Kota Banda Neira [Foto: Airpaz Blog]

(Bagian kedua/terakhir. Bagian pertama telah dimuat pada 18 September 2021, pukul 10.00 di sini)

Penduduk asli Kepulauan Banda umumnya, kurang lebih 90 persennya, adalah penganut agama Islam. Sisanya penganut agama Kristen dan Khong Hu Cu.

Warga penganut agama Kristen umumnya adalah warga pendatang yang biasanya pegawai atau angkatan bersenjata, sedangkan penganut Khong Hu Cu adalah warga keturunan Cina.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Banda yang majemuk ini memiliki toleransi yang tinggi. Perbedaan etnik/ras, agama, dan budaya, bukan merupakan hambatan dalam bergaul dan melakukan kegiatan bersama.

Masing-masing kelompok masyarakat sangat menghormati dan menghargai umat atau kelompok yang lain. Saling membantu merupakan kebiasaan bagi warga daerah setempat.

Warga masyarakat kepulauan ini sangat rukun dan jarang terjadi konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, ras, atau suku. Sejak Belanda berkuasa di kepulauan ini penyerapan budaya luar tampak cukup dominan, termasuk terhadap kebiasaan hidup orang Belanda.

Peniruan pola dan kebiasaan hidup orang Belanda atau orang Eropa lain sangat kuat dan masih tersisa hingga kini. Sebagai contoh, biasanya dalam upacara perkawinan, pengantin pria Banda memakai jas, sedangkan pengantin wanita memakai kerudung di kepalanya.

Jenis makanan yang dihidangkan di pesta juga masakan Eropa. Sebagian warga Banda merasa bangga jika dapat menghidangkan jenis makanan ala orang Belanda. Pesta perkawinan ini seringkali diikuti tarian dansa, seperti kebiasaan orang Belanda.

Kuatnya pengaruh budaya Belanda di Banda terhadap kehidupan masyarakat tercermin pula dalam hal bahasa. Umumnya orang-orang tua di Banda fasih berbahasa Belanda. Tak hanya itu, cara berdisiplin, cara menjaga kebersihan, berpakaian, dan gaya hidup orang-orang tua di Banda masih tetap meniru orang Belanda dulu.

Dalam perkembangannya, sisa-sisa budaya Belanda ini berasimilasi dengan budaya Islam, Melayu, dan unsur-unsur budaya lokal lainnya, sehingga membentuk budaya Banda seperti yang sekarang.

Di tengah-tengah pengaruh unsur budaya barat khususnya budaya Belanda, ternyata, masih ada sebagian warga masyarakat yang tetap berupaya melestarikan warisan budaya para leluhurmya. Dalam berbagai peristiwa penting, sebagian masyarakat masih melaksanakan upacara adat warisan Ieluhur, antara lain upacara Rofaer war dan buka puang.

Rofaer war merupakan upacara pembersihan sumur kampung secara massal oleh warga suatu desa. Upacara ini hanya dilakukan setiap jangka waktu 10-15 tahun sekali. Upacara ini bukan hanya bersifat lahiriah, tetapi juga bersifat batiniah. Masyarakat beranggapan bahwa mereka bukan hanya membersihkan sumurnya, tetapi secara rohaniah juga membersihkan jiwa warga dan lingkungannya. Dalam kurun waktu selama itu, mungkin, ada warga yang telah melakukan perbuatan kotor, keji, jahat, atau kurang balk.

Jika suatu waktu sumur itu kering, warga menganggap ada anggota masyarakat yang melanggar norma-norma adat atau norma agama. Hal itu yang harus dibersihkan agar selamat dalam kehidupan selanjutnya.

Upacara buka puang adalah pengajian massal. Tujuannya adalah untuk keselamatan dan kebahagiaan warga desa yang bersangkutan. Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada Ieluhur yang telah mengajarkan dan menurunkan berbagai pengetahuan serta agama, khususnya agama Islam.

Adanya interaksi berbagai suku, golongan, agama, dan budaya yang cukup intensif dalam jangka waktu lama, membuat budaya asli Banda menjadi kabur. Akar budaya masyarakat Banda yang asli, sebenarnya ada Pulau Kei Besar.

Pulau Kei Besar ini berada di wilayah Maluku Tenggara. Di sana masih tersimpan adat kebiasaan masyarakat Banda yang asli. Dalam hal ini, almarhum Des Alwi Abubakar, tokoh masyarakat Banda yang menjadi anak angkat Bung Hatta, pernah mengatakan bahwa inti adat Banda berpusar pada dua ekspresi, yaitu cakalele dan kora-kora.

Keduanya memiliki sisi ritual dan juga sisi penampilan. Dua ekspresi ini secara kental merupakan gabungan pengaruh berbagai agama yang ada di Banda. Cakalele dikenal oleh masyarakat luas sebagai tari perang. Tarian dengan gerak energik yang berkabar tentang kemenangan perang, suka cita, dan kejayaan patriotik rakyat.

Dalam bahasa setempat, caka berarti tari atau silat, dan zele artinya berputar-putar. Biasanya, para penari membawa tombak atau pedang dan perisai. Kini, tombak atau pedang diganti dengan bambu. Dalam wujud akhir, cakalele merupakan tarian yang tertib dalam suatu lingkaran. [WIS]

(Selesai. Bagian pertama dapat dilihat di sini)

Baca juga: