Koran Sulindo – Bank Indonesia (BI) menaikkan lagi suku bunga acuan “7-Day Reverse Repo Rate” 0,25 persen menjadi 5,5 persen hari ini.
“Kami ingin turunkan defisit neraca transaksi berjalan ke tingkat lebih rendah lagi. Jelas di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun,” kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (15/8/2018), seperti dikutip antaranews.com.
Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II/2018 naik menjadi 8,0 miliar dolar AS atau menyentuh 3 persen dari PDB. Defisit itu makin membesar dibandingkan defisit kuartal I 2018 yang hanya sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,2 persen PDB.
Transaksi berjalan merekam arus dana atau pembayaran dari dalam ke luar negeri, maupun sebaliknya. Sebagai gambaran, jika neraca transaksi berjalan defisit, maka devisa dari dalam negeri lebih banyak yang mengalir ke luar. Hal itu menimbulkan persepsi kepada investor bahwa aset-aset rupiah kurang begitu aman, karena devisa yang keluar lebih banyak dibanding yang masuk.
Namun menurut Perry, defisit transaksi berjalan yang naik pada kuartal II karena aktivitas ekonomi yang menggeliat, yang akhirnya meningkatkan impor, dan masih di level yang aman.
“Tapi dalam kondisi pasar keuangan yang seperti sekarang, BI dan pemerintah sepakat untuk menurunkan defisit ke tingkat lebih rendah lagi,” kata Perry.
BI mengapresiasi pemerintah yang akan membatasi laju impor barang modal dan bahan baku untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan dan menjaga rupiah.
Bank Sentral juga melihat bunga acuan harus naik di Agustus 2018 ini untuk mendorong imbal hasil instrumen keuangan domestik, agar investor asing tetap tertarik menanamkan modal valasnya di pasar keuangan domestik.
Saat ini premi risiko instrumen keuangan domestik meningkat karena tekanan ekonomi global. Kenaikan suku bunga acuan diharapkan dapat mengkompensasi dari membesarnya biaya risiko bagi investor.
Bank Sentral sepanjang tahun ini sudah menaikkan bunga acuan sebesar 125 basis poin. BI mempertimbangkan ruang kenaikan suku bunga acuan paling tidak sekali lagi hingga akhir tahun.
Korporasi Jangan Borong Valas
Bank Indonesia (BI) meminta dunia usaha terutama perusahaan besar tidak memborong valuta asing (valas) dalam jumlah besar saat ini, jika tidak diperlukan, agar nilai tukar rupiah tak tertekan terus.
“Bagi korporasi yang butuhkan valasnya enam bulan lagi, tidak usah nubruk dolar,” kata Perry.
Perry mengatakan dunia usaha bisa memanfaatkan fasilitas penukaran (swap) lindung nilai (hedging) ataupun forward agar tidak menderita kerugian dari selisih kurs saat menarik valas beberapa waktu mendatang.
BI menegaskan cadangan devisa Indonesia saat ini masih mencukupi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI juga belum melirik opsi untuk memanfaatkan fasilitas bilateral maupun multilateral, seperti perjanjian pertukaran mata uang, guna mengendalikan tekanan yang menerpa nilai tukar rupiah.
Opsi fasilitas bilateral maupun multilateral seperti perjanjian pertukaran mata uang merupakan garis kedua pertahanan ekonomi sebuah negara (second line of defense) untuk menghadapi gejolak perekonomian.
“Cadangan devisa cukup dalam arti bukan hanya membiayai impor dan utang. Tapi mitigasi kemungkinan capital reversal,” kata Perry.
Cadangan devisa Indonesia memang terus bobol beberapa bulan terakhir. Pada akhir Januari 2018 cadangan devisa masih sebesar 131,9 miliar dolar AS; pada Juli 2018 hanya tersisa 118,3 miliar dolar AS. Sudah susut 14 miliar dolar AS.
Sebagian cadangan devisa tersebut digunakan untuk intervensi pasar saat nilai tukar rupiah tertekan. Sejak awal tahun 2018 hingga Agustus 2018 ini, rupiah sudah terdepresiasi 7,04 persen.
Hari ini BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,5 persen, langkah yang di luar ekspetasi sebagian besar analis pasar keuangan. Namun pada Juni lalu BI malah langsung menaikkan suku bunga 50 basis poin.
Kenaikan suku bunga ini melengkapi pengetatan kebijakan moneter sebanyak 125 basis poin sepanjang tahun ini. Suku bunga acuan yang meningkat diharapkan dapat mengendalikan permintaan impor sehingga defisit transaksi berjalan dapat mengecil dan menghemat devisa yang digunakan untuk membayar impor.
Rambatan Krisis Turki
Dalam situs BI, bi.com, alasan penaikan suku bunga itu adalah ketidakpastian ekonomi global yang meningkat di tengah dinamika pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata.
Ekonomi AS diprakirakan tetap tumbuh kuat didukung akselerasi konsumsi dan investasi, sementara ekonomi negara-negara Eropa, Jepang dan Tiongkok masih cenderung menurun. Dengan perkembangan tersebut, the Fed diprakirakan tetap melanjutkan rencana kenaikan Fed Fund Rate (FFR) secara gradual, sementara European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan ( BOJ) cenderung masih menahan kenaikan suku bunga.
Di samping kenaikan suku bunga FFR, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dipicu oleh ketegangan perdagangan antara AS dan sejumlah negara, yang mendorong kebijakan balasan yang lebih luas, termasuk melalui pelemahan mata uang di tengah berlanjutnya penguatan dolar AS secara global.
Ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi dengan munculnya risiko rambatan dari gejolak ekonomi di Turki yang disebabkan oleh kerentanan ekonomi domestik, persepsi negatif terhadap kebijakan otoritas, serta meningkatnya ketegangan hubungan Turki dengan AS.
“Bank Indonesia terus mewaspadai risiko dari sisi eksternal tersebut, termasuk kemungkinan dampak rambatan dari Turki,” tulis siaran pers BI tertanggal hari ini.
Nilai tukar Rupiah masih mengalami tekanan depresiasi dengan volatilitas yang menurun. Secara point to point, Rupiah melemah sebesar 3,94% pada triwulan II 2018 dan 0,62% pada Juli 2018. Perkembangan Rupiah pada bulan Juli tersebut disertai dengan volatilitas yang menurun, meskipun dolar AS terus mengalami penguatan secara luas.
Secara year to date (ytd) Rupiah terdepresiasi 7,04 persen. Memang lebih rendah dari India, Brazil, Afrika Selatan, atau Rusia. Tapi itu tetap berarti nilai tukar rupiah sudah musnah sekitar sepersepuluhnya. [DAS]