Koran Sulindo-Kata “rugi” seakan tak mau pergi dari tubuh PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Pada Juli 2018 lalu saja, Garuda Indonesia melaporkan kerugian US$ 116,85 juta pada semester pertama tahun ini, meski tak sebesar kerugina pada periode yang sama di tahun 2017, yang sebesar US$ 281,92 juta.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif mengatakan, penyebab kerugian Garuda Indonesia tersebut antara lain dugaan penggelembungan (mark up) anggaran pembelian pesawat. Misalnya saat pembelian mesin pesawat dari perusahaan asal Inggris, Rolls-Royce.
“Kenapa Garuda rugi terus? Misalnya harga satu, karena ini, contoh saja, angkanya pura pura, angka satu pesawat Rolls-Royce itu misalnya 100 ribu, biasanya kan kalau perusahaan yang baik kan, ‘Tolong kurangi dong, saya kan baru beli yang lain’,” tutur Laode dalam Dialog Kanal KPK dengan tema “Menjerat Korporasi” di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/11).
Mestinya, tambahnya, Garuda Indonesia bersikap seperti itu. “Tapi, apa yang terjadi? ‘Saya enggak dapat apa-apa, lu naikin deh 110 ribu, tapi nanti 10 ribunya kamu kirim ke rekening saya, ya.’ Jadi mereka selalu mark up. Ooh…, pantas kita rugi terus,” kata Laode lagi.
Garuda Indonesia, ungkap Laode lagi, seharusnya mencari harga yang lebih murah dari yang ditawarkan penjual. Namun, faktanya, perusahaan jasa penerbangan pelat merah itu membeli barang dengan harga yang sengaja dimahalkan, kemudian kelebihan harganya itu masuk ke kantong pribadi. “Itu contoh-contoh perusahaan, memakai perusahaan, tapi bertingkah laku sebagai penjahat terorganisir,” ujarnya.
Sekarang ini, pihak KPK masih mengusut dugaan korupsi pengadaan pesawat dan 50 mesin pesawat Airbus A330-300 untuk Garuda Indonesia pada periode 2004-2015. Dalam kasus ini, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo telah ditetapkan sebagai tersangka.
Emirsyah diduga menerima suap dari Rolls-Royce via Soetikno, yang juga merupakan Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd. Besar suap mencapai € 1,2 juta dan US$ 180 ribu atau kurang-lebih Rp 20 miliar. Yang berupa barang bernilai US$ 2 juta, yang lokasinya di Indonesia dan Singapura.
Soal morat-maritnya Garuda Indonesia sebenarnya jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh ekonom yang mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli. Menurut dia, ada beberapa masalah yang membuat kinerja badan usaha milik negara itu kurang bagus.
“Masalah utama Garuda, pengangkatan direksi tak berlandaskan kompetensi. Jumlah direksi terlalu banyak. Delapan orang hanya untuk akomodasi politik. Bukan untuk optimalisasi organisasi. Banyak yang bukan bidangnya,” kata Rizal Ramli di Jakarta, 25 Juni 2018 silam.
Yang kedua, masalahnya muncul karena pihak manajemen tidak berani mengambil keputusan untuk pembatalan atau penjadwalan kembali pembelian pesawat-pesawat yang tidak begitu diperlukan. Masalah ketiga, menurut pandangan Rizal Ramli, terkait dengan penerbangan (flight) dan rute manajemen yang dianggap payah. Karena, Garuda Indonesia hanya melakukan pemotongan biaya (cost cutting) dan cross the board. “Ini bahaya kalau yang dipotong anggaran training Garuda. [Training] ini penting sekali untuk bisnis penerbangan karena menyangkut safety [keselamatan]. Kalau ini yang dipotong, bahaya buat reputasi Garuda,” tuturnya.
Masalah keempat: diduga ada yang salah dalam pembelian logistik untuk keperluan Garuda. Rizal Ramli menilai sistem pengadaannya tidak kompetitif, sehingga harga yang harus dibayar lebih mahal.
Manajemen rute Garuda pun dinilai Rizal Ramli tidak begitu baik. Begitupun dengan strategi marketing Garuda, tidak rapi. Misalnya, Garuda yang seharusnya sebagai premium airline dicampur dengan strategi low cost carrier atau penerbangan berbiaya murah.
“Garuda kan punya anak perusahaan low cost. Kalau banting harga, itu urusan Citylink. Jangan Garuda yang sangat bagus pelayanan kualitasnya internasional mau diturunkan mendekati low cost dengan cara habis habisan. Ini contoh,” kata Rizal Ramli. [RAF]