Koran Sulindo – Program nuklir Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) tidak pernah menargetkan negara lain selain Amerika Serikat. Penegasan itu disampaikan Wakil Majelis Agung Rakyat Korea Ri Jong-hyok.
Ri juga menjanjikan, Pyongyang bakal meningkatkan perlawanannya menentang skenario jahat perang nuklir dan sanksi-sanksi yang diterapkan AS.
“Ini keputusan tegas rakyat Korea bahwa kami hanya menghadapi AS dengan senjata nuklir untuk mencapai keseimbangan kekuatan,” kata Ri seperti dilansir kantor berita Rodong Sinmun.
Ri menambahkan negara Asia dan negara-negara manapun di dunia tidak perlu khawatir dengan program nuklir Korea yang disebut sebagai sword of justice selama tidak bergabung dengan histeria provokasi AS.
Ketegangan antara Korea dan AS tetap berada pada suhu tertinggi menyusul serangkaian tes rudal dan tes nuklir yang dilakukan oleh Pyongyang yang disusul retorika keras Trump untuk menargetkan kepemimpinan negara Kim Jong Un.
Korea menanggapi retorika presiden AS di Twitter dengan mengancam serangan nuklir ke Guam serta wilayah lain, dan menambahkan peryataan Trump dan aktivitas militer AS mendorong Pyongyang lebih ‘dekat’ ke pemicu nuklir.
Setelah kunjungan Trump ke Seoul awal bulan ini Pyongnyang bersumpah akan terus mengembangkan program nuklirnya “selama imperialisme, akar kejahatan dan ketidakadilan masih bercokol di bumi.”
William Tobey, ahli non-proliferasi nuklir yang ikut ambil bagian dalam perundingan Enam Pihak dengan Korea mengatakan bahwa orang harus benar-benar memahami motivasi Pyongyang mempertahankan program nuklirnya. Tobey dan sebagian besar ahli sepakat hal paling utama yang ingin dicapai pemimpin Korea adalah melestarikan rezim.
Bagi Jong Un, senjata nuklir dan program rudal adalah cara paling rasional untuk mencegah Amerika menggulingkan pemerintahannya. “Saya setuju dengan banyak ahli yang menganggap motivasi itu. Nuklir akan digunakan untuk mencegah serangan negara lain yang ingin menggulingkan rezimnya.”
Kim Jong Un ngotot mempertahankan program nuklir dan program rudal berkaca dari pengalaman tragis pemimpin Irak Saddam Hussein dan pemimpin Libya Moammar Gadhafi. Tunduk kepada Perjanjian Nonproliferasi Nuklir, mereka berdua tak memiliki nilai tawar apapun pada kekuatan-kekuatan yang menekannya. Jong Un jelas tak mau nasibnya sama dengan kedua pemimpin itu.
Sebuah pernyataan yang diterbitkan kantor berita Korea, KCNA mengkonfirmasi tujuan itu. “Sejarah membuktikan kepemilikan nuklir yang kuat berfungsi sebagai pedang terkuat untuk membuat frustrasi dan mencegah setiap agresi dari luar.”
Logika Nuklir
Kepemilikan senjata nuklir, secara historis memiliki dua efek menyeluruh pada sebuah negara. Pertama, nuklir memberikan perlindungan eksistensial dari serangan negara lain. Karena tak satupun negara berani menyerang pemilik nuklir tanpa memikirkan pembalasan nuklir di kota-kota mereka sendiri. Biayanya dianggap tidak sepadan.
Kedua, rudal balistik antar benua cenderung membuat waspada terhadap perang dan pemusnahan total. Dengan memiliki rudal nuklir, rezim Kim Jong Un menghadapi kenyataan bahwa perang melawan AS menjadi sebuah perang nuklir. Taruhannya menjadi jauh lebih besar, dibanding perang konvensional yang berlarut-larut.
Kedua faktor tersebut, pencegahan perang nuklir dan bahaya eksistensial membuat senjata nuklir menjadi ironi terbesar sejarah. Nuklir justru tampil menjadi kekuatan penyeimbang untuk melakukan tawar-menawar.
Ketika rudal balistik Soviet diuji pertama kali 21 Agustus 1957 dari Baikonur di Kazakhstan dan mendarat di Kamchatka reaksi pertama publik AS adalah ngeri. Mereka membayangkan, ternyata Soviet sanggup menggelar roket yang bisa menghancurkan kota-kota AS hanya dalam hitungan jam.
Hal terpenting yang segera disadari pemimpin AS, termasuk Presiden Dwight Eisenhower adalah rudal Soviet itu dirancang sebagai senjata defensif mencegah kemungkinan pemusnahan.
Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev yang menangkap ‘pesan’ itu dan mengatakan kedua blok sama-sama memiliki sarana pemusnahan. Kondisi itu memicu alasan-alasan berperang menjadi tidak terpikirkan dan perang nuklir hanya menyisakan dua kemungkinan. “Itu adalah sebuah Perang Dingin yang damai atau perang paling merusak dalam sejarah. Tidak ada cara ketiga,” kata Khrushchev.
Dengan Khrushchev yang yakin persenjataan barunya bakal melindungi Uni Soviet, dia secara segera mengurangi ukuran tentara konvensionalnya. Baginya, di era nuklir senjata konvensional tidak lebih dari sekadar sampah tua dan logam bekas yang mengganggu jutaan tangan dari kerja-kerja kreatif.
Menurut Khrushchev tentara dalam jumlah besar berlebihan, karena “bagaimana mungkin negara atau kelompok negara di Eropa menyerang kita, ketika kita benar-benar menghapus negara-negara itu dari muka bumi dengan senjata atom atau hidrogen kita.”
Alat Diplomasi
Menyadari hebatnya kemampuan nuklir itu, seringkali Khrushchev tergoda untuk memainkannya demi pengaruh politik. Bulan November 1956, dia dengan sangat serius mengancam bakal melakukan pembalasan nuklir kepada Inggris dan Prancis yang bersekongkol dengan Israel melancarkan perang melawan Mesir memperebutkan Terusan Suez. Perang kemudian berlangsung singkat, London mundur atas tekanan AS dan yang lainnya segera mengikuti.
Khrushchev, segera memuji dirinya sendiri yang telah menyelamatkan Mesir dari ancaman ‘imperialisme.’
Dia kembali melakukan diplomasi nuklir untuk menyelamatkan Suriah dari ancaman invasi Turki tahun 1957, mencegah intervensi AS pada krisis Selat Taiwan Kedua, memaksa Barat menyerahkan Berlin dan yang paling terkenal Krisis Misil Kuba pada tahun 1962.
Seperti yang dijelaskan kepada Mao Zedong pada tahun 1958 Khrushchev mengatakan “Tiga-empat rudal dan Turki akan menghilang, sepuluh rudal cukup untuk menghancurkan Inggris dan dengan rudal balistik kita akan menahan Amerika di tenggorokan. Mereka mengira Amerika berada di luar jangkauan. Tapi itu jelas tidak benar.”
Khurshchev dengan semua retorika berperangnya yang seperti militan –seperti yang dilakukan Kim Jong Un saat ini- termasuk ancaman ‘mengubur’Amerika, pada kenyataannya Khrushchev tak pernah benar-benar memicu perang dan menyalakan sumbu nuklir. Setiap kali terdorong dirinya ke sudut, dia selalu menemukan cara mundur dengan elegan. Seperti yang dilakukannya di Berlin tahun 1958-61 dan di Kuba pada bulan Oktober 1962.
Bagi dunia, pengalaman krisis nuklir di Kuba sangat dramatis. Pada puncak krisis, dengan menempatkan rudal nuklir di Kuba, dia diminta Fidel Castro untuk melakukan serangan preemptif nuklir pada Amerika. “Apa ini kegilaan sementara atau memang tak punya otak?” kata Khrushchev mengoceh dan menggerutu mendengar usul Castro, “hanya orang yang tidak tahu apa arti perang nuklir, atau orang yang benar-benar buta.”
Meski Khrushchev seseorang yang revolusioner, menghadapi kemungkinan perang nuklir seperti di Kuba dia melepas komitmennya dan mundur.
Tak cuma Khrushchev, Presiden John F. Kennedy lebih-lebih lagi takutnya. Dia terpaksa membuat konsesi penting untuk memungkinkan Khrushchev menyelamatkan wajahnya. Mereka berdua menyadari hal terakhir yang tak mereka butuhkan adalah sebuah perang yang tidak dapat dipertahankan oleh bangsa manapun di dunia.
Sama seperti Khrushchev di puncak perang dingin, Kim Jong-un kurang lebih menghadapi situasi yang sama. Dia mendapatkan keamanan dan stabilitas dengan ancaman menggunakan senjata nuklir. Namun, dia akan kehilangan segalanya jika dia benar-benar menggunakannya.
Jong Un bakal menggertak dan mengancam tapi tidak bakal ‘menekan tombol’jika tak benar-benar dalam posisi tersudut. Politisi Amerika di masa lalu, menghindari untuk mendorong Khrushchev berada dalam posisi terdesak yang membuat dia hanya bergantung pada kekuatan nuklir. Hanya dengan negosiasi, kompromi dicapai. [TGU]