Koran Sulindo – Belakangan ini semakin terasa ada upaya-upaya dari berbagai pihak—terutama dari banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pengamat yang mengaku independen—mencoba mengarahkan opini masyarakat bahwa partai politik (parpol) tidak diperlukan. Tentu saja, upaya itu sudah semestinya ditanggapi. Biar bagaimanapun, parpol menjadi salah satu penyangga utama dari sebuah negara demokrasi.
Apalagi, keberadaan parpol di negeri ini juga punya sejarah panjang. Kita mengetahui, parpol pertama didirikan negeri ini pada 1912. Namanya Indische Partij (Partai Hindia), karena negeri ini pada masa itu masih dijajah Belanda, Hindia Belanda. Indische Partij dibentuk oleh tokoh-tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai: E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka adalah orang Eropa dan orang Indonesia.
Lalu, pada 4 Juli 1927, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Mr. Soenarjo, dan Ir. Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia di Bandung. Setahun kemudian, 1928, namanya diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Perannya sangat besar dalam penggodokan-penggodokan konsep negara merdeka serta pendidikan politik yang menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara, tanpa didorong kepentingan ekonomi atau materi.
Jadi, pelajarilah lagi sejarah bangsa ini dan juga baca kembali hal-ihwal parpol dari berbagai sumber. Kaum independen itu tidak seperti parpol, yang punya tanggung jawab langsung kepada pemilih, dari desa sampai istana. Parpol juga tidak membawa aspirasi pribadi para pemimpinnya, tidak seperti kecenderungan banyak kaum independen/LSM.
Pada masa reformasi, harus juga diakui, parpol-lah yang berperan besar membentuk negara ini, memilih presiden, kepala daerah, merancang undang-undang, dan sebagainya. Dan, itu dilakukan tanpa bujet dari negara. Faktanya: negara kita tetap tegak sampai sekarang. Walaupun kita tidak boleh menutup mata bahwa kaum independen/LSM dan mahasiswa juga memiliki peran besar. Banyak dari kaum independen ini yang tergabung dalam LSM atau sebagai pengamat yang berpenampilan necis, berpendidikan tinggi dan alumni universitas luar negeri/Barat, masuk dalam golongan intelek/sosialita di Indonesia, dan tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat bawah kerap terang-terangan menunjukkan sikap anti-parpol. Padahal, merekalah sesungguhnya politisi-politisi ulung dalam hal politicking, melakukan aktivitas politik hanya untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk membantu rakyat banyak seperti halnya yang dilakukan parpol. Mereka juga emoh menjadi anggota parpol atau membuat parpol. Apa karena tidak sanggup membuat parpol, menghimpun massa, atau takut memikul tanggung jawab? Namun, kerap kali, mereka itulah yang paling menikmati hasil politik dan hasil kerja parpol.
Pada saat pemerintahan terbentuk, mereka dengan kemampuan intelektualnya berhasil menjadi anggota kabinet atau menempati posisi-posisi penting lainnya. Dengan celotehan politiknya, mereka menciptakan opini seolah kader parpol tidak akan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan eksekutif seperti mereka.
Memang, harus diakui juga, ada kader atau anggota parpol, politisi, yang berkelakuan tidak baik—walaupun masih lebih banyak yang melakukan perbuatan baik. Dan, yang tidak baik itu kemudian dijadikan “sasaran tembak” oleh kaum independen. Padahal, sesungguhnya, mereka itu sedang berpolitik, sebagai politisi yang tanpa tanggung jawab langsung kepada rakyat.
Yang masih segar di ingatan adalah kasus Ahok. Kaum independen tidak kuat untuk menahan serangan dan terjangan politik dari kalangan intoleran. Tanpa dukungan PDI Perjuangan dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, setelah aksi massa 4/11 dan 2/12, Ahok sudah pasti “tercebur ke laut”.
Harus diingat bahwa kelompok independen tidak seperti parpol. Parpol membentuk organisasi mulai dari tingkat ranting atau pedesaan hingga ke DPP di tingkat nasional yang berurusan langsung dengan Istana atau pusat kekuasaan. Parpol-lah yang mampu mengumpulkan aspirasi rakyat mulai dari tingkat pedesaan dan menyampaikannya ke pusat kekuasaan.
Demikianlah dilema yang sedang dihadapi bangsa ini. Lalu, pertanyaannya: selanjutnya apa?
Selanjutnya: pendidikan politik, baik teori maupun etika, kepada kader-kader parpol dan penyaringan LSM-LSM, sehingga yang ada adalah LSM-LSM yang benar-benar bekerja untuk rakyat di lingkungannya, termasuk mengawasi kinerja para politisi. Untuk para pengamat yang selama ini mengaku independen dan bersikap anti-parpol, masuklah kalian ke dalam parpol kalau mau berpolitik dan berperan dalam negara. Kalian jangan hanya berani mengkritik, lalu mengambil dan menikmati kesempatan, tapi tidak ingin punya tanggung jawab langsung kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat kecil, masyarakat yang paling bawah. Kalian harus berani punya warna! []