Koran Sulindo – Lao Tze, filsuf Cina di abad 6 SM, pernah berucap: “Paling baik bagi seorang pemimpin, kalau rakyat tidak sadar ia ada. Kurang baik bila rakyat mematuhi dan mengakuinya. Paling buruk bila rakyat membencinya. Kalau pemimpin tak menghormati rakyat, rakyat pun tak akan menghormatinya…”
Dari ucapan Lao Tze itu tersurat bahwa sikap rendah hati dan mampu berempati pada siapapun, terutama kepada kaum wong cilik, penting bagi seorang pemimpin politik atau politisi. Popularitas memang dibutuhkan oleh seorang politisi, tapi itu bukanlah segala-galanya. Politisi atau pemimpin politik sejati tak akan terlampau gelisah dengan popularitasnya.
Mungkin pendapat itu terasa kuno ataupun tidak relevan dengan situasi politik Indonesia sekarang—dimana popularitas, betatapun instannya, dianggap sebagai sebuah kesuksesan. Makin sering seorang politisi tampil di televisi ataupun dikutip media massa, maka dianggap makin sukses. Tanpa peduli apakah ucapannya di media-massa mengandung gagasan atau tidak.
Padahal, dimanapun dan dimasa kapanpun, gagasan atau ide merupakan hal yang penting bagi seorang politisi. Tanpa kemampuan merumuskan gagasan, lantas mengkomunikasikannya, sejatinya seorang politisi atau anggota parlemen tidaklah berpolitik. Ia hanya sekedar kasak-kusuk atau bergosip politik belaka.
Singkat kata, gagasan lah yang membedakan bobot ucapan atau retorika seorang politisi. Dan untuk memunculkan gagasan, seorang politisi harus rajin belajar, mengasah terus intelektualitasnya, serta berinteraksi dengan konstituennya agar memahami dinamika yang terjadi di tengah masyarakat.
Namun, yang terjadi saat ini, justru politisi kerap dituduh sebagai orang yang kerap memanipulasi kata-kata. “Ah itu kan cuma retorika politik saja”, begitu selalu terdengar komentar masyarakat, saat mendengar perdebatan para politisi di media-massa.
Penggunaan istilah retorika di negeri ini sekarang selalu dikesankan secara negatif. Seakan-akan retorika diartikan sebagai kata-kata manis tanpa perbuatan yang nyata. Istilah lainnya adalah no action talk only, alias omong kosong.
Retorika sebenarnya merupakan teknik persuasi untuk menghasilkan bujukan melalui karakter pembicara yang emosional atau argumentatif. Kemampuan retorika politisi terutama dibutuhkan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat menyetujui suatu gagasan atau kebijakan tertentu.Karena itu, setiap perkataan politisi haruslah diperhitungkan.
Harus diingat, retorika adalah alat utama dalam melakukan komunikasi politik. Tapi, juga pantas dicatat, komunikasi politik tidak terlepas dari kredibelitas seorang politisi di mata kawan atau lawan politiknya. Bagaimanapun, kredibelitas mendahului komunikasi yang hebat. Seorang politisi hanya bisa menjadi komunikator ulung jika memiliki kredibelitas dan keyakinan yang tinggi terhadap apa yang diucapkan dan dikerjakannya.
Tanpa kredibelitas, kemampuan retorika seorang politisi kerap dipandang sebagai sesuatu yang negatif oleh publik. Pembicaraan yang berputar-putar dan menutup-nutupi sesuatu sering membuat politisi dicap sebagai pembohong. Di kalangan akademisi ada guyonan yang membedakan antara akademisi dan politisi. Perbedaan antara akademisi dan politisi adalah: “Kalau akademisi boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Sedangkan politisi boleh bohong, tapi tidak boleh salah.”
Maksudnya, seorang akademisi dalam melakukan riset dan eksperimen dapat melakukan kesalahan dalam menganalisis data dan memberikan kesimpulan. Namun, akademisi tidak boleh berbohong dengan cara memanipulasi data yang ia kumpulkan.
Sedangkan politisi boleh “berbohong” kepada publik atau lawan politiknya, misalnya dengan tidak membuka fakta sebenarnya tentang suatu peristiwa yang bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Namun, politisi tidak boleh melakukan kesalahan, terutama dalam mengambil sebuah kebijakan publik, karena itu akan menimbulkan kerusakan berkepanjangan di masyarakat.
Singkat kata, untuk menjadi seorang politisi yang baik dan berguna bagi masyarakat, kredibelitas haruslah mendahului popularitas. Bukan sebaliknya. [Imran Hasibuan]