita adalah “de eerste ontdekster van cultuur”.

Di dalam tingkat hidup yang ketiga ini yang manusia hidup daripada pertanian, terutama sekali, pindah lagi ia punya Godheid, pindah lagi ia punya tempat persembahan, — tadinya guntur, geledek, pohon, air dan lain-lain, pindah kepada binatang-bi­natang, — sekarang pindah kepada suatu tempat permohonan. Padi di tanam. tetapi kalau hujan. Kalau tidak hujan, kering. Ia mempunyai tempat pemohonan: mohon supaya sang padi ini tumbuh dengan selamat dan baik.

Ia mulai memberi bentuk antro­pomorf kepada ia punya Tuhan. Antropomorf artinya berbentuk manusia. Tadinya berbentuk, terutama sekali, sebagai Thor itu manusia, tetapi kebanyakan masih berbentuk pohon, berbentuk batu, laut dan lain-lain sebagainya. Berbentuk binatang, jelas. Sekarang antropomorf sekali. Dewanya atau dewinya manusia.

Di sini timbul begrip Dewi Sri, kataku tempo hari. Antropomorf.. puteri cantik yang bernama Dewi Sri, yang memberi perlindungan kepada pertanian itu. Di tanah Pasundan Saripohaci. Saripo­hacipun — kalau ditanya bagaimana rupanya Saripohaci? Masya Allah, masya Allah, cantiknya bukan main! Malam-malam di dalam sinar bulan purnama ia turun dari kayangan. Melewati sinar bulan itu. Ia lantas melihat sawah-sawah dan ladang-ladang ini. Ia memberi restu kepada sawah-sawah dan ladang-ladang ini. Antro­pomorf. Tetapi pusat ia punya persembahan manusia itu, kesitulah.

Pindah lagi evolusinya.

Evolusi yang keempat, ialah manusia, oleh karena bercocok tanam, memerlukan alat. Bercocok tanam tidak bisa dengan tangan saja dikorek-korek. Memerlukan alat-alat untuk garap tanah. Pi­kiran manusia lantas membuat alat. Membuat semacam linggis, dari batu atau dari kayu. Membuat semacam pacul, membuat semacam garu. Membuat semacam alat pengangkutan, yang men­gangkut padi-padi yang banyak itu dari sini ke sana.

Mula-mula diseret saja, tetapi lambat laun, lambat laun, timbul ia punya pengalaman: kalau bukan diseret, tetapi dengan barang yang ge­melinding, bunder, lebih mudah. Timbullah akal manusia untuk membuat alat. Alat pertanian, alat membuat periuk-periuk, alat membuat rumah-rumah. Rumah itu banyak sekali keperluannya. Membuat tatah untuk mengerjakan kayunya, harus tali-temali. Malahan timbul pikiran: harus dibor, harus dengan pantek, harus dengan ini, harus dengan itu. Alat untuk membuat pakaian yang tadinya dari kulit binatang yang satu dihubungkan dengan kulit binatang yang lain.

Lambat laun timbul pikiran, pikiran membuat alat, membuat alat. Akhirnya timbul fase yang keempat, yaitu fase manusia hidup di sampingnya bercocok tanam dengan yang di­namakan kerajinan tangan, nijverheid, industri. Belum industri besar, tetapi huis-industrie, industri kecil, industri rumah. Dan di dalam alam yang demikian ini pikirannyapun lain, tempat persem­bahannyapun lain.

Tadi di dalam fase yang ketiga antropomorf, jelas dikata-kan puterinya cantiknya bukan main! Malahan bisa digambar-kan; rambutnya “ngandan-andan kaya kembang bakung”. Ciptaannya itu jelas kelihatan, Antropomorf. Kulitnya mingir-mingir, bibirnya seperti gambir sinigar, lehernya seperti lungnya jagung mantul-mentul, lambehannya seperti macan luwe. Jelas kelihatan. Tetapi di dalam fase yang keempat, lmbat laun hilang gambar antropomorf ini.

Lambat laun ia punya Tuhan menjadi Tuhan yang gaib. Gaib artinya tidak bisadilihat, tidak bisa diraba, tidak bisa dicium, tidak bisa dikenali dengan panca indera. Dilihat tidak kelihatan, didengar tidak kedengaran, dijilat tidak terasa dipegang tidak bisa, dicium tidak ada baunya. Hilang ia punya sifat antropomorf. Ia lantas menggaib, hilang, ialah teru­tama sekali oleh karena manusia di sini cara hidupnya tergantung dari ia punya akal, ketajaman ia punya otak, akalnya, akal memikir mencari alat, alat, alat.

Bagaimana bisa membikin alat supaya membuat kain selekas-lekasnya; ini harus ada alat pemintal kapas, Sesudah kapas ini dipintal menjadi benang, harus ada alat untuk menenun; alat membikin gerobak, alat membikin lobang di dalam kayu, yaitu bor.

Alat ini, alat itu. Alat, alat, pikir, pikir. Akal pikiran manusia­lah menduduki tempat yang pertama di dalam ia punya hidup. Ia punya Tuhan juga menjadi gaib. Kalau ditanya bagaimana Tuhanmu? Kelihatankah? Tidak. Bisa engkau bau? Tidak. Bisa engkau raha? Tidak. Bisa engkau lihat? Tidak. Bisa engkau de­ngar? Tidak. Di mana Tuhanmu? Tidak kclihatan. Gaib, sebagaimana juga akal manusia adalah gaib. Saudara Roeslan Abdulgani tempo hari berkata di dalam salah satu prasaran, ada yang me ngatakan manusia itu fosfor. Ini ucapan dari Feurbach. la berkata:

“Zonder fosfor, geen mens, geen gedachte, zonder fosfor geen gedachte”. Tanpa fosfor tidak ada pikiran. Oleh karena ia berpen­dapat, pikiran itu timbulnya daripada otak yang makanannya terutama sekali fosfor. Jadi kalau tidak ada fosfor, tidak ada pikiran, tidak ada ini, tidak ada itu. Fosfor pokok daripada segala hidup, terutama sekali hidup mental, hidup spirituil, hidup pikiran, hidup yang di luar daripada kepanca-inderaan.

Oleh karena manusia di dalam fase keempat, terutama sekali tergantung daripada kecerdasan otaknya, ia punya Ketuhanan menjadi gaib, abstrak, tidak lagi riil.

Ini di dalam fase keempat, demikian.

Fase keempat bertambah maju lagi menurut hukum evolusi, menjadi fase kelima, yaitu fase yang kita namakan fase industrial­isme sekarang ini. Kerajinan di rumah membuat alat-alat, bertum­buh, ontwikkelt zich, developed itself, ke dalam satu kesempurnaan teknologi, ke dalam satu kesempurnaan ilmu teknik, sehingga jadilah apa yang dinamakan industrialisme, yang di dalam zaman dekat ini dikuasai oleh paham-paham kapitalisme. Industrialisme yang membuat alat-alat dan kebutuhan hidup manusia dengan mesin. Industrialisme yang mengenal lokomotif. Industrialisme yang mengenal kapal-kapal udara. Industrialisme yang mengenal kapal-kapal laut. Industrialisme yang mengenal pesawat listrik. Industrialisme yang mengenal radio. Industrial­isme yang mengenal alat-alat peperangan yang di luar kekuasaan manusia. Industrialisme yang boleh dikatakan menjadi alat hidup manusia sama sekali.

Di dalam fase yang demikian ini, apa yang tadi dinamakan Tuhan, yang abstrak, — di dalam fase keernpat orang masih berkata, adakah Tuhan? Ada. Rupanya bagaimana? Tidak tahu. Rupanya saya tidak bisa mengatakan. Dilihat tidak bisa, dicium tidak ada, didengar tidak ada, diraba tidak ada, dijilat tidak rasa. Di luar panca indera, tetapi Dia ada. Ini fase keempat.

Fase kelima. Oleh karena manusia sudah hidup di dalam alam industrialisme yang ia kuasa membikin segala hal, membikin apa saja yang ia tidak bisa, lha mbok membikin pesawat yang bisa mengirimkan suara dari sini ke Amerika, ia bisa. Alam yang demikian itu, yang merasa dirinya kuasa, kuasa atas segala hal; yang di sini “de ikheid”, ego, aku, -ego dengan aku etymologis sama — aku yang berkuasa, aku bercakrawarti. Aku kuasa mem­buat suara. Aku kuasa membuat sinar yang terang. Aku berkuasa membuat petir. Tempo hari saya ceritakan bahwa Nocolai Tesla bisa membuat petir, dengan mengadakan dua pool yang ia isi voltage bertrilyun-trilyun volt. Kemudian ia lepaskan. Di antara dua pool ini mencetus, menggeledeklah petir. Ia berkata: “Aku bisa membuat petir!”

Orang bertanya mana Tuhanmu? He, Tuhan, tidak ada. Tuhan di sini tidak ada. Tuhan ialah aku. Aku bisa membuat suara, aku bisa membuat petir, aku bisa membuat cahaya, aku bisa membuat segala hal yang diperlukan. Aku, aku, aku! Di sinilah timbul, apa yang orang namakan atheisme, sebagai Feuerbach berkata: “Akh, nonsens dengan agama. Nonsens dengan Tuhan. Fosfor adalah pokok daripada segala gedachte”.

Saya ulangi tekanan kata: Alam industrialisme yang di dalam saat-saat belakang kita yang dekat ini, dikuasai oleh paham kapitalisme. Itu merupakan satu kuliah tersendiri. Faham kapitalisme menguasai industrialisme ini. Mempergunakan industrialisme ini untuk membuat kayanya satu bagian daripada manusia, dan mem­buat sengsaranya sebagian besar daripada manusia. Sistem exploi­tasi daripada kapitalisme mem-pergunakan industrialisme ini. Di dalam alam keadilan sosial, alam isdustrialisme ini juga dipergunakan. Jangan mengira bahwa keadilan sosial itu mempergunakan alat-alat yang usang dan kuno, bahwa kita dengan alam keadilan sosial ini kembali kepada hidup di dalam rimba atau di dalam gua, bahwa kita di dalam alam keadilan sosial itu kembali kepada hidup hanya daripada ternak saja, atau hanya pada pertanian saja. Atau di dalam alam keadilan sosial itu hanya duduk di rumah, membuat kikir, membuat palu, membuat ini, membuat itu, membuat industri kecil perumahan. Tidak.

Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial ialah satu masyarakat yang adil dan makrnur. Saya tekankan adil dan makmur, makmur dan adil, dengan mempergunakan alat-alat industri, alat teknologi yang sangat modern. Yang membuat celaka manusia bukan mesinnya. Yang membuat celaka manusia ialah caranya kita mempergunakan mesin. Mesin yang tempo hari saya katakan oleh Mahatnla Gandhi dikatakan “devils work”, ia tidak senang kepada mesin, benci kepada mesin. Benci kepada kapal udara. Benci kepada lokomotif. Benci kepada derunya mesin-mesin yang dahsyat. Mahatma Gandhi lebih senang kepada hidup “tentrem, adem ayem, adil, siniram banyu wayu sewindu lawase”. Mahatma gandhi tidak menyenangi indus­trialisme modern. Sebaliknya kita senang kepada industrialisme modern, asal tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme. Tetapi indus­trialisme modern itu kita pergunakan untuk kepentingan umum. Mesin kita pergunakan untuk kepentingan umum. Segala alat-alat modern kita pergunakan untuk kepentingan umum.

Menurut evolutie-theorie, maka sebagai tadi saya katakan, “Sozialismus ist eine historische Norwendigkeit”. Menurut sebagian daripada evolutie-theorie ini, sudah dengan sendirinya manusia itu hidup daripada berburu dan mencari ikan, ke perter­nakan, ke pertanian, ke perindustrian rumah, ke industrieel kapi­talisme, atau kapitalistis industrialisme; nanti dengan sendirinya tumbuh daripada kapitalis industrialisme atau industrieel kapital­isme ini, sosialisme, tumbuh masyarakat adil dan makmur. Malah­an orang daripada pihak ini mengatakan: “Tidak bisa engkau lewati fase ini, fase industrieel kapitalisme, fase kapitalistis indus­trialisme ini; tidak bisa engkau lewati. Malahan ia berkata fase industrieel kapitalisme atau kapitalistie industrialisme ini adalah tempat latihan, tempat pengalaman.

Manusia tidak bisa sekonyong-konyong menjadi sosialis, katanya. Manusia tidak bisa sekonyong-konyong mem-pergunakan industrialisme itu untuk kebahagiaan semuanya. Manusia tidak sekonyong-konyong bisa mempergunakan industrialisme itu sebagai socialistis industrial­isme. Tetapi manusia itu harus mendapat latihan berpuluh-puluh tahun. Cara mempergunakan mesin-mesin, menjalankan pesawat­pesawat, cara mengetahui management. Ini terutama sekali di­katakan: “Management ini, wah, ini yang paling penting”. Tidak bisa orang sekonyong-konyong tahu management, sekonyong­konyong bisa. Meskipun diberi mesin seribu, dua ribu, empat ribu, lima ribu, sepuluh ribu, sekonyong-konyong ia bisa membikin satu masyarakat adil dan makmur, sosialistis. Satu pendirian Saudara-­saudara, ia katakan: “Ya, ini dengan sendirinya tumbuh. Reaksi daripada kaum yang di dalam sistem kapitalisme ditindas”.

Ingat tempo hari saya memberi kuliah di sini, bahwa di seluruh sejarah manusia itu selalu ada pertentangan. Selalu ada klassen­strijd. Selalu ada pertentangan kelas. Dulu di dalam zaman feodal, pertentangan kelas antara tuan feodal dengan rakyat yang difeo­dali. Di dalam alam kapitalisme juga ada pertentangan kelas antara kelas kapitalis dengan kelas proletar.

Dengan sendirinya maka kesadaran kelas, klassebewustzijn, kesadaran kelas, makin lama makin tumbuh, makin lama makin tumbuh, sehingga makin bertumbuhnya klassebewustijn daripada kelas proletar ini lama-lama zich organiseren di dalam kekuatan­kekuatan yang berupa vakvereniging, kumpulan-kumpulan, seri­kat-serikat, sekerja dan lain-lain sebagainya. Sehingga kekuasaan daripada kaum kapitalis ini lambat laun dirckoti, dikrikiti, digro­goti. Tempo hari saya sebutkan, ini adalah uithollingstheorie. Dengan sendirinya kapitalisme itu uitgehold. Lama-lama dengan sendirinya kapitalisme ini yang uitgehold, tergerogoti, makin lama makin mengkerut, makin lama makin mengkeret. Dengan sendiri­nya timbullah satu masyarakat sosialisme.

Ini yang dinamakan evolutie-theorie di dalam uiterste konse­kwentie. Tanpa perjuangan, boleh dikatakan. Dengan sendirinya “est ist eind historische Notwendigkeit”. Sudah, kerja saja biasa, ambillah pengalaman. Dengan sendirinya nanti, nanti, nanti. Dengan sendirinya nanti toh datang alam sosialisme.

Di dalam kuliah saya yang akhir di Yogyakarta, saya sudah katakan bahwa ada teori lain, yang menentang uithollings-theorie ini. Teori yang berkata: kapitalisme tidak bisa mengkeret dengan sendirinya, kapitalisme tidak bisa gugur dengan sendirinya; tidak bisa. Tetapi pada satu saat kapitalisme ini hanya dapat digugurkan. Digugurkan dengan tenaganya kaum proletar yang terhimpun di dalam satu massa-aksi yang hebat. Digugurkan dengan tenaganya kaum proletar yang merebut kekuasaan daripada tangannya kaum kapitalisme itu. Kemudian diadakan satu sistem oleh kaum prole­tar sendiri untuk mempergunakan alat-alat industrialisme yang rnodern ini bagi kepentingan kaum proletar.

Inilah yang tempo hari saya katakan kepada Saudara-saudara, yang dinamakan “revolutionaire theorie van de directe actie”. Teori revolusioner daripada aksi direk, aksi langsung. Bukan menunggu terjadinya sosialisme sebagai satu “historische Nol­wendigkeit”. Tidak! Tetapi menyusun tenaga, menggempur, menggempur kapitalisme ini. Akhirnya kapitalisme ini gugur, dan hanya kaum proletar yang berkuasa. Siapa yang tidak proletar tidak boleh ikut campur di dalam urusan ketatanegaraan. Di dalam tata ekonomipun, hanya kaum proletar yang mengurus, mengatur, agar supaya alat produksi yang modern ini dipergunakan untuk kepentingan buruh, kaum proletar, tanpa exploitation de 1’homme par l’homme.

Ini dinamakan “theorie van directe actie”. Di dalam penyeleng-garaannya ialah diktatur proletar “dictatuur van het proletariaat”. Kuasa kaum proletar sendiri menggunakan alat-alat yang modern untuk kepentingan seluruh kaum proletar. Sosialisme proletar “het proletarisch socialisme”.

Berhadapan dengan theorie ini lambat laun di dalam abad ke-20 atau lebih tegas permulaan abad ke-20, timbullah suara­suara: “Nee, nee, sosialisme adalah benar suatu unsur Not­wendigkeit”. Tetapi itu tidak berarti bahwa dus sosialisme itu jatuh dari langit seperti air embun jatuh dari langit di waktu malam. Sosialisme harus diperjuangkan, meskipun ia seribu kali Not­wendigkeit, meskipun ia seribu kali “historische Notwendigkeit”. Ia hanyalah menjadi satu realiteit dengan perjuangan; satu. Nomer dua, tidak perlu manusia itu, fase pertama dulu, fase kedua dulu, fase ketiga dulu, fase keempat dulu, fase kelima dulu, baru sosialisme. Tidak perlu.

Ini adalah teori baru yang timbul pada permulaan abad ke-20. Pada permulaan abad ke-20 sebetulnya gerakan kaum buruh di Eropa, yang saudara-saudara mengerti bahwa teori-teori ini ter­utama sekali timbul di dalam gerakan kaum buruh, orang belum mempunyai pengalaman. Pada permulaan abad ke-20 atau akhir abad ke-19 belum ada contoh, bahwa sesuatu bangsa mencoba menyelenggarakan sosialisme. Belum ada. Saudara mengetahui, bahwa negara sosialis yang pertama terjadi di dalam tahun 1917 di Sovyet Uni yang sebagai tempo hari saya katakan, tidak disangka-sangka oleh ahli sejarah, terutama sekali ahli sejarah peperangan dunia pertama. Peperangan dunia pertama mempunyai war-aim, mengalahkan satu pihak, ini mesti kalah, ini mesti menang. Jebul yang timbul dari peperangan dunia yang pertama, bukan menangnya ini. bukan gugurnya ini, tetapi timbul suatu hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, yaitu timbul berdirinya negara sosialis di Rusia yang bernama Sovyet Uni. Hingga tempo hari saya sitirkan salah seorang sosialis yang berkata: “War is strange alchemist”. Apa yang sebenarnya hendak dibuat tidak jadi.

Tetapi muncullah suatu hal yang sama sekali tidak tersangka­sangka. Perang dunia pertama menghasilkan barang yang tidak tersangka-sangka yaitu terjadinya negara sosialis di Sovyet Uni.

Pada permulaan abad ke-20 dan akhir abad ke-19 manusia belum melihat contoh penyelenggaraan sosialisme, sebagai sekarang orang melihat contoh penyelenggaraan sosialisme. “in al zijn schakeringen”. Saudara-saudara mengetahui, bahwa sesudah peperangan dunia yang kedua juga timbul hal yang tidak tersangka-sangka.

Peperangan dunia kedua yang kancah-kancahnya berkobar­kobar, bernyala-nyala, berapi-api di seluruh dunia, dimaksud-kan untuk menimbulkan kemenangan bagi “Allied Forces”, negara­negara sekutu. Hancur leburnya negara-negara yang tergabung di dalam fasisme, Jerman, Italia, Jepang. Apa yang terjadi sebagai peneloran dari peperangan dunia yang kedua ini? Juga, sekali lagi “War is a strange alchemist”. Dengan tidak tersangka-sangka timbul negara-negara sosialis yang baru. Sampai sekarang kalau tidak salah terjadi 15 negara sosialis baru di dunia ini, sebagai akibat peperangan dunia yang kedua, sehingga manusia sekarang, lain daripada manusia dulu. Manusia sekarang lain daripada manusia pada permulaan abad ke-20, lain daripada manusia di dalam akhir abad ke-19. Manusia sekarang melihat beberapa contoh “in al zijn schakeringen”, ada extreem, ada yang setengah extreem, ada yang lunak, tetapi contoh penyeleng-garaan sosial­isme, di dalam segala bentuk, “in al zijn schakeringen”.

Pada akhir abad ke-19, permulaan abad ke-20 belum ada sesuatu contoh, sehingga pada waktu itu terutama sekali, sebagian besar dari kaum sosialis, mengikuti teori evolusi, “in al zijn konskwenties” itu tadi, “Sozialismus ist eine historische Notwendigkeit”, Sosialisme nanti datang sendiri. Ya, biarlah kita mengalami alam kapital-isme ini, sebagai alam latihan, alam pengalaman, alam peng-alaman mem­pergunakan alat-alat modern. Alam pengalaman hal management, alam untuk mendidik social bewustzijn sedalam-dalamnya di dalam kalangan kaum proletar. Ini adalah satu fase yang perlu. Dikatakan: Perlu! Juga satu fase historisch Notwendegkeit.

Tanpa fase lima ini, tidak bisa engkau mengadakan sosialisme. Tidak bisa engkau “ujung-ujung” dari kelas tiga naik kelas tujuh. Mesti mengalami kelas empat, kelas Iima, kelas enam dulu. Teori ini pada permulaan abad ke-20 mulai ada yang menentang, yaitu yang dinamakan kaum sosialis revolusioner. Antara lain seorang wanita lagi, namanya Rosa Luxemburg, yang berkata: Nee, tidak perlu fase satu dulu, fase dua, fase tiga, fase empat, fase lima kemudian baru sosialisme. Tidak perlu! Boleh dilompati fase kapitalisme ini. Dari fase keempat kita bisa melompat ke fase enam. Luxemburg mengatakan, teorinya itu teori, dalam bahasa asing, Belandanya “fasensprong”, pelompat-an fase. “Theorie der Fasensprung”, bahasa Jermannya.

Penting sekali teori Rosa Luxemburg ini “theorie der Fasensprung”, melompat. Dan teori ini ternyata benar, ternyata benar di dalam alam sekarang, di mana orang mempunyai penglihatan pengalaman-pengalaman. Saudara melihat beberapa negara yang tadinya bobrok sama sekali yang sama sekali lebih mesum dari­pada kita. Karena ada contoh melihat, sebab ia hidup di dalam alam abad ke-20, melihat contoh di Sovyet Uni begitu, di RRC, begitu, di negara lain begitu: “O, sekonyong-konyong kok bisa dari sini ke sini”. Ia bisa presideren Fasensprung ini. Misalnya saya ambil satu contoh: Uzbekistan itu 34 tahun yang lalu, masya Allah, perkara terbelakangnya bukan main! Atau Mongolia yang pernah saya datangi, — Uzbekistan pun pernah saya datangi -, Mongolia dengan ibukotanya Ulanbator tiga puluh tahun yang lalu, masya Allah, terbelakangnya!

Maaf, tempo hari saya berkata di Mongolia itu 30 tahun yang lalu wanita-wanita ganti celana satu kali setahun. Tidak ada wanita bisa membaca, bisa menulis, orang laki-lakipun 95% tidak bisa membaca dan menulis. Orang di sana cuma bisa menggembala, menggembala kuda, menggembala sapi, meng­gembala kambing, gembala, gembala, gembala. Lha kok sekarang, di dalam tahun 1956 saya datang di Ulanbator, yang di dalam kitabnya Sven Hedin di dalam permulaan abad ke-20 Ulanbator dilukiskan sebagai suatu kota, yang bukan kota, yang rumah-rumahnya tidak ada; cuma tenda, “jurk” namanya, tenda terbuat dari pada kulit onta, kulit kuda atau kulit sapi. Kotor sama sekali. Datang di Ulanbator itu berbulan-bulan melewati padang pasir. Di Ulanbator sendiri sangat terbelakang, tidak ada orang bisa membaca dan menulis. Kemudian didatangi pula oleh Dr Hanina W. Halle, yang menulis buku. Bukunya itu ada barangkali di perpus­takaan sini: “De vrouw ini Sovyet Rusland atau ada kitab nomor dua: “De vrouw in het Sovyet Oosten”.

Mengenai wanita “De vrouw in Sovyet Rusland” atau buku lain “De vrouw in het Sovyet Oosten” Dr Hanina W. Halle mengatakan, pada waktu ia datang di situ keadaan masih mesum sekali. Saya datang di Ulanbator, melihat jalan jalan terbuat daripada aspal, melihat ada pabrik besar, canning industry, membikin makanan dalam blek. Hasil daripada ternak, daging sapi, daging kuda, daging ini, daging itu, dimasak di dalam pabrik itu; keluar dari pabrik itu blek-blek, blek, rasanya nyaman.

Saya melihat Universitas, — yang, waduh, kalau saya melihat Gajah Mada ini! Saya melihat gedung Parlemen bertingkat empat. Saya melihat museum geologi yang masya Allah penuhnya ia punya koleksi daripada batu-batu yang terdapat di Mongolia, ini ada besinya, itu ada tembaganya, itu ada mangaan­nya, itu ada batunya, ini ada batunya. Di sana ada minyak tanah, ini ada, itu ada, bahkan batu-batu yang berisi fosil-fosil beberapa ratus ribu tahun yang lalu ada juga. Kemajuan bukan main. Dan kemajuan ini berkat penyeleng-garaan teori Fasensprung, teori melompati.

Mongolia tidak perlu mengalami kapitalisme, walaupun dulu masih hidup di dalam fase yang kedua peternakan sekonyong-ko­nyong melompati fase tiga, fase empat, fase lima, menjadi suatu bangsa yang menyelenggarakan Sozialismus.

Kita bangsa Indonesia ini sebenarnya juga di dalam keadaan yang demikian. Kita mengadakan revolusi sudah empat belas tahun. Dan sekarang datanglah saatnya kita menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai ter­tulis dalam Undang-undang pembuatan Depernas.

Apakah perlu kita juga mengalami lebih dahulu fase Kapitalismus? Saudara-saudara barangkali mengatakan: “Ya, kita sudah mengalami kapitalisme, belum 100%”. Kita meng-alami imperial­isme. Kita mengalami Imperialisme di dalam segala ketidak­enakannya. Tetapi kita belum mengalami industri-alisme, industrieel kapitalisme atau kapitalistis industrialisme; belum kita alami. Belum kita alami sebagai rakyat Perancis mengalaminya, rakyat Inggris mengalaminya, rakyat Jerman mengalaminya. Belum! Kita masih sebagian besar hidup dalam fase agraris, ditambah sebagian hidup di dalam fase keempat huisindustrie. Tetapi apakah kita harus mengalami fase industrieel kapitalisme, kapitalistis industrialisme agar supaya kita bisa mengalami atau menyelenggarakan, membina, mengadakan satu masyarakat adil dan makmur, keadilan sosial? Tidak, sama sekali tidak.

Pertama, pengalaman bangsa-bangsa lain bisa kita pergunakan. Dan demikianlah yang dipergunakan pula oleh bangsa-bangsa yang setaraf dengan kita. Dipergunakan oleh rakyat India, melihat di negeri-negeri lain. Dipergunakan oleh rakyat Mesir, melihat keadaan di negeri-negeri lain, melihat Yugoslavia, yang dulu juga masih separo-separo hidup di dalam fase keempat. Melihat peng­alaman dari mana-mana, sekarang, mereka mencoba dengan hasil yang agak memuaskan, mengadakan sosialisme itu. Kita tidak perlu mengalami fase kapitalisme “in zijn volle konskwenties”.

Maka sebagai tadi saya katakan, untuk menyelenggarakan sosialisme ala Indonesia atau sosialisme yang berdasarkan Pancasila itu, kita adalah demokrasi terpimpin, yang essensinya sudah saya gambarkan kepada saudara-saudara, dengan caranya ananda Lina memimpin lagu Indonesia Raya. Semua menyumbangkan ia punya tenaga, baik ahli ini, ahli itu, semuanya menyumbangkan ia punya tenaga, di bawah pimpinan satu blue-print, kitab nootnya, kertas nootnya, di bawah pimpinan seorang dirigent. Dan tidak perlu itu, tidak harus itu bernama Soekarno. Seorang dirigent yang bisa memimpin irama ini. Tetapi dirigent itu sebetulnya juga cuma satu, ya, satu, teknis sebenarnya yang menjadi pemimpin ini, nootnya ini. Apakah dirigentnya itu Torcanini, apakah dirigentnya itu Pak Abdulkarim, apakah dirigentnya itu Raden Ajeng Siti Soemiati, apakah dirigentnya itu seorang lain-lain; yang penting ialah blue printnya ini!

Walta “Die Blaue Donau” dari Johann Strauss, atau “Uben den Rellen” dari Ivanovichi, atau lagi lain-lain. Yang penting: blue print yang dibuat oleh DPN ini.

Maka di dalam hal ini, sebagai saya katakan, semua harus menyumbang tenaganya, terutama sekali daripada engkau sekalian, Engkau sekalian yang beberapa kali, tiap kali saya katakan: “He pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau diharapkan menjadi kader pembangunan, kader pernbangunan. Tetapi di dalam melatih dirimu menjadi kader, menyusun dirimu, menyiap­kan dirimu menjadi kader, bukan sekadar engkau punya otak itu harus diisi dengan pengetahuan; o, teknik harus mengetahui hukum Torki, teknik harus mengetahui hukum Newton, teknik harus mengetahui hukurn Farraday, teknik harus mengetahui mo­ment, teknik harus mengetahui gewapend beton, atau ahli hukum harus mengetahui teori ini, teori itu, atau dokter harus mengetahui virologi atau bacteriologi, atau urologi atau chirugie atau anatomi.

Bukan sekadar itu yang diperlukan. Saudara harus mengisi saudara punya otak dengan “technisce vaardigheid” yang secukup-cukup­nya. Tetapi di samping itu saudara-saudara harus mengerti blue print ini. Jiwamu harus jiwa blue print ini. Jiwamu harus jiwa ingin menyumbangkan tenagamu di dalam orkes maha besar rakyat Indonesia 85 juta, agar supaya menurut blue print ini di Indonesia terselenggara satu masyarakat adil dan makmur ala Pancasila.

Dadamu harus berkobar-kobar dengan hal itu. Ya, barangkali orang-orang tua ada yang tidak mengerti blue print tadi. Ya mak­lumlahorang tua. Engkau dihidupkan tahun ’55, ‘ 56, ’57, ’58, ‘ 59. Engkau barangkali belum berumur 22 tahun. Engkau bibit muda, hidup di dalam alam sekarang. tetapi orangtua-orangtua itu ada dapurnya itu, dapur pendidikannya itu: alam dulu, alam Belanda, alam Hollands denken. Yang diketuai cuma kitab-kitab bahasa Belanda: Profesor Kan berkata demikian, profesor Kranenburg berkata demikian, bahkan tentang trias politica, Montsque berkata demikian, max Weber berkata demikian, profesor Jung berkata demikian. Dengan bekal hasil dari dapur ini ia pindah ke dalam alam sekarang. Kadang-kadang ia tidak mengerti alam sekarang ini. Maka oleh karena itu saya berkata kepadamu sekalian: He pemuda dan pemudi, engkau punya kewajiban sebagai mahasiswa bukan hanya engkau terima segala apa yang diajarkan, tetapi engkau juga mesti belajar berpikir bebas, berpikir bebas meng­alami — bukan liberalisme — berpikir bebas, in zich opnemen, mengertikan suasana baru, ini blue print, ini kitab noot.

Berpikir bebas: Bagaimana aku bisa menyumbang. Ini begini sebabnya, begini sebabnya. Maaf, saya tidak mengeritik profesor-profesor; tidak. tetapi, — bukan di Yogyakarta, di Yogyakarta tidak ada -, tetapi di lain tempat ada profesor-profesor yang masih menderita penyakit Hollands denken”. Ada profesor-profesor yang menderita penyakit snobisten. Snobisten itu, yaitu “ya-ya-o”, wah, tiap-tiap hal ia tanya kepada mahasiswa, apa, quotetionnya apa, sifatnya apa? Ya pak, ini begini, ini begini. Dari kitab mana? Lantas engkau harus bisa quote, dari kitab Jung, pagina sekian.

Wah pinter engkau. Atau sang profesor sendiri kalau memberi kuliah, o, sebentar nama-nama sesuatu kitab ia sebutkan; Kitab Kranenburg, kitab ini, kitab itu yang pernah saya di dalam kuliah di Bandung, saya sinyalir ini ke-Kranenburg-an.

Apa yang saya katakan di Bandung? Saya katakan di Bandung begini, dan saya ulangi pada waktu saya berpidato di hadapan Dies Natalis Universitas Indonesia beberapa hari yang lalu, kenyataan dunia ini, dunia manusia yang 2.800 juta manusia ini, bukan hanya ribuan, bukan hanya puluhan ribu, bukan hanya ratusan ribu, bukan hanya jutaan, tetapi 2.800 juta manusia, nyata dunia ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Satu golongan besar yang pengikutnya 1.000 juta, pengikut daripada Marx dan Engels, pengikut daripada komunistis manifest. Ada lagi satu golongan besar yang pengikutnya juga hampir 1.000 juta manusia,pengikut daripada falsafah Thomas Jefferson yang telah menulis “Declaration of Independence America”. Dikatakan oleh Bertrand Russel, ahli falsafah Inggeris yang kenamaan, bahwa dunia ini terpecah menjadi dua golongan: yang satu golongan pengikut daripada Declaration of falsafah Thomas Jefferson, di satu pihak pengikut daripada komunistis manifest.

Di dalam pidato saya 17 Agustus 1958, saya berkata ada golongan yang ketiga, yaitu golongannya bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang tidak ikut ini tidak ikut itu, tetapi golongan yang hendak mendirikan tanah airnya sendiri menurut kepribadian sendiri-sendiri. Tetapi nyata ini dua golongan yang besar, pengikut komunistis manifest, pengikut falsafah Thomas Jefferson, yang — sedikitnya profesor-profesor itu harus mengetahui ini, mengetahui itu. Ya apa tidak? — pengikutnya itu bukan puluhan manusia, tetapi ribuan, j uta manusia. Saya tanya kepada profesor di sana itu, bukan di Gajah Mada: “Saudara apa sudah pernah baca komunistis manifest? Belum! Masya Allah! Belum pernah membaca komunistis manifest yang telah membelah dunia menjadi satu golongan yang besar. Tetapi ia menjawab: “Ya, saya belum membaca komu­nistis manifest, tetapi saya membaca Kranenburg”. Aduh, babak bunyar saya.

Nah, kepada mahasiswa di Bandung dan sekarang juga kepada mahasiswa di Yogyakarta, saya menganjurkan: janganlah mau kepada snobisten; jangan! Berpikirlah bebas, mencari cara menyumbang kepada penyelenggaraan daripada blue print ini. Oleh karena blue print ini memang amanat daripada penderitaan Bangsa Indonesia yang telah berpuluh-puluh tahun, amanat yang sepedih-pedihnya. Tujuan yang satu-satunya daripada revolusi kita yaitu suatu masyarakat adil dan makmur, berdasarkan keadil­an sosial.

Engkau, di dalam mengisi engkau punya otak, mengisi engkau punya pengalaman, kataku di Bandung, jangan menderita penyakit purbasangka, jangan prejudice, jangan berpenyakit prejudice. Sebab ada purbasangka itu. Purbasangka kepada satu golongan wetenschap, pada satu golongan ilmu. Dikatakan bahwa semua ilmu yang dari Timur, yaitu dari golongan Sovyet, tabu, tidak baik. Dibilang juga, ilmu yang dari Amerika cs, tidak baik. Dua-duanya menderita penyakit purbasangka. Padahal kita yang hendak membangun, yang hendak menyelenggarakan blue print ini, kita membutuhkan pengalaman-pengalaman, kita membu­tuhkan, membutuhkan kepandaian, membutuhkan keprigelan, hu­man skill, material investment, mental investment, technical and managerial know-how, kataku, kita membutuhkan segala hal ini. Dan menurut teori Fasensprung kita harus melihat, mengambil oper pengalaman-pengalaman daripada bangsa-bangsa lain yang berguna bagi kita. Pergilah melihat bangsa-bangsa lain itu, tanpa prejudice, tanpa purbasangka. Tidak perduli darimana, ambil oper mana yang baik. Yang dari Amerika, baik, ambil oper, yang dari Sovyet uni baik, ambil oper.

Kita yang di dalam zaman yang sekarang ini, harus dengan lekas bekerja, harus dengan lekas menyusun masyarakat adil dan makmur itu, bahkan di Bandung dan di Jakarta sata katakan. di dalam dua tiga tahun ini, dua tiga tahun ini, kita harus sudah mencapai suatu momentum konkret, meskipun minimal di atas lapangan pembangunan ekonomi. Entah momentum konkret di lapangan produksi padi yang sekarang kita masih selalu harus mengimport, entah momentum konkret di lapangan membuat bahan pakaian, entah momentum konkret di dalam lapangan membuat bahan-bahan keperluan hidup yang kecil-kecil sehingga saya di Jakarta tempo hari memberi semboyan baru kepada bangsa Indonesia, agar supaya kita di dalam dua tiga tahun ini mencapai satu momentum konkret meskipun minimal.

Di atas lapangan ekonomi saya beri semboyan: tiap-tiap keluarga satu produksi aparat, tiap-tiap keluarga sekarang ini harus menjadi satu produksi aparat. Sebab banyak sekali keluarga-keluarga kita ini yang tidak menjadi produksi aparat. Di daerah Garut, padahal nyata kita ini membutuhkan misalnya tutup botol, kataku di Jakarta. Kita beli tutup botol itu dari luar, kurk, gabus dari luar, dari Yunani. Devisen kita habis. Banyak sekali membeli tutup botol dari Yunani yang berupa gabus. Kita ini rakyat karet! Apa tidak bisa bikin tutup botol dari karet. Lho, itu mesti ada paberik yang besar! Tidak perlu membikin tutup botol dan karet dengan pabrik yang besar. Tiap-tiap rumah tangga itu sebetulnya itu bisa dengan lattex membuat tutup botol. Hendaknya tiap-tiap keluarga di daerah karet menjadi produksi aparat membuat tutup botol.

Hak-hak sepatu ini, 60% dari hak-hak sepatu ini kita beli dari luar. padahal kita ini bangsa karet! Maka oleh karena itu semboyan saya: tiap-tiap keluarga hendaknya menjadi satu produksi aparat. Dengan demikian di dalarn tempo dua tiga tahun kita sudah bisa mencapai satu momentum konkret meskipun minimal di atas lapangan pembangunan ekonomi.

Saudara-saudara kalau engkau mengerti keharusan masyarakat keadilan sosial, jikalau engkau mengerti bahwa masyarakat keadilan sosial itu adalah amanat daripada leluhurmu yang telah menderita, amanat daripada semua pejuang-pejuang yang telah mangkat lebih dahulu termasuk di dalam doa daripada ananda Lina, — yang tadi mengatakan: arwahnya harus kita peringati, -jikalau engkau mengerti bahwa segenap rakyat Indo­nesia sekarang ini gandrung kepada masyarakat adil dan makmur sebagai yang kita ajarkan kepada mereka berpuluh-puluh tahun, jikalau engkau hidup di dalam suasana yang demikian itu: Aku, aku, aku ingin menyumbang-kan tenagaku kepada penyeleng­garaan masyarakat yang demikian ini, alangkah nyamannya engkau punya hidup zaman sekarang ini. Tidak seperti zaman dulu, tatkala pemuda dan pemudi tidak mempunyai cita-cita. Lho saya ini tadinya kecil sekali; habis sekolah itu apa? Urut galengan, mencari jangkrik. Yang diperdebatkan dengan kawan-kawan cuma hal jangkrik: jangkrik itu kalau sutangnya begini, bukan main, menangan!

Tapi kamu sekarang, coba bandingkan: zamanmu dengan zamanku tatkala aku masih kanak-kanak.

O, lain sekali! Engkau sekarang ini: blue print cita-cita keadil­an sosial, terasa engkau bertanggung jawan kepada hari kemudian, bertanggung jawab kepada Tuhan sebagai dikatakan oleh Saudara Lina: Nanti engkau punya arwah akan ditanya akan kepemimpinanmu: merasa bertanggung jawab, bukan saja merasa bertanggung jawab sebagai satu beban, tetapi merasa bertanggung jawab sebagai satu tugas yang mulia, a glorious task, a glorious historical task, daripada pemuda-pemudi zaman sekarang; jikalau bisa semangat hidup di dalam kalbumu, yang demikian itu, tidak ada istilah: E, hari kemudian kita gelap gulita. Tidak! Engkau akan selalu melihat hari kemudian tanah air kita dan bangsa kita itu cemerlang; di tepi langit engkau melihat suryanya kebesaran, suryanya masyarakat adil dan makmur makin lama makin naik!

Tatkala saya melantik Duta Laili Rusyad, wanita yang pertama saya lantik menjadi wakil kita di luar negeri, saya telah mensitir ucapan seorang pemimpin besar bangsa lain yang berkata kepada pemuda dan pemudi: “He, pemuda dan pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang katakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian”. Jangan mau terima sebutan sekadar pupuk hari ke­mudian! Jangan terima! Kita ini bukan sekadar pupuk, sekadar pupuk hari kemudian tok. Tidak! Kami lebih daripada pupuk! Sebab di dalam kami tumbuh pula bibit. Di dalam bahasa asing­nya: “Wij zijn niet enkel mest; ook in ons ontkiemt het aar; kami bukan sekadar pupuk, pupuk mati yang dimasukkan di dalam tanah, kemudian tanah itu yang menjadi subur untuk membangkit­kan tanam-tanaman. Kami bukan sekadar pupuk, di dalam kalbu kami, dada kami, rokh kami, jiwa kami bergelora: di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu; di dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa kita. Ook in ons ontkiemt het aar

Ini adalah saya punya permintaan kepada mahasiswa-mahasiswa, seluruh mahasiswa-mahasiswa Indonesia, seluruh cen­dekiawan Indonesia, seluruh pemuda-pemudi Indonesia, supaya kita bersama-sama maju ke muka, membawa sumbangan, berupa apa saja kepada sanggul konde Ibu Pratiwi yang kita cinta. Engkau dapat menyum-bangkan bunga menur, berikan bunga menur kepada ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbangkan bunga melati, berikan bunga melati kepada Ibu Pratiwi. Engkau bisa menyum­bang bunga mawar, berikan bunga mawar kepada Ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbang bunga cempaka.. berikan bunga cem­paka kepada Ibu Pratiwi. Tetapi marilah kita semuanya memberi­kan kepada Ibu Pratiwi barang kita masing-masing dan di bawah pimpinan blue print, kita bersama-sama mengagungkan lbu Pra­tiwi itu.

Kita bersama-sama mengeluarkan satu lagu yang merdu, yang di Surakarta ada orang tanya kepadaku: Bagaimana bunyinya lagu itu? Bunyinya lagu itu adalah di bawah pimpinan blue print ini, di bawah pimpinan dirigent itu dengan permainan daripada segenap rakyat Indonesia yang menyumbang, lagu itu berbunyi: Sosialisme Indonesia, sosialisme Indonesia, sosialisme, sosialisme, adil mak­mur, adil makmur. Lagu yang merdu, yang memang menjadi cita-cita bangsa kita, sejak berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun.

Inilah harapanku kepadamu sekalian.

Sampai sekian saja.

Terima kasih.