Koran Sulindo – Ganjil sebenarnya kalau bangsa Indonesia ketakutan untuk berbisnis dengan bangsa lain. Karena, bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain sulit dihindari, termasuk dalam hal perdagangan. Bahkan, perdagangan dengan bangsa lain sudah terjadi jauh sebelum Indonesia sebagai suatu bangsa terbentuk.

Presiden Soekarno pun sudah menyatakan hal itu sejak puluhan tahun lampau. Namun, Bung Karno juga tetap mengingatkan pentingnya berdikari, menjadikan kekuatan sendiri sebagai pijakan utama pembangunanekonomi. “Yang ditolak berdikari adalah ketergantungan pada imperialis, bukan kerja sama yang samaderajat dan saling menguntungkan,” kata Bung Karno pada 22 Juni 1966.

Kekhawatiran Bung Karno itu pun perlahan-lahan mulai terbukti. Setahun lebih sedikit setelah pidatonya tersebut dan setelah Bung Karno dijatuhkan dari kursi kepresidenannya pada Maret 1967, Orde Baru menerbitkan Undang-UndangNomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Terbitnya undang-undang ini begitu cepat, sebagai tindak lanjut dari Konferensi Jenewa pada November 1967.

Dalam Undang-Undang Nomor 1/1967 hanya disebutkan sembilan bidang yang tertutup untuk penanaman modal asing,  yakni pelabuhan;produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum;telekomunikasi;pelayaran;penerbangan;air minum;kereta api umum;pembangkitan tenaga atom, dan; media massa.Pertambangan serta minyak dan gas tidak termasuk.

Lalu, pada tahun 1968, Orde Baru juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Undang-undang ini malah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Syaratnya: modal asing tidak melampaui 49%. Juga ada ketentuan, porsi investor Indonesia yang 51% itu harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.

Tahun 1994 muncul pula Peraturan Pemerintah Nomor 20. Peraturan pemerintah ini mengizinkan perusahaan masuk ke kegiatan usaha pelabuhan; produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkitan tenaga atom, dan; media massa. Diterakan dalam pasal 6 ayat 1 peraturan pemerintah itu: “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”

Jadi, upaya pihak asing menguasai kekayaan negeri ini sangat mungkin terjadi lewat penanaman modal asing, bukan dengan senjata atau peperangan lagi. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim).  Dan, kita memang harus waspada serta cerdas menyikapi investasi asing, tanpamengabaikan prinsip politik “bebas dan aktif” dalam berhubungan dengan negara lain. Artinya, Indonesia dapat menjalin persahabatan dan kerja sama dengan negara mana pun, sepanjang negara itu bukan negara penjajah dan bukan negara yang bertendensi menguasai Indonesia, mengintervensi kedaulatan bangsa ini.

Apalagi, setelah Orbe Baru tumbang dan kita memasuki masa reformasi lahir pula Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini menggantikan  semua perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal dan menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri.Pada undang-undang itu juga ditegaskan tidak akan ada nasionalisasi perusahaan asing atau pengambilalihan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007juga mengizinkan kegiatan penanaman modal di semua bidang usaha atau jenis usaha, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menyatakan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Juga bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[]